แชร์

Bab 10

ผู้เขียน: Ummu Amay
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-21 15:13:16

Pernikahan benar-benar diselenggarakan dengan sangat mewah —sesuai janji dan keinginan Hartono. Tak ada satu pun kolega, rekan bisnis, atau kerabat yang lelaki tua itu kenal yang tidak diundangnya. Semua hadir di pesta yang diselenggarakan di aula sebuah hotel milik keluarga Bachtiar.

Tampak Hartono —si empu acara, begitu senang dan bahagia. Akhirnya, keinginannya menikahkan Rafael dengan seorang perempuan yang sesuai kriterianya, terlaksana.

Sinta, ibunya Hanna, yang masih dalam masa pemulihan hanya bisa menyaksikan acara pernikahan putrinya melalui panggilan video yang dibantu oleh anak buah Rafael. Tak perlu tanyakan, apa reaksi wanita itu saat Hartono memberi tahu rencana pernikahan yang mendadak tersebut. Kaget dan tak percaya memenuhi pikiran Sinta yang tak pernah mendapat kabar apapun mengenai kekasih hati Hanna sebelumnya.

Ya, bukan Hanna yang bercerita, tapi Hartono yang menyampaikan semuanya dengan sangat baik dan bijak, tanpa ada sedikit pun hal tidak masuk akal mengenai asal muasal lamaran yang ia lakukan, yang tidak ia ceritakan kepada ibunya Hanna itu.

Mau tak mau Sinta menerima, meski ada sedikit kekhawatiran mengenai latar belakang keluarga sang menantu yang berada sangat jauh darinya, bak langit dan bumi.

"Ibu hanya bisa berdo'a semoga pernikahanmu dengan Nak Rafael diberi keberkahan oleh Tuhan." Sebuah pesan Sinta sampaikan sesaat Hanna akan bersanding bersama Rafael di pelaminan.

Pasangan pengantin baru itu sendiri terlihat menyambut kehadiran para tamu dengan sangat baik. Hanna yang memiliki manner yang bagus —meski berasal dari keluarga kurang mampu, bisa bersandiwara ketika harus menunjukkan ekspresi bahagia di depan para tamu undangan —yang hampir semuanya tidak ia kenal. Sama halnya dengan Rafael yang memang diwanti-wanti oleh sang kakek untuk menjaga sikap dan marwah keluarga, mampu membuat para undangan terkecoh, menganggap jika pernikahan itu benar-benar terjadi sesuai hati. Hingga membuat beberapa wanita yang memiliki hubungan sangat dekat dengannya, menatap sebal pada Hanna.

Hanna yang malam itu terlihat cantik dan menawan, mampu membuat para wanita tersebut iri. Bahkan, sebagian dari mereka sampai mencari data diri istri Rafael tersebut, demi untuk mencari kelemahan dan kekurangannya, yang mungkin saja akan digunakan sebagai senjata untuk menjatuhkan gadis tersebut setelah berhasil membuat mereka gagal menjadi menantu keluarga Bachtiar.

"Sandiwaramu sangat bagus," puji Rafael di kamar pengantin mereka setelah pesta selesai.

Hanna yang saat itu tengah menenangkan debaran di hatinya —sebab berduaan saja dengan Rafael di kamar, hanya tersenyum kaku.

"Anda sudah membayar saya. Sudah selayaknya saya melakukan pekerjaan tersebut dengan benar," balas Hanna sedikit takut.

Rafael menatap gadis itu tajam. Lalu, tersenyum sinis, respon atas ucapan Hanna yang mengatakan jika pernikahan kontrak yang akan mereka jalani adalah sebuah pekerjaan baginya.

"Apapun itu, aku ucapkan terima kasih. Karena kamu, aku bisa melihat kakek tersenyum bahagia."

Hanna mendongak, menatap Rafael. Ia kaget karena lelaki itu tidak sungkan untuk mengucapkan terima kasih.

Ada sensasi aneh yang tiba-tiba hadir di dadanya ketika menatap wajah tampan yang malam itu bertambah level ketampanannya.

"Oh ya, mengenai permintaan kakek yang ingin segera menimang cucu buyut, secepatnya aku akan turuti. Aku harap kau pun mau bekerja sama."

Hanna mengangguk. Ia tidak lupa dengan surat perjanjian yang baru, yang pekan lalu sudah ia tanda tangani.

