เข้าสู่ระบบSetelah pertemuan dengan Hartono usai, Rafael kemudian meminta izin pada sang kakek untuk mengajak Hanna pergi ke butik langganan mereka.
"Jadi, bukan kakek Anda yang meminta kontrak pernikahan itu dibuat?" tanya Hanna setelah ia dan Rafael berada di dalam mobil. "Apakah kau pikir aku akan setuju menikah dengan perempuan yang tidak aku kenal. Perempuan yang berbeda status ekonomi dan latar belakang keluarga, tak perlu berpikir tujuh kali, semua pria di dunia ini akan langsung menolak permintaan konyol itu." Sebetulnya tinggal menjawab iya, sudah cukup bagi Hanna. Tapi, Rafael justru menjelaskan alasan di balik pembuatan kontrak pernikahan tersebut dengan kalimat yang menyakitkan. 'Kalau bukan karena ibu dan hutang-hutang orang tuaku, aku tak pernah mau menyetujui pernikahan ini,' batin Hanna menangis. Gadis itu sakit hati. Walaupun faktanya ia memang berasal dari keluarga miskin, tapi penekanan Rafael yang terus membahas dan menghina status dirinya, membuat rasa sakit hati itu muncul. "Sebelum bertemu dengan Bastian, aku mau kamu mengubah penampilanmu dulu," kata Rafael yang tidak menyadari suasana hati Hanna yang tiba-tiba sedih. 'Terserah apapun yang mau Anda lakukan. Bukankah saya sudah terjual? Anda sudah membeli tubuhku ini bukan?' kata Hanna dalam hati. Gadis itu menangis dalam diam. Tak mau Rafael melihat tangisnya, ia memilih memandang jalanan di luar. Semua Rafael lakukan serba cepat. Setelah memilih pakaian yang bagus dan mahal untuk Hanna, ia lalu membawa gadis itu ke sebuah salon untuk merapikan penampilannya yang sederhana. "Hai, Rafael. Apakah ada yang bisa aku bantu?" Seorang pria gemulai menyapa Rafael dan bertanya maksud kedatangannya. "Kamu ubah tampilan gadis ini seperti wanita-wanita yang kerap bersamaku," ucap Rafael seraya mendorong tubuh Hanna ke hadapan si pria gemulai. Pria itu menatap Hanna, lalu memindai tubuh Hanna dari kepala sampai kaki, membuat Hanna canggung dan malu. Tak lama kemudian, sebuah senyum tersungging di bibirnya. "Gadis ini sudah cantik. Aku tak perlu banyak memoles wajahnya." "Ya, terserah apapun itu. Pokoknya aku tak mau melihat penampilannya yang kampungan ini." Lagi-lagi Rafael mengucapkan kalimat menyakitkan, yang hanya mampu membuat Hanna mengelus dada, bersabar. Si pria gemulai mengangguk, tersenyum. "Itu pekerjaan mudah, Rafael. Serahkan padaku." Selama beberapa waktu Hanna berada dalam penanganan si pria gemulai. Selama itu pula ia bisa melihat sedikit kehidupan pertemanan Rafael. Selama didandani Hanna melihat beberapa wanita berpakaian anggun dan elegan, masuk ke salon dan berbicara dengan Rafael. Bahkan, kalau Hanna tidak salah lihat, ada seorang artis terkenal yang sering ia lihat di layar televisi, mencium pipi kiri dan kanan Rafael, lalu berbincang begitu hangat dan mesra. Ada rasa tak nyaman yang hadir di hati Hanna. Seketika ia membayangkan, lelaki seperti apa yang akan menjadi suami kontraknya tersebut. 'Apa yang kau pikirkan, Hanna. Rafael adalah seorang pria kaya. Sudah pasti dirinya kenal dengan banyak wanita yang juga berasal dari kalangan atas sepertinya. Kau hanya seorang istri kontrak sebagai balas jasa yang sudah lelaki itu lakukan terhadapmu,' batin Hanna mencoba meyakinkan dirinya jika pernikahan yang akan terjadi, hanyalah sebuah sandiwara. Dan apapun tujuan Rafael, itu bukan urusannya. Satu jam berlalu, Rafael kemudian mengajak Hanna pergi. Tak ada suara di sepanjang perjalanan mereka menuju kantor Bastian. Hanya