Share

Bab 9

Author: Ummu Amay
last update Last Updated: 2025-09-20 14:46:53

Setelah pertemuan dengan Hartono usai, Rafael kemudian meminta izin pada sang kakek untuk mengajak Hanna pergi ke butik langganan mereka.

"Jadi, bukan kakek Anda yang meminta kontrak pernikahan itu dibuat?" tanya Hanna setelah ia dan Rafael berada di dalam mobil.

"Apakah kau pikir aku akan setuju menikah dengan perempuan yang tidak aku kenal. Perempuan yang berbeda status ekonomi dan latar belakang keluarga, tak perlu berpikir tujuh kali, semua pria di dunia ini akan langsung menolak permintaan konyol itu."

Sebetulnya tinggal menjawab iya, sudah cukup bagi Hanna. Tapi, Rafael justru menjelaskan alasan di balik pembuatan kontrak pernikahan tersebut dengan kalimat yang menyakitkan.

'Kalau bukan karena ibu dan hutang-hutang orang tuaku, aku tak pernah mau menyetujui pernikahan ini,' batin Hanna menangis.

Gadis itu sakit hati. Walaupun faktanya ia memang berasal dari keluarga miskin, tapi penekanan Rafael yang terus membahas dan menghina status dirinya, membuat rasa sakit hati itu muncul.

"Sebelum bertemu dengan Bastian, aku mau kamu mengubah penampilanmu dulu," kata Rafael yang tidak menyadari suasana hati Hanna yang tiba-tiba sedih.

'Terserah apapun yang mau Anda lakukan. Bukankah saya sudah terjual? Anda sudah membeli tubuhku ini bukan?' kata Hanna dalam hati. Gadis itu menangis dalam diam. Tak mau Rafael melihat tangisnya, ia memilih memandang jalanan di luar.

Semua Rafael lakukan serba cepat. Setelah memilih pakaian yang bagus dan mahal untuk Hanna, ia lalu membawa gadis itu ke sebuah salon untuk merapikan penampilannya yang sederhana.

"Hai, Rafael. Apakah ada yang bisa aku bantu?" Seorang pria gemulai menyapa Rafael dan bertanya maksud kedatangannya.

"Kamu ubah tampilan gadis ini seperti wanita-wanita yang kerap bersamaku," ucap Rafael seraya mendorong tubuh Hanna ke hadapan si pria gemulai.

Pria itu menatap Hanna, lalu memindai tubuh Hanna dari kepala sampai kaki, membuat Hanna canggung dan malu. Tak lama kemudian, sebuah senyum tersungging di bibirnya.

"Gadis ini sudah cantik. Aku tak perlu banyak memoles wajahnya."

"Ya, terserah apapun itu. Pokoknya aku tak mau melihat penampilannya yang kampungan ini."

Lagi-lagi Rafael mengucapkan kalimat menyakitkan, yang hanya mampu membuat Hanna mengelus dada, bersabar.

Si pria gemulai mengangguk, tersenyum. "Itu pekerjaan mudah, Rafael. Serahkan padaku."

Selama beberapa waktu Hanna berada dalam penanganan si pria gemulai. Selama itu pula ia bisa melihat sedikit kehidupan pertemanan Rafael.

Selama didandani Hanna melihat beberapa wanita berpakaian anggun dan elegan, masuk ke salon dan berbicara dengan Rafael. Bahkan, kalau Hanna tidak salah lihat, ada seorang artis terkenal yang sering ia lihat di layar televisi, mencium pipi kiri dan kanan Rafael, lalu berbincang begitu hangat dan mesra.

Ada rasa tak nyaman yang hadir di hati Hanna. Seketika ia membayangkan, lelaki seperti apa yang akan menjadi suami kontraknya tersebut.

'Apa yang kau pikirkan, Hanna. Rafael adalah seorang pria kaya. Sudah pasti dirinya kenal dengan banyak wanita yang juga berasal dari kalangan atas sepertinya. Kau hanya seorang istri kontrak sebagai balas jasa yang sudah lelaki itu lakukan terhadapmu,' batin Hanna mencoba meyakinkan dirinya jika pernikahan yang akan terjadi, hanyalah sebuah sandiwara. Dan apapun tujuan Rafael, itu bukan urusannya.

