Hiraya Clearwing takkan menjadi orang yang mereka harapkan.
Mereka takkan menyukai apa yang mereka puji — tidak gaun sutra berkilau dengan brokat, tidak rambut hitam panjang yang berkelip, tidak bibir merah di bawah topeng. Tak ada satupun yang nyata darinya malam ini.
Tangannya menelusuri gaun yang dipinjamkan padanya. Beberapa orang pasti telah memperhatikannya, menyadari bahwa beberapa laki-laki datang dan memuji gaun tersebut, meraih tangan yang tertutupi sarung, dan mengecup punggungnya untuk mencoba mengajaknya ke lantai dansa. Tidak. Dia tak bisa melakukan itu, jadi dia menolak, menundukkan kepala.
Dia seharusnya dari awal menolak ajakan Diora. Rasa malunya membuncah setiap kali seorang bangsawan datang dan memujinya.
Hiraya dia meremas erat minumannya, sesekali meneguk alkohol tersebut, membuatnya sedikit meringis. Mungkin saja dia menunjukkan itu dari topengnya, hingga dua buah jemari menurunkan gelas tersebut menjauh dari wajah.
Hiraya mendongak, memperhatikan laki-laki berambut kecoklatan tersebut, senyumnya terulas dan dia dapat menebak bahwa dia adalah seorang tampan bahkan ketika dia mengenakan topengnya.
Hidungnya mancung dan dia dapat melihat mata tajamnya dari balik topeng. Hanya ada rambut kecoklatan yang bahkan sedikit biasa untuk membuatnya mengenalinya. Laki-laki itu tersenyum kecil.
“Tak perlu buru-buru ketika minum,” tegurnya, suara dan nafasnya begitu dekat. “Apa yang kau lakukan sendirian tanpa pendamping?”
“Aku,” bisiknya, mata berputar mencari alasan, menoleh pada Diora yang melirik padanya di sela tarian. “Aku sedang mendampingi.”
Mungkin kebohongan bahwa dia tengah mengawasi temannya untuk pergi berdansa sendirian alih-alih melarikan diri dari rumahnya adalah sebuah tipuan jelek, karena laki-laki itu tertawa.
“Aku rasa tak ada gadis semuda kau yang ditugaskan untuk mendampingi seorang debutante, Nona,” komentarnya. “Kau juga tampak seperti seorang debutante.”
Hiraya mengalihkan pandangan. Ini hanya pakaiannya, membuatnya berbaur dengan orang-orang tanpa membuatnya terpikir bahwa mendiang ayahnya belum sempat mengantarnya untuk debut di kalangan bangsawan.
Dia mengangkat alis. “Bagaimana aku harus memanggilmu?”
Hiraya mengalihkan pandangan. Memberitahu nama aslinya adalah hal yang sama sekali lain. Jika baik paman atau bibinya mengetahui bahwa dia ada disini, dia harus berurusan dengan sedikit cambuk di pagi hari. Jadi dia menyebutkan sebuah nama.
“Lucy Violetta.”
Menyebutkan nama ibunya dengan marga yang tak pernah dikenal takkan menyakitinya. Laki-laki di depannya tak perlu tahu.
“Violetta?” ulangnya, meminum dari gelasnya. “Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”
Gadis itu tertawa kecil, menunduk, tangannya memainkan kuku di sisi-sisi gelas. Menyebutkan nama ibunya dengan marga yang tak pernah dikenal takkan menyakitinya. Laki-laki di depannya tak perlu tahu.
“Tapi itu tak seharusnya menjadi masalah,” dia berucap kembali, meletakkan minumannya pada seorang pelayan yang lewat sebelum mengulurkan tangan. “Ingin berdansa denganku, Nona Violetta?”
Hiraya menoleh pada Diora, tawanya terdengar ketika dia berputar di lantai dansa. Gadis itu tersenyum kecil, mencari pelayan hingga laki-laki itu meraih gelasnya, meletakkannya pada satu yang lewat.
Sepertinya dia telah memberitahu secara tak langsung bahwa dia tak memiliki latihan apapun, atau bahkan, mungkin laki-laki itu sudah tahu bahwa dia tak pernah dilayani di hidupnya.
“Jadi?”
Dia mengulurkan tangan. “Tentu saja, Tuan,” dia berhenti, menatapnya, ragu.
“Fernthier,” ucapnya, tersenyum.
Dia seharusnya memutar otak tentang siapa laki-laki itu, atau dari mana keluarga Fernthier berasal. Namun ketika dia membawanya ke lantai dansa dan tangannya menyentuh pinggangnya, dia hanya dapat meletakkan tangan pada pundak, menatap wajah bertopengnya.
Fernthier tersenyum, dan Hiraya berusaha untuk fokus pada orang yang memutarnya di lantai dansa. Atau fakta bahwa Fernthier meraihnya hingga lebih dekat.
Tak ada orang yang mempedulikan mereka, semuanya fokus pada lawan dansa masing-masing. Hiraya mulai berpikir bahwa laki-laki yang ada di depannya bukanlah orang yang perlu dia takuti.
Perlahan, dia menunduk, menyesuaikan langkah. Bibinya tak pernah memberinya latihan berdansa, dan dengan kematian ayahnya, dia merasa terlalu berduka untuk menari. Mungkin dia sebaiknya lebih memperhatikan ketika Diora dengan susah payah menyelinap setelah kelas berdansanya, mengajari gerakan yang baru dia latih setiap hari.
Hiraya dapat merasakan tangannya naik, menuju punggungnya yang terbuka, memoleskan hangat pada kulit dinginnya, menyibak rambut yang dengan susah payah disemprotkan oleh bintik-bintik bercahaya. Nafasnya berderu, mata tertutup ketika dia merasakan bibir di dekat telinganya.
“Nona Violetta,” panggilnya. “Kau sebaiknya memberitahuku nama aslimu, sebelum aku memporak porandakan Crimsonrealm untuk mencarimu.”
Gadis itu membuka mata, menatap pada Fernthier yang tersenyum kecil. Itu hanyalah sebuah ancaman. Dia yakin sekali akan hal itu. Namun genggaman di pundaknya mengeras, dan dia menarik nafas dalam.
“Apa yang harus kukatakan?” tanyanya, berputar menjauhinya. Dan ketika dia kembali, dia merasakan tangan di pundak, laki-laki itu meletakkan hidung di rambutnya. Dadanya menempel di punggung. “Apa Fernthier adalah nama aslimu?”
Itu adalah percobaan jelek. Jika memang dia mengucapkan nama aslinya, Hiraya harus berhutang untuk memberitahukan namanya yang sebenarnya.
Namun ini adalah pesta topeng — dimana mereka, para bangsawan, diizinkan untuk menyembunyikan identitas mereka dan menimbunnya di dalam penutup wajah mereka.
Hiraya tak terkecuali. Bahkan Fernthier.
Ini bukanlah permainan untuk seorang bangsawan mendapatkan istri, atau para debutante untuk mendapatkan mereka yang mengetuk pintu rumah sambil membawa bunga dan puisi. Ini hanyalah malam dimana mereka bermain-main di kediaman seorang earl.
Namun dia dapat merasakan senyum laki-laki itu di rambutnya. “Aku kena ternyata,” dia berkomentar. “Baiklah.”
Hiraya merasakan dirinya berputar, dan ketika kakinya kehilangan keseimbangan, dia sedikit mengutuk sepatu berhaknya, mempertanyakan kenapa Diora menikmati ini. Laki-laki itu menangkapnya di pelukannya.
“Namaku Alaric.”
“Alaric,” ulangnya, tertawa. “Nama itu terdengar lebih cocok untuk sang pangeran dibanding untukmu.”
Alaric tertawa, menunduk. “Kuduga dia mengutip namaku,” sindirnya. “Kami sepantaran, kau tahu. Aku dan pangeran.”
“Baiklah,” dia menghela nafas. “Alaric.”
Dia dapat melihat bagaimana jakun laki-laki itu naik turun, matanya menunduk padanya tepat ketika dia menyebut namanya. “Apa kau akan tetap mempercayai namaku?”