"Jadi, bagaimana kalau Hanna bisa melahirkan anak sebelum waktu dua tahun berakhir?" Satu pertanyaan Bastian utarakan ketika Rafael meminta sahabatnya itu mengubah isi surat perjanjian.

Saat itu Rafael sempat berpikir, tapi dengan tegas ia menjawab bahwa anak itu akan menjadi milik keluarga Bachtiar.

Meski hati Hanna menolak, tapi ia tak memiliki pilihan. Uang kompensasi sudah ia terima, bahkan Hanna sendiri sudah mendapat jaminan perlindungan atas para preman yang mungkin saja akan mencarinya.

"Tapi, untuk malam ini aku harus pergi."

"Anda mau kemana?" tanya Hanna cepat.

Sejenak Rafael diam. Kedua alisnya bertaut, tanda jika dirinya tidak menyukai pertanyaan tersebut.

"Kau tidak lupa isi perjanjian kontrak kita tentang tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing bukan?" Rafael berkata dingin, membuat Hanna sontak terdiam, membisu.

Selama beberapa saat pasangan pengantin baru itu diam dalam pikiran masing-masing.

"Maafkan saya. Saya sudah lancang," kata Hanna akhirnya. Dalam hati ia membodoh-bodohi dirinya sendiri karena lupa dengan statusnya sekarang.

Rafael hanya melengos tanpa kata. Setelahnya ia pun berbalik dan menatap cermin besar yang ada di sudut kamar. Lelaki itu merapikan penampilannya sebelum pergi.

"Ada pesta private yang teman-temanku buat dan aku harus hadiri."

Hanna diam tidak menyahut. Ia takut jika kembali salah bicara.

"Lain kali tidak ada lagi pertanyaan tak penting yang tidak ada hubungannya dengan kontrak pernikahan kita," ujar Rafael yang kemudian meninggalkan Hanna sendirian di dalam kamar.

Setelah pintu tertutup Hanna bisa bernapas lega. Ia langsung menghela dengan sangat panjang, seolah baru saja melepaskan bebas yang sangat berat.

Jujur saja sejak tadi Hanna sangat stres karena keberadaan Rafael di kamar itu. Kamar yang dihias cantik selayaknya kamar pengantin, mampu membuat hati dan pikiran Hanna tak fokus. Ketakutan akan permintaan Hartono yang ingin ia memiliki anak dengan Rafael, membuatnya gugup.

'Untung saja dia pergi,' gumam Hanna yang kemudian memilih untuk berganti baju.

"Gaun ini cantik, tapi aku seperti tak pantas memakainya," kata Hanna sambil menatap dirinya di depan cermin.

Gaun berwarna putih bersih yang didesain tertutup, tanpa ada sedikit pun bagian tubuh Hanna yang terbuka, begitu pas di badannya yang tidak gemuk, tapi juga tidak kurus itu.

Selama beberapa saat Hanna berdiri sambil sesekali memutar tubuhnya sebelum akhirnya berhenti untuk melepas gaun tersebut. Namun, Hanna sedikit merasa kesulitan karena resleting gaun tersebut yang cukup panjang hingga ke pinggang.

"Ah, kenapa sulit sekali," kata Hanna kesal.

Beberapa kali Hanna berusaha sembari melihat ke arah cermin. Ia berharap akan terbantu jika sambil melihat tubuh bagian belakangnya. Tapi sayangnya, hal itu tetap tak berhasil, hingga ia mendengar suara pintu terbuka dari luar.

Hanna terkejut saat melihat Rafael kembali. Begitu juga Rafael yang mendadak mematung sebab melihat kondisi Hanna dengan gaun pengantinnya yang sedikit terbuka di bagian pundak.

Tak mau terlihat terpesona, Rafael memilih untuk bersikap cuek. Ia berjalan mendekat ke arah Hanna, yang malah membuat gadis itu salah tanggap. Ia gugup, diam tak bergerak.

"Aku lupa ganti baju," ucap Rafael seraya menunjuk kaos dan jas lain yang ada di gantungan baju —di samping cermin.

Saat akan mengambil pakaian gantinya itu Rafael tidak sengaja melihat punggung mulus Hanna yang terbuka, membuatnya diam tak bergerak.

