Share

Satu Malam Saat Itu (Bagian 3 — 18+)

Hiraya menarik nafas, merasakan bibir Alaric di lehernya. Dia dapat menyadari betapa panas hela nafasnya, setiap ciuman yang mendarat di kulitnya begitu hangat dan membara sementara tangannya mengusap lengannya. Dia bahkan sudah lupa dimana dia meletakkan sarung tangan serta sepatunya — mungkin tertinggal di taman.

Dia menutup matanya sejenak. Sulit untuk berpikir ketika–

“Alaric!”

Dia menyangga tubuhnya dengan kedua lengan, menunduk pada laki-laki itu yang tengah memainkan pahanya, mengecup begitu banyak kulit disana. “Yang tenang, Aya,” tegurnya, tersenyum. “Aku takkan melukaimu.”

Namun Hiraya dapat merasakan tangan di atas rusuknya, membuatnya mendongak. Sedikit kerlip terjatuh dari rambutnya, dan bahkan beberapa tersisa pada laki-laki itu.

Alaric menyentuh pipinya kembali, mengecup bibirnya sebelum membaliknya, memberikan sentuhan yang sama pada tengkuknya sementara dia dapat merasakan tangannya bermain di kancing gaunnya.

Dia menunduk, ragu, teringat akan korsetnya yang begitu rumit. “Apa kau bisa melakukannya?”

Getar tawa Alaric terdengar, lalu kecupan di telinganya. “Kenapa aku tak bisa melakukannya?”

“Entahlah,” ucapnya, memerah. “Bahkan aku membutuhkan bantuan.”

“Ya?” dia tertawa. “Kau harus meminta bantuan padaku,” komentarnya, “Aku mahir melakukan ini.”

Dengan ucapan itu, dia merasakan tali korsetnya sendiri terlepas ketika udara lebih mudah masuk ke paru-parunya, membuatnya menarik nafas. Hiraya menoleh padanya, mata membulat. “Kau–”

“Lihat ‘kan?” bisiknya, meraih dagu untuk menciumnya kembali. “Aku mahir.”

Mungkin sebaiknya Hiraya mempertanyakan kenapa laki-laki itu lebih baik dalam membuka korset dibanding dirinya. Mungkin sebaiknya dia bertanya padanya tentang seberapa banyak dia melakukan itu hingga begitu mampu dalam menerka kemana talinya pergi.

Namun dia sebaiknya tak terlalu memikirkannya, karena Alaric telah membaliknya kembali dan membaringkannya ke atas bantal.

Dia memperhatikannya menarik kemeja longgarnya hingga terbuka, menampakkan torso dengan otot yang keras. Tidak seperti paman-paman menggelikan yang selalu dia lihat ketika dia berkeliaran terlalu jauh di pasar. Tidak. Alaric lebih–

“Kau boleh menyentuhnya,” dia meyakinkan, meraih tangannya untuk menyentuhkan diri pada gadis itu. “Kau tak perlu takut.”

Dan ketika dia teralihkan oleh tubuhnya, Alaric berhasil menyingkirkan korset dan gaunnya, menarik dalamannya turun hingga dia harus menekuk kaki dan menutupi dadanya dengan tangannya sendiri.

Namun laki-laki itu meletakkan jari di dagu, memintanya untuk memperhatikannya sebelum mencium bibirnya, menyingkirkan tangan yang ada di dadanya.

“Alaric–”

“Tak apa untuk menunjukkan dirimu,” dia meyakinkan, dan Hiraya dengan ragu membiarkan tangannya menjauh dari dada, membiarkan udara menyentuh pucuknya, membuatnya menutup mata.

“Dingin?”

“Sedikit,” bisiknya, menarik nafas dan meremas rambut Alaric ketika laki-laki itu memasukkan salah satu ke dalam mulutnya, satu tangan meremasnya.

“Oh, tidak,” bisiknya. “Tidak, Alaric. Ah.”

Dia dapat merasakan satu kaki Alaric berada di antaranya, menjepit mereka terbuka dan bergerak, gesekannya tepat di tengahnya. Hiraya merasakan seluruh inderanya terbuka.

Dia dapat mendengar desahannya, matanya tertutup, dan wangi ruangan laki-laki itu menyeruak. Tangannya meremas bantalnya sementara yang lain menyentuh kepalanya, memaksanya untuk tetap melanjutkan apa yang dia lakukan atau menjauh.

Hiraya tak lagi tahu.

Yang dia rasakan saat ini terlalu membuncah. Dia ingin menjauh dari sana. Melarikan diri sebelum dia merasakan dirinya meledak. Namun tak bisa. Alaric telah menjebaknya, membuatnya ingin datang lagi dan lagi ke dalam sentuhannya.