“Aku hanya akan bermimpi untuk menerka namamu, Nona Violetta.”
Hiraya tertawa, melepaskan diri tepat ketika musik berhenti. Dia membungkuk padanya, sama dengan Alaric. “Sangat senang bertemu denganmu, Tuan Fernthier.”
“Alaric,” ralatnya. “Panggil aku Alaric saja.”
Dia mengerutkan dahi. “Baiklah,” ucapnya pada akhirnya. “Alaric.”
“Kau juga, Nona Violetta.”
Dia merasakan sentuhan di belakang lengannya, berbalik untuk melihat Diora yang terengah, senyum masih merekah. Gadis itu menilingkankan kepala, seolah mengajaknya pergi, jadi Hiraya menolehkan kepala pada laki-laki itu, menunduk sebelum berbalik dan melarikan diri.
“Aku harap kita akan bertemu lagi, Lucy Violetta.”
Selesai satu lagu untuk berdansa, Diora mencari Hiraya. Lantas saja gadis itu langsung melepaskan tangan Alaric dan menarik Diora menuju halaman belakang kediaman earl.Diora tertawa, tangannya menggenggam temannya. Dia menghela nafas ketika menjatuhkan diri ke atas sebuah ayunan, gaun birunya bersinar menyaingi kerlip bintang. Hiraya di sampingnya, duduk dengan hati-hati dan membiarkan sepatunya terlepas. Keduanya menanggalkan topeng mereka masing-masing, dan Hiraya menyentuh wajahnya, tersenyum ketika mengenalinya sekali lagi. “Aku melihatmu berdansa,” dia berkomentar, mengayunkan ayunan ke kiri dan kanan. “Siapa dia? Apa kalian berkenalan?” Gadis itu menghela nafas. “Aku... Aku tak yakin soal itu.” Temannya mengernyitkan dahi, tubuh menegak. “Bagaimana bisa kau tak yakin? Apa kalian menyebutkan nama asli kalian? Aya, ini bisa menjadi kesempatanmu untuk melarikan diri. Kau seharusnya menggunakannya!” Tentu saja. Pertemuannya dengan Alaric bisa saja menjadi kesempatannya. Namun
Hiraya menarik nafas, merasakan bibir Alaric di lehernya. Dia dapat menyadari betapa panas hela nafasnya, setiap ciuman yang mendarat di kulitnya begitu hangat dan membara sementara tangannya mengusap lengannya. Dia bahkan sudah lupa dimana dia meletakkan sarung tangan serta sepatunya — mungkin tertinggal di taman. Dia menutup matanya sejenak. Sulit untuk berpikir ketika– “Alaric!” Dia menyangga tubuhnya dengan kedua lengan, menunduk pada laki-laki itu yang tengah memainkan pahanya, mengecup begitu banyak kulit disana. “Yang tenang, Aya,” tegurnya, tersenyum. “Aku takkan melukaimu.” Namun Hiraya dapat merasakan tangan di atas rusuknya, membuatnya mendongak. Sedikit kerlip terjatuh dari rambutnya, dan bahkan beberapa tersisa pada laki-laki itu. Alaric menyentuh pipinya kembali, mengecup bibirnya sebelum membaliknya, memberikan sentuhan yang sama pada tengkuknya sementara dia dapat merasakan tangannya bermain di kancing gaunnya. Dia menunduk, ragu, teringat akan korsetnya yang beg
Hiraya menarik nafas, terbangun. Tangannya berada di atas dada Alaric, membuatnya menelusurinya sementara alam bawah sadarnya masih terlalu banyak mengganggu pemikirannya. Mungkin dia seharusnya pergi, akan sedikit canggung baginya jika dia tetap tinggal. Namun dia merasakan usapan di punggungnya, lalu tangan Alaric yang masih tetap berada di lengan dan pundaknya. Dan Hiraya sedikit menahan diri untuk bergerak. Lagipula, dia merasa bahwa dia akan terjatuh jika dia berjalan sekarang. Laki-laki itu dengan begitu murah hati tidak meminta gilirannya tadi malam, dan walaupun dia merasa sedikit tidak enak, Hiraya meyakinkan diri bahwa itu bukan masalah besar. Juga, tadi malam adalah kali pertamanya. Akan sedikit menyesakkan jika dia melakukan segalanya sekaligus. “Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku,” dia memperingatkan pada malam tadi, menggenggam erat tangannya sementara dia berbaring di atasnya. “Aku akan menemukanmu jika begitu.” Dia tertawa. “Kalau begitu, kau tak perlu taku