Satu jam berlalu, Rafael kemudian mengajak Hanna pergi. Tak ada suara di sepanjang perjalanan mereka menuju kantor Bastian. Hanya satu kalimat yang Rafael ucapkan kepada si pria gemulai setelah selesai mendandani Hanna.

"Aku tak pernah salah memilih. Kau memang terbaik," ucap Rafael waktu itu sembari terus menatap penampilan Hanna yang berubah terlihat semakin cantik.

Setelah itu perjalanan terasa hening. Mereka tidak mengobrol hingga mobil berhenti di sebuah bangunan kantor dengan tulisan firma hukum atas nama Bastian sarjana hukum.

"Sejauh ini kau memang bersikap baik dan tidak memalukan. Tapi, lebih baik aku ingatkan sekali lagi supaya kau tetap bersikap demikian, dan tidak melakukan hal-hal kampungan di depan sahabatku."

Hanna tak berkomentar. Telinganya sudah terlalu pengang mendengar kalimat-kalimat tajam dan menyakitkan yang keluar dari mulut Rafael.

Di dalam ruangan di lantai dua, Rafael mengajak Hanna bertemu dengan Bastian. Di sana, Hanna disambut dengan sangat baik. Bahkan, berkali-kali Bastian memuji kecantikan Hanna yang terlihat alami tersebut.

"Kau melihatnya setelah aku membawanya ke salon dan butik," sahut Rafael sepertinya jengah dengan pujian yang terus sahabatnya berikan.

Bastian tersenyum mengejek. "Siapa pun tahu kalau calon istrimu ini memang cantik. Dia memang terlihat sederhana, tapi tetap saja cantik. Dengan penampilannya sekarang, dia sudah bisa disejajarkan dengan wanita-wanitamu di luaran sana."

Ucapan Bastian membuat Rafael menatap sinis, seolah tak terima dengan kalimat yang baru saja terlontar. Lain dengan Hanna yang akhirnya menyadari jika kehidupan calon suami kontraknya itu dikelilingi oleh banyak perempuan.

"Sudah cukup. Sekarang aku mau kamu ubah surat kontrak pernikahan yang kemarin dibuat." Rafael memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Apa yang mau diubah? Bukankah kalian berdua sudah setuju dan menandatanganinya?"

Rafael menghela napas panjang sebelum kemudian ia menceritakan tentang keinginan sang kakek yang mau segera diberi cucu buyut dari pernikahannya dengan Hanna.

Sontak saja Bastian tertawa. Lelaki itu sepertinya sangat puas melihat nasib sahabatnya itu.

"Kau senang, Bastian?" Rafael bertanya kesal.

"Tentu saja. Aku senang karena akhirnya Don Juan kita akan menyudahi petualangannya." Perkataan Bastian membuat Hanna tanpa sadar tersenyum, tipis sekali.

"Kau gila!" seru Rafael sebal.

"Hei! Kau yang gila." Bastian membalas cepat.

Kedua lelaki itu berada dalam suasana hati yang berbeda. Bastian yang senang karena akhirnya sang sahabat akan berumah tangga dan mengakhiri petualangannya. Di sisi lain, Rafael justru frustrasi karena harus memiliki anak dari Hanna. Sedangkan Hanna, gadis itu seolah sudah tidak memiliki hak untuk dirinya. Rafael telah membayarnya untuk pernikahan kontrak ini. Jadi, mau apa pun itu ia harus setuju.

"Jadi, apa yang mau kalian ubah dari perjanjian kemarin?" tanya Bastian kemudian.

Sejenak Rafael berpikir, lalu ia pun menjawab. "Kami akan mengakhiri pernikahan kontrak ini bila selama dua tahun ia tidak hamil dan mengandung anakku."

Bastian mencoba memahami maksud Rafael yang sepertinya tak mau memiliki anak dari Hanna.

"Oke. Lantas, bagaimana jika Hanna hamil dan melahirkan anakmu? Bagaimana dengan kontrak itu?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 80

    Langit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 79

    Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 78

    Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 77

    Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 76

    Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 75

    Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status