Dan ketika dia merasakan daratan ciuman di atas perutnya, dia hanya mampu menghela nafas, menutup mata. Kecupan Alaric selalu terasa menenangkan, seolah menghilangkan apa yang tadinya dia lakukan.

“Aku tak tahu apa yang kau sukai,” bisiknya pada akhirnya, ciumannya naik ke atasnya dan Hiraya takut akan siraman perasaan yang menyerangnya ketika dia mengecup dadanya kembali. “Apa yang kau rasakan?”

Gadis itu menarik nafas, menutup mata sejenak sebelum membukanya. Dia dapat memperhatikan wajah penuh harap darinya, membuatnya mengusap pipi dan mulai kembali bertanya-tanya jika dia melakukan ini pada setiap wanita yang dia temui — membawanya menuju nyaris ke puncak sebelum memaksanya turun kembali.

“Aya,” bisiknya kembali, menyentuh pipinya. “Apa kau menyukainya?”

Hiraya berkedip, memperhatikan kedua mata tersebut. “Iya,” dia membalas. “Terasa menyesakkan pada awalnya, tapi aku mulai menikmatinya dalam beberapa saat.”

Senyuman Alaric kembali. “Ya?” sahutnya, mencium lehernya kembali. “Kau menyukainya?”

Ada sebagian kecil dari Hiraya yang membuatnya menyesal bahwa dia mengatakan itu. Bahwa dia telah membawakan satu titik arogansi pada laki-laki yang kembali berada di atasnya, mengusap lengannya sebelum duduk, meraih kakinya dan membuatnya berada di antaranya. Dan Hiraya merasa bahwa dia takkan tahu apa yang akan dia lakukan padanya setelah ini.

Namun Alaric menundukkan kepala, pandangan tak pernah lepas darinya, dan dia merasakan ciuman tepat di atasnya, membuatnya menarik nafas, meraih rambut kecoklatan tersebut.

“Alaric!”

“Yang tenang, Aya,” tegurnya kembali. “Yang tenang, gadis cantikku.”

Hiraya merasakan dirinya bergetar pada panggilan itu, walaupun dia tahu bahwa Alaric hanya tengah menenangkannya di dalam kabut nafsu — untuk tetap membuatnya bersamanya, untuk tetap membuatnya mengikutinya.

 Hiraya dapat merasakan jemari bergabung dengan bibirnya, dan dia menarik nafas, desahannya terdengar di ruangan.

“Alaric,” bisiknya, terengah, tangannya meremas selimut sementara dia menyangga tubuh dengan kedua lengannya, berusaha melihat apa yang tengah dia lakukan. “Alaric. Astaga, Tuhanku–”

Geraman laki-laki itu turun hingga ke pusatnya, membuatnya bergetar. “Namaku, Aya,” perintahnya. “Namaku.”

“Alaric,” panggilnya, menjatuhkan diri ke ranjang. “Alaric, Alaric.”

Satu tangannya naik, mengusap tubuhnya dari perut menuju dada, meremas satu sebelum Hiraya merenggutnya ke dalam genggaman, meremas tangan tersebut ketika dia merasakan dirinya sendiri naik ke puncak, desahannya semakin kentara, dengan setia mengucapkan nama laki-laki yang baru saja dia temui di pesta malam itu.

Jemari Alaric ikut bertautan dengannya, seolah meyakinkannya untuk melakukan apapun, sementara bibir, lidah, dan jarinya bermain di pusatnya, membuka dan menjelajahi tempat dimana tak seharusnya ada yang masuk kesana. Hiraya merasakan matanya berputar ke belakang, punggungnya melengkung.

Tepat ketika Alaric melepasnya.

“Tidak!” jeritnya, mata memohon ketika melihatnya tersenyum kecil. “Kumohon,” dia berbisik. “Kumohon, Alaric. Kumohon–”

“Seberapa dekat?”

Dia awalnya tak memahaminya, namun untuk sejenak, Hiraya tahu apa yang dia tanyakan. “Dekat,” balasnya, nafas terengah. “Sangat dekat. Kumohon. Jangan berhenti. Jangan–”

Gadis itu menjerit kembali ketika merasakannya membenamkan kepala ke selangkangannya, dua jarinya membuka miliknya sebelum lidahnya meluncur masuk ke dalam, bergerak cepat. Mungkin seluruh Crimsonrealm mampu mendengar suaranya. Mungkin dia takkan bisa menampakkan wajahnya di kota setelah malam ini.

Namun tak ada yang bisa dia pikirkan sementara tangannya meremas bantal, punggungnya kembali melengkung, sementara satu tangannya yang lain meremas rambut Alaric, memohon untuk tak berhenti.

Hingga puncaknya tiba, jeritan teredam tangan laki-laki itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status