LOGINMembalas kebaikan seorang kakek tua karena telah membiayai seluruh pengobatan sang ibu, membuat seorang Hanna Saraswati mau menerima perjodohan yang diberikan kepadanya. Menikah dengan Rafael Bachtiar, cucu dari kakek tersebut akhirnya Hanna jalani selama dua tahun lamanya. Ya, dua tahun adalah syarat yang Rafael ajukan seandainya Hanna tidak bisa memberinya keturunan. Lantas, bagaimana bila seandainya Hanna hamil dan melahirkan anak dari Rafael? Apakah lelaki itu akan tetap menyudahi pernikahan atau hanya mau menunggu anaknya lahir, lalu meninggalkan Hanna nantinya?
View More"Dug! Dug! Dug!"
Suara gedoran pintu di luar terdengar sangat keras tepat saat Hanna baru keluar dari kamar mandi. Tak ada jeda, suara itu masih terdengar —malah semakin kencang dan cepat. "Buka pintunya!" Suara teriakan dari seorang pria menyatu dengan suara gedoran pintu yang Hanna yakin telah membuat beberapa tetangganya berdatangan. Ini bukan pertama kali terjadi, sudah beberapa kali dalam sebulan suara yang tak asing ini menyambangi kediaman Hanna. "Sebentar!" teriak Hanna si empu rumah. Gadis itu melangkah cepat, tak ingin jika suara kencang dan keras itu semakin membuat kerumunan warga di lingkungan tempatnya tinggal bertambah banyak. Saat pintu dibuka, tampak ada sekitar lima orang pria berpakaian preman berdiri di depan pintu rumah Hanna dengan ekspresi seram dan mengintimidasi. "Mau apa lagi kalian datang ke sini?" tanya Hanna sedikit berteriak, mencoba memberanikan diri. Salah seorang dari mereka mendekat, "Mana uang yang kamu janjikan?" tanyanya dengan suara pelan, tapi mampu membuat seorang gadis seperti Hanna gemetaran. "Aku 'kan sudah bilang, kalau uangnya sudah ada aku akan langsung bayar." Hanna mencoba menjawab meski hatinya mencelos demi melihat kelima laki-laki yang tubuhnya jauh besar bila dibandingkan dengannya berdiri mengerubungi. "Tapi, kapan? Kamu tidak memberi tahu kami tanggalnya." "Aku tidak bisa menentukan karena kalian pasti akan datang kemari jika aku sebutkan tanggalnya." "Tentu saja," kekeh si pria itu tertawa, meledek. "Bos pasti akan menyuruh kami kembali datang di tanggal yang kamu sepakati." Bibir Hanna bergetar, antara takut juga ingin bicara. Tapi, saat kerumunan tetangga terlihat berbisik membicarakannya, membuat Hanna kemudian bersuara. "Katakan saja kepada bos kalian, aku akan bayar secepatnya." Si pria yang tadinya tertawa tiba-tiba diam, kemudian menatap tajam wajah Hanna. Jari telunjuknya lalu mendekat dan mencoba menyentuh pipi Hanna, tetapi gadis itu langsung menghindar sehingga jari yang tampak besar itu tidak sampai menyentuhnya. Ekspresi jijik Hanna perlihatkan ketika melihat seringai jahat tampak di wajah pria di depannya. Giginya yang besar dan kuning berjejer begitu menakutkan. "Bos tidak memberi waktu lagi. Bayar lusa atau kamu akan kami bawa untuk menambah koleksi wanita di tempat kami." Pilihan yang tidak bisa Hanna tepati karena keduanya adalah pilihan yang sangat sulit. Lusa, dari mana ia akan dapatkan uang demi melunasi seluruh hutang kedua orang tuanya? Tapi, menjadi salah satu wanita simpanan seorang germo seperti Darma, bukanlah pilihan yang tepat. Pastinya itu sangat menjijikkan. Empat pria di belakang yang sejak tadi hanya tersenyum jahat dan mengejek Hanna, kini tertawa dengan suara yang lebih kencang. "Sepertinya kita akan memiliki pekerja baru. Dia akan jadi primadona." Salah seorang dari mereka berkomentar. "Pastinya. Kita tak perlu bersusah payah menipu para gadis kampung yang mau mencari pekerjaan di kota. Di depan kita sekarang sudah ada calon bintang yang akan membuat tempat kita semakin banyak pengunjungnya. Bos akan mendapatkan banyak uang, dan pastinya kita akan mendapat bonus yang jumlahnya tidak sedikit." Hati Hanna menciut. Bayangan dirinya menjadi seorang pelacur menari-nari di pelupuk matanya. Tubuh yang selama ini dijaga —tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun, akan menjadi bulan-bulanan para pria pencari nafsu. Tubuhnya pun bergidik ngeri, karena feeling mereka mungkin akan menjadi kenyataan. Sebab mustahil rasanya dalam dua hari ia mendapatkan uang untuk melunasi semua hutang milik orang tuanya. "Tidak lusa! Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari?" Pria di depannya masih tertawa, "Itu masalahmu dan bukan urusan kami!" Tawa membahana saat langkah mereka mulai meninggalkan rumah kontrakan Hanna. Bahkan, mereka masih sempat mengejek beberapa warga yang menonton keributan yang mereka timbulkan. Hanna hanya bisa diam. Tubuhnya mematung seiring tubuh lima pria tadi yang perlahan menghilang —meninggalkan kediamannya, menaiki motor yang mereka parkir sembarangan di sebelah rumahnya. Dalam diamnya tiba-tiba Hanna dikejutkan oleh dering ponsel yang ia letakkan di meja TV. Gadis itu bergegas untuk menerima panggilan yang entah dari siapa. Nama seorang perawat rumah sakit yang nomornya ia simpan terpampang di layar. Perasaannya mendadak tak enak. Ada apa dengan ibunya yang sudah sepekan ini terbaring di rumah sakit? "Ya, halo!" "Selamat pagi, Mba Hanna! Saya Yuanita." "Iya, Ibu. Ada kabar apa dengan ibu saya?" Perasaan Hanna semakin tak enak demi mendengar suara hening di telinganya. "Mba Hanna, maaf sekali saya harus menyampaikan kabar buruk. Barusan saja dokter yang menangani ibu Anda memberi tahu bahwa kondisi Bu Sinta sekarang kritis." "Apa, Bu? Ibu saya kritis? Oh, Tuhan!" Hanna benar-benar syok sekarang. "Iya, Mba, dan dokter meminta Anda datang untuk meminta persetujuan mengenai tindakan operasi yang harus dilakukan." "I-iya, Bu. Saya ke rumah sakit sekarang." Dalam kondisi dirinya yang masih stress akan kedatangan para anak buah Darma, rentenir yang akan menjadikannya pekerja seks komersial bila tidak bisa melunasi semua hutang, Hanna dibuat semakin syok dengan kabar tentang kondisi sang ibu yang saat ini tengah berjuang melawan penyakitnya. Saat Hanna baru sampai di parkiran rumah sakit, tiba-tiba ia dikejutkan oleh teriakan seorang lelaki tua yang meminta tolong. "Tolong!" Tak lama, tak jauh dari tempat Hanna berdiri muncul sosok seorang lelaki yang berlari membawa sesuatu di tangannya. Lelaki yang berpakaian berantakan itu berlari seolah menghindari teriakan yang barusan Hanna dengar. Merasa jika lelaki itu adalah target dari teriakan lelaki tua tadi, Hanna berinisiatif untuk melakukan sesuatu. Entah keberanian dari mana, Hanna kemudian menjulurkan satu kakinya sesaat lelaki yang berlari tadi hendak melewatinya. Alhasil, si lelaki yang hanya fokus menatap ke depan dan tidak menyadari apa yang Hanna lakukan, seketika terjerembab jatuh bersama barang yang dibawanya. Hanna sontak mengambil barang yang terlempar ke dekat kakinya. Lelaki yang tadi jatuh kini menatap marah pada Hanna. Ketika ia sudah berhasil bangun dan akan mendekat, tiba-tiba muncul dua orang security dari arah belakang. Tak mau tertangkap, lelaki tadi memilih untuk berlari meninggalkan area. Dua orang security tadi tetap mengejar meski barang yang sepertinya dicuri sudah ada di tangan Hanna. Tak lama lelaki tua yang tadi berteriak, muncul dan menghampiri Hanna. "Apakah ini barang milik Anda?" Lelaki tua berpakaian parlente, khas penampilan seorang pengusaha, mengangguk dengan senyum ramah yang membuat Hanna kemudian menyodorkan barang yang telah ia selamatkan. "Terima kasih." Hanna hanya mengangguk. Kemudian, ia pun pamit beranjak pergi. "Siapa nama kamu?" kata lelaki tua itu yang membuat langkah Hanna terhenti. "Saya Hanna." Lelaki itu tersenyum. "Saya Hartono," ucapnya sembari mengulurkan tangan. Hanna menyambut uluran tangan lelaki di depannya. "Sekali lagi terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan." "Sama-sama, Pak. Tapi, maaf, saya harus segera pergi." "Tunggu!" Lelaki tua itu meminta Hanna kembali berhenti. "Iya, Pak." "Maukah kamu menjadi menantu saya?" "Hah! Apa?" ***Langit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah
Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar
Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me
Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng
Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat
Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments