Share

Malam Penuh Topeng
Malam Penuh Topeng
Penulis: Yuan

Satu Malam Saat Itu (Bagian 1)

Hiraya Clearwing takkan menjadi orang yang mereka harapkan.

Mereka takkan menyukai apa yang mereka puji — tidak gaun sutra berkilau dengan brokat, tidak rambut hitam panjang yang berkelip, tidak bibir merah di bawah topeng. Tak ada satupun yang nyata darinya malam ini.

Tangannya menelusuri gaun yang dipinjamkan padanya. Beberapa orang pasti telah memperhatikannya, menyadari bahwa beberapa laki-laki datang dan memuji gaun tersebut, meraih tangan yang tertutupi sarung, dan mengecup punggungnya untuk mencoba mengajaknya ke lantai dansa. Tidak. Dia tak bisa melakukan itu, jadi dia menolak, menundukkan kepala.

Dia seharusnya dari awal menolak ajakan Diora. Rasa malunya membuncah setiap kali seorang bangsawan datang dan memujinya.

Hiraya dia meremas erat minumannya, sesekali meneguk alkohol tersebut, membuatnya sedikit meringis. Mungkin saja dia menunjukkan itu dari topengnya, hingga dua buah jemari menurunkan gelas tersebut menjauh dari wajah.

Hiraya mendongak, memperhatikan laki-laki berambut kecoklatan tersebut, senyumnya terulas dan dia dapat menebak bahwa dia adalah seorang tampan bahkan ketika dia mengenakan topengnya.

Hidungnya mancung dan dia dapat melihat mata tajamnya dari balik topeng. Hanya ada rambut kecoklatan yang bahkan sedikit biasa untuk membuatnya mengenalinya. Laki-laki itu tersenyum kecil.

“Tak perlu buru-buru ketika minum,” tegurnya, suara dan nafasnya begitu dekat. “Apa yang kau lakukan sendirian tanpa pendamping?”

“Aku,” bisiknya, mata berputar mencari alasan, menoleh pada Diora yang melirik padanya di sela tarian. “Aku sedang mendampingi.”

Mungkin kebohongan bahwa dia tengah mengawasi temannya untuk pergi berdansa sendirian alih-alih melarikan diri dari rumahnya adalah sebuah tipuan jelek, karena laki-laki itu tertawa.

“Aku rasa tak ada gadis semuda kau yang ditugaskan untuk mendampingi seorang debutante, Nona,” komentarnya. “Kau juga tampak seperti seorang debutante.”

Hiraya mengalihkan pandangan. Ini hanya pakaiannya, membuatnya berbaur dengan orang-orang tanpa membuatnya terpikir bahwa mendiang ayahnya belum sempat mengantarnya untuk debut di kalangan bangsawan.

Dia mengangkat alis. “Bagaimana aku harus memanggilmu?”

Hiraya mengalihkan pandangan. Memberitahu nama aslinya adalah hal yang sama sekali lain. Jika baik paman atau bibinya mengetahui bahwa dia ada disini, dia harus berurusan dengan sedikit cambuk di pagi hari. Jadi dia menyebutkan sebuah nama.

“Lucy Violetta.”

Menyebutkan nama ibunya dengan marga yang tak pernah dikenal takkan menyakitinya. Laki-laki di depannya tak perlu tahu.

“Violetta?” ulangnya, meminum dari gelasnya. “Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”

Gadis itu tertawa kecil, menunduk, tangannya memainkan kuku di sisi-sisi gelas. Menyebutkan nama ibunya dengan marga yang tak pernah dikenal takkan menyakitinya. Laki-laki di depannya tak perlu tahu.

“Tapi itu tak seharusnya menjadi masalah,” dia berucap kembali, meletakkan minumannya pada seorang pelayan yang lewat sebelum mengulurkan tangan. “Ingin berdansa denganku, Nona Violetta?”

Hiraya menoleh pada Diora, tawanya terdengar ketika dia berputar di lantai dansa. Gadis itu tersenyum kecil, mencari pelayan hingga laki-laki itu meraih gelasnya, meletakkannya pada satu yang lewat.

 Sepertinya dia telah memberitahu secara tak langsung bahwa dia tak memiliki latihan apapun, atau bahkan, mungkin laki-laki itu sudah tahu bahwa dia tak pernah dilayani di hidupnya.

“Jadi?”

Dia mengulurkan tangan. “Tentu saja, Tuan,” dia berhenti, menatapnya, ragu.

“Fernthier,” ucapnya, tersenyum.