"Kau mengalami kesulitan dengan gaun itu?" tanya Rafael tiba-tiba saat menyadari resleting yang berada di tengah gaun.

"I-iya," jawab Hanna benar-benar gugup.

"Mau aku bantu?"

Hanna ragu, tapi tanpa sadar ia mengangguk.

Rafael pun melupakan pakaian gantinya. Ia bergerak sedikit, mendekati Hanna yang perlahan berbalik supaya Rafael mudah melakukan pekerjaannya.

Di depan Rafael sekarang tampak punggung Hanna yang sepanjang pesta tertutup, kini ia lihat dengan sangat jelas. Begitu putih dan mulus.

Ketika proses itu berlangsung, tanpa sengaja Rafael menyentuh kulit punggung sang istri. Satu gerakan spontan bisa terlihat seiring suara halus yang terlontar dari bibir Hanna, respon atas sentuhan lembut yang Rafael lakukan.

Sepertinya ada sesuatu atau dorongan yang sengaja ingin mengajak Rafael bermain. Sebab setelah Rafael selesai dengan pekerjaannya, tanpa sadar ia malah menurunkan gaun dari bahu mulus Hanna secara perlahan.

"A-apa yang Anda lakukan?"

***

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 106

    Hening yang tercipta setelah pernyataan Rafael terasa begitu terasa hingga membuat Hanna sulit bernapas. Ibunya masih menggenggam tangannya, sementara Yoga menatapnya dengan campuran khawatir dan bersalah —seolah kejadian itu adalah kesalahannya, padahal sama sekali bukan.Rafael menatap keduanya, memastikan tidak ada luka, tidak ada sesuatu yang terlewat.“Bu,” ucap Rafael akhirnya, nadanya menurun namun tetap tegas, “mulai hari ini, kediaman Ibu akan dijaga. Saya akan kirim dua orang. Mereka tidak akan mengganggu aktivitas Ibu, tapi Ibu tidak boleh keluar sendirian untuk sementara.”Ibunya Hanna tampak hendak menolak, tetapi kemudian ia melihat lagi cara Rafael berdiri, tegap, terlihat bahaya, dan sepenuhnya mengambang pada satu hal —melindungi Hanna dan orang-orang sekitarnya.Ia mengangguk pelan. “Baik, Nak Rafael.”Yoga mengangkat tangan sebentar, suaranya pelan, “Aku juga akan dijaga?”Rafael menatapnya tanpa banyak ekspresi. “Ya.”Yoga hendak mengangguk, tetapi ia berhenti keti

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 105

    Pagi baru saja menghangatkan teras kediaman Bachtiar ketika Hanna melangkah keluar dari ruang utama. Setelah percakapan berat dengan Hartono, kepalanya masih penuh suara-suara yang menyisakan decak ngeri. Ia berjalan dengan langkah pelan, seperti seseorang yang sedang belajar kembali mengatur napasnya sendiri.Rafael berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan kedua tangan terlipat. Begitu melihat Hanna keluar, ia segera menjauh dari dinding dan menghampirinya.“Hanna?” suaranya rendah, khawatir.Hanna mengangguk kecil. “Kita bicara di kamar nanti. Sekarang … aku butuh udara.”Rafael mengizinkan, tetap mengikuti beberapa langkah di belakangnya seperti bayangan yang tak mau hilang.Namun, baru lima langkah mereka berjalan, seorang pelayan berlari kecil dari arah gerbang utama.“Pak Rafael! Non Hanna! Ada tamu datang.”Rafael mengerutkan dahi. “Tamu? Siapa?”“Bu Sinta, ibunya Nona Hanna. Dan satu orang lagi —seorang laki-laki bernama Yoga.”Hanna terhenti.“Apa?” suaranya keluar le

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 104

    “Kenapa ini terdengar sangat rumit dan berbahaya?” Hanna membatin, jari-jarinya menekan sampul map hingga memucat.Rasa dingin merambat perlahan dari tengkuk ke punggungnya. Bukan hanya karena apa yang baru saja ia dengar, tetapi karena tatapan Hartono dan Rafael sama-sama mengarah padanya.Sebagai pusat ancaman.Sebagai sasaran utama.Meski ia tidak pernah meminta satu pun dari semua ini.Rafael melangkah mendekat, berdiri tepat di samping kursi Hanna. Satu tangannya bergerak seolah ingin menyentuh bahu Hanna, namun ia tahan —mungkin takut menyulitkan perasaan Hanna, mungkin juga karena Hartono masih memperhatikan.“Hanna,” panggil Rafael lembut namun tegas.Hanna mendongak. Tatapan Rafael bukan belas kasihan. Bukan pula rasa bersalah. Melainkan ketegasan orang yang sedang membangun dinding pelindung di sekitarnya.“Aku tidak akan membiarkan satu pun menyentuhmu,” lanjutnya.Hanna menelan ludah. Kata-kata itu menghangatkan, sekaligus membuat dadanya sesak.“Rafael benar,” sambung Har