Alaric menarik nafas, mengerang ketika terbangun, matanya segera terbuka ketika rabaan tangan di sampingnya hanyalah kosong dengan selimut yang tersibak. Bahkan ketika dia tertidur tadi malam, ada sebuah perasaan yang memohon padanya untuk terus membuka mata. Bahwa gadis itu akan pergi seperti embun mengucapkan selamat tinggal di bawah sinar matahari. Dan dia benar. “Selamat pagi, Sepupu.” Pangeran itu menoleh, menatap pada sepupunya yang telah menuangkan teh untuk dirinya sendiri, duduk di meja dan kursi sarapannya, kaki tersilang. “Sejak kapan kau ada disini?” “Kau tak senang karena melihatku?” tanya Dimitri, meletakkan cangkirnya. “Atau kau hanya tak senang karena aku bukan yang ingin kau lihat pagi ini?” Dia menghela nafas. Dimitri Fernthier adalah putra sang duke dari Flarevana, yang juga merupakan pamannya — kakak sang ratu. Namun dengan segala kedekatan mereka, Alaric begitu berharap bahwa adik sepupunya itu tak terlalu sering menyelinap masuk ke dalam ruangannya. Teruta
“Aku tak percaya kau membawaku kemari.” Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan. Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan. Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya. “Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.” Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?” “Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.” Mungkinkah? Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum me
Sang ratu adalah seorang dengan kesukaan terhadap musik dan anjing, membuat baik Alaric maupun Dimitri duduk di depannya dengan kaku, sementara pangeran itu memperhatikan seekor yang tengah digendong ibunya.“Alaric,” panggilnya, mengusap anjingnya.“Ya, Ibu.”“Bukan kau, Sayangku,” dia meralat. “Aku menamai ini Alaric, lucu bukan?”Dia mendengar kekehan dari Dimitri, yang berusaha meredam tawa di balik cangkir tehnya. Dan untuk sejenak, Alaric tergoda untuk menendang sepupunya tepat di tulang kering. Mungkin itu akan memuaskan kekesalannya.“Aku rasa aku bisa merubah namanya,” ucap sang ratu kembali. “Jika kau tidak bersikap seperti dia yang senang berlari tanpa mendengarkanku. Faktanya, anjingku yang ini adalah yang paling tidak bisa dikendalikan.”“Ibu,” dia berdeham. “Ibu menyakanku dengan anjing milik Ibu?”Sekali lagi, Alaric mendengar tawa teredam dari sepupunya, cangkir teh yang dia genggam bergetar karena menahan setiap hembusan nafas yang ingin di keluarkan keras-keras. Alar
Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia
Diora membuka pintu rumah Hiraya, menghela nafas ketika menyadari bahwa itu tak terkunci. Temannya memiliki sebuah kebiasaan dimana dia lupa untuk menutup pintu rapat-rapat sebelum dia pergi. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tengah berada di rumah pamannya, membantu pekerjaan rumah.Atau dia harus mengatakan bahwa Hiraya adalah salah satu pembantu di dalam rumah tersebut. Temannya itu akan kembali ketika sore tiba. Satu-satunya saat dimana dia tak berada disana adalah ketika makan pagi. Dimana yang lain mengambil alih. Namun Hiraya harus tetap berada disana hingga sebelum makan malam nanti.Diora membenci keluarga paman temannya dengan sepenuh hatinya.Waktu telah mencapai pukul lima ketika gadis itu kembali, membuka pintu tanpa mempertanyakan banyak hal, bahkan ketika dia melihat temannya merebahkan diri di tempat