Dia seharusnya memutar otak tentang siapa laki-laki itu, atau dari mana keluarga Fernthier berasal. Namun ketika dia membawanya ke lantai dansa dan tangannya menyentuh pinggangnya, dia hanya dapat meletakkan tangan pada pundak, menatap wajah bertopengnya.

Fernthier tersenyum, dan Hiraya berusaha untuk fokus pada orang yang memutarnya di lantai dansa. Atau fakta bahwa Fernthier meraihnya hingga lebih dekat.

Tak ada orang yang mempedulikan mereka, semuanya fokus pada lawan dansa masing-masing. Hiraya mulai berpikir bahwa laki-laki yang ada di depannya bukanlah orang yang perlu dia takuti.

Perlahan, dia menunduk, menyesuaikan langkah. Bibinya tak pernah memberinya latihan berdansa, dan dengan kematian ayahnya, dia merasa terlalu berduka untuk menari. Mungkin dia sebaiknya lebih memperhatikan ketika Diora dengan susah payah menyelinap setelah kelas berdansanya, mengajari gerakan yang baru dia latih setiap hari.

Hiraya dapat merasakan tangannya naik, menuju punggungnya yang terbuka, memoleskan hangat pada kulit dinginnya, menyibak rambut yang dengan susah payah disemprotkan oleh bintik-bintik bercahaya. Nafasnya berderu, mata tertutup ketika dia merasakan bibir di dekat telinganya.

“Nona Violetta,” panggilnya. “Kau sebaiknya memberitahuku nama aslimu, sebelum aku memporak porandakan Crimsonrealm untuk mencarimu.”

Gadis itu membuka mata, menatap pada Fernthier yang tersenyum kecil. Itu hanyalah sebuah ancaman. Dia yakin sekali akan hal itu. Namun genggaman di pundaknya mengeras, dan dia menarik nafas dalam.

“Apa yang harus kukatakan?” tanyanya, berputar menjauhinya. Dan ketika dia kembali, dia merasakan tangan di pundak, laki-laki itu meletakkan hidung di rambutnya. Dadanya menempel di punggung. “Apa Fernthier adalah nama aslimu?”

Itu adalah percobaan jelek. Jika memang dia mengucapkan nama aslinya, Hiraya harus berhutang untuk memberitahukan namanya yang sebenarnya.

Namun ini adalah pesta topeng — dimana mereka, para bangsawan, diizinkan untuk menyembunyikan identitas mereka dan menimbunnya di dalam penutup wajah mereka.

Hiraya tak terkecuali. Bahkan Fernthier.

Ini bukanlah permainan untuk seorang bangsawan mendapatkan istri, atau para debutante untuk mendapatkan mereka yang mengetuk pintu rumah sambil membawa bunga dan puisi. Ini hanyalah malam dimana mereka bermain-main di kediaman seorang earl.

Namun dia dapat merasakan senyum laki-laki itu di rambutnya. “Aku kena ternyata,” dia berkomentar. “Baiklah.”

Hiraya merasakan dirinya berputar, dan ketika kakinya kehilangan keseimbangan, dia sedikit mengutuk sepatu berhaknya, mempertanyakan kenapa Diora menikmati ini. Laki-laki itu menangkapnya di pelukannya.

“Namaku Alaric.”

“Alaric,” ulangnya, tertawa. “Nama itu terdengar lebih cocok untuk sang pangeran dibanding untukmu.”

Alaric tertawa, menunduk. “Kuduga dia mengutip namaku,” sindirnya. “Kami sepantaran, kau tahu. Aku dan pangeran.”

“Baiklah,” dia menghela nafas. “Alaric.”

Dia dapat melihat bagaimana jakun laki-laki itu naik turun, matanya menunduk padanya tepat ketika dia menyebut namanya. “Apa kau akan tetap mempercayai namaku?”

“Aku hanya akan bermimpi untuk menerka namamu, Nona Violetta.”

Hiraya tertawa, melepaskan diri tepat ketika musik berhenti. Dia membungkuk padanya, sama dengan Alaric. “Sangat senang bertemu denganmu, Tuan Fernthier.”

“Alaric,” ralatnya. “Panggil aku Alaric saja.”

Dia mengerutkan dahi. “Baiklah,” ucapnya pada akhirnya. “Alaric.”

“Kau juga, Nona Violetta.”

Dia merasakan sentuhan di belakang lengannya, berbalik untuk melihat Diora yang terengah, senyum masih merekah. Gadis itu menilingkankan kepala, seolah mengajaknya pergi, jadi Hiraya menolehkan kepala pada laki-laki itu, menunduk sebelum berbalik dan melarikan diri.

“Aku harap kita akan bertemu lagi, Lucy Violetta.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status