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 103

    Hening menyelimuti ruangan setelah kalimat itu. Seolah udara ikut membeku bersama bayang-bayang masa lalu yang kembali hidup.Rafael perlahan berdiri. “Kek … kalau benar Rana kembali, dia tidak akan berhenti hanya dengan mengganggu Hanna. Dia akan menyasar perusahaan. Nama keluarga. Bahkan—”“Ya,” potong Hartono pelan, namun tegas. “Dan itu sebabnya kita tidak boleh lengah.”Hanna menatap keduanya, dada sesak. “Apa… Rana punya alasan untuk membalas dendam pada keluarga ini?”Hartono menghela napas. Dalam. Berat. Napas seorang lelaki yang sudah melewati banyak perang, tapi tak menyangka harus menghadapi yang satu ini.“Rana adalah orang yang Kakek anggap keluarga.” Hartono bersandar sedikit, wajahnya tampak lebih tua dari beberapa menit sebelumnya. “Ayahmu, Rafael, juga sangat mempercayainya. Dia masuk ke dalam lingkaran terdekat kami. Tetapi ketika proyek timur bermasalah … dia menghilang. Tanpa jejak. Tanpa menjelaskan apa pun.”Rafael menambahkan dengan suara rendah, “Dia pergi begi

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 102

    Ruang utama itu selalu memiliki wibawa tersendiri. Pilar kayu jati menjulang kokoh, lukisan-lukisan lama keluarga Bachtiar menghiasi dinding, dan aroma teh pahit kesukaan Hartono masih menggantung di udara.Namun pagi ini, semuanya terasa lebih berat. Seolah ruangan itu sendiri menahan napas.Hartono duduk di kursi kepala meja panjang. Bahunya tegap meski usianya sudah lanjut, rambutnya memutih sempurna, namun matanya —mata yang dulu membangun Bachtiar Grup dari nol, masih setajam baja.Rafael memberi Hanna isyarat untuk duduk di sampingnya, lalu ia sendiri berdiri tegak di hadapan kakeknya.Hartono mengangkat pandangan ketika mereka tiba. “Duduklah, kalian berdua.” Suaranya dalam, tenang, tapi menyimpan tekanan yang membuat udara sejenak menegang.Hanna menelan ludah, mencoba mengatur napas. Ia selalu menghormati Hartono. Bagaimana pun juga, lelaki tua itulah yang membuatnya menjadi bagian dari keluarga konglomerat tersebut —meski statusnya hanyalah kontrak.Namun, tatapan lelaki tua

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 101

    Cahaya pagi menyusup masuk melalui tirai tipis kamar Hanna, membentuk garis-garis lembut di lantai marmer. Biasanya, pagi di rumah itu terasa hangat dan tenang. Namun hari ini, hawa ketakutan semalam masih menggantung seperti bayangan yang menolak pergi.Hanna duduk di pinggir ranjang, tangan memegangi map cokelat berisi catatan ayahnya. Rasa dingin dari sampul kertas itu seolah menembus kulitnya.Ia belum tidur —hanya menutup mata sebentar setelah Rafael memastikan semua penjagaan ditingkatkan dan pengawal ditempatkan di depan pintu.Ketukan lembut terdengar.Hanna menoleh. Rafael masuk tanpa suara, masih memakai kemeja hitam yang sama sejak semalam. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya lelah —namun sorot matanya tajam dan fokus, seperti seseorang yang tidak boleh goyah walau tubuhnya ingin runtuh.“Kau bangun lebih pagi dari perkiraanku.” Rafael duduk di sampingnya. “Tidak bisa tidur?”Hanna menggeleng pelan. “Tidak setelah… semua itu.”Rafael menghela napas dan menyandarkan siku

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status