satu kalimat yang Rafael ucapkan kepada si pria gemulai setelah selesai mendandani Hanna. "Aku tak pernah salah memilih. Kau memang terbaik," ucap Rafael waktu itu sembari terus menatap penampilan Hanna yang berubah terlihat semakin cantik. Setelah itu perjalanan terasa hening. Mereka tidak mengobrol hingga mobil berhenti di sebuah bangunan kantor dengan tulisan firma hukum atas nama Bastian sarjana hukum. "Sejauh ini kau memang bersikap baik dan tidak memalukan. Tapi, lebih baik aku ingatkan sekali lagi supaya kau tetap bersikap demikian, dan tidak melakukan hal-hal kampungan di depan sahabatku." Hanna tak berkomentar. Telinganya sudah terlalu pengang mendengar kalimat-kalimat tajam dan menyakitkan yang keluar dari mulut Rafael. Di dalam ruangan di lantai dua, Rafael mengajak Hanna bertemu dengan Bastian. Di sana, Hanna disambut dengan sangat baik. Bahkan, berkali-kali Bastian memuji kecantikan Hanna yang terlihat alami tersebut. "Kau melihatnya setelah aku membawanya ke salon dan butik," sahut Rafael sepertinya jengah dengan pujian yang terus sahabatnya berikan. Bastian tersenyum mengejek. "Siapa pun tahu kalau calon istrimu ini memang cantik. Dia memang terlihat sederhana, tapi tetap saja cantik. Dengan penampilannya sekarang, dia sudah bisa disejajarkan dengan wanita-wanitamu di luaran sana." Ucapan Bastian membuat Rafael menatap sinis, seolah tak terima dengan kalimat yang baru saja terlontar. Lain dengan Hanna yang akhirnya menyadari jika kehidupan calon suami kontraknya itu dikelilingi oleh banyak perempuan. "Sudah cukup. Sekarang aku mau kamu ubah surat kontrak pernikahan yang kemarin dibuat." Rafael memilih untuk mengalihkan pembicaraan. "Apa yang mau diubah? Bukankah kalian berdua sudah setuju dan menandatanganinya?" Rafael menghela napas panjang sebelum kemudian ia menceritakan tentang keinginan sang kakek yang mau segera diberi cucu buyut dari pernikahannya dengan Hanna. Sontak saja Bastian tertawa. Lelaki itu sepertinya sangat puas melihat nasib sahabatnya itu. "Kau senang, Bastian?" Rafael bertanya kesal. "Tentu saja. Aku senang karena akhirnya Don Juan kita akan menyudahi petualangannya." Perkataan Bastian membuat Hanna tanpa sadar tersenyum, tipis sekali. "Kau gila!" seru Rafael sebal. "Hei! Kau yang gila." Bastian membalas cepat. Kedua lelaki itu berada dalam suasana hati yang berbeda. Bastian yang senang karena akhirnya sang sahabat akan berumah tangga dan mengakhiri petualangannya. Di sisi lain, Rafael justru frustrasi karena harus memiliki anak dari Hanna. Sedangkan Hanna, gadis itu seolah sudah tidak memiliki hak untuk dirinya. Rafael telah membayarnya untuk pernikahan kontrak ini. Jadi, mau apa pun itu ia harus setuju. "Jadi, apa yang mau kalian ubah dari perjanjian kemarin?" tanya Bastian kemudian. Sejenak Rafael berpikir, lalu ia pun menjawab. "Kami akan mengakhiri pernikahan kontrak ini bila selama dua tahun ia tidak hamil dan mengandung anakku." Bastian mencoba memahami maksud Rafael yang sepertinya tak mau memiliki anak dari Hanna. "Oke. Lantas, bagaimana jika Hanna hamil dan melahirkan anakmu? Bagaimana dengan kontrak itu?" ***Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti
Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le
“Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har
Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi
Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua
Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku







