Share

Bab 8

Author: Ummu Amay
last update Huling Na-update: 2025-09-20 14:45:41

Setelah semalam Hanna menumpang tidur di apartemen milik Rafael, lelaki itu kemudian memintanya datang untuk bertemu sang kakek. Tentu saja setelah sebelumnya Rafael mau mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu sekaligus menjaminkan sejumlah uang sebagai pembiayaan rumah sakit selama ibunya dirawat.

Ya, kompensasi yang Rafael janjikan, telah Hanna terima di awal. Lelaki itu menyetujui permintaan gadis itu untuk membantunya melunasi biaya rumah sakit, termasuk semua hutang kepada Darma nantinya.

Saat ini Hanna sudah berada di dalam sebuah ruang tamu yang sangat besar. Sebuah ruangan yang sangat mewah di rumah yang sangat besar dan megah, yang belum pernah Hanna lihat sepanjang hidupnya.

Hanna merasakan dadanya berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai muncul di ruangan yang sebetulnya ber-AC tersebut.

"Kakekku bukan orang yang menakutkan." Rafael yang sejak tadi duduk di depannya, tiba-tiba bersuara —tampak menyindir Hanna yang terlihat stres.

Hanna tidak merespon, ia memilih untuk menenangkan hatinya daripada membalas nyinyiran Rafael.

"Akhirnya kamu datang juga, Nak. Selamat datang di rumah keluarga Bachtiar." Seorang lelaki tua yang pernah Hanna tolong muncul dari balik ruangan lain bersama seorang lelaki berpakaian necis yang juga pernah Hanna lihat saat di rumah sakit.

Hartono menyambut kedatangan gadis itu sembari mengulurkan tangannya. Terburu-buru Hanna berdiri dan meraih uluran tangan Hartono padanya. Ia menunduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat. Namun, sikapnya tersebut membuat Rafael tersenyum sinis. Lain dengan Hartono yang justru menepuk bahu Hanna, lalu meminta gadis itu bersikap biasa.

"Duduklah. Santai saja, Hanna," ucap Hartono dibalas anggukan dan senyuman canggung dari Hanna.

"Bagaimana kabarmu? Rafael memperlakukan kamu dengan sangat baik bukan?" Pertanyaan Hartono membuat Hanna spontan menengok ke arah Rafael. Tapi, lelaki itu tampak acuh dan malah melengos.

Melihat sikap sang cucu dan kebingungan Hanna, Hartono buru-buru menjelaskan.

"Aku tahu peristiwa yang menimpamu kemarin. Rafael sudah menceritakan semuanya."

Seketika Hanna mengerti. Ia pun tersenyum, merespon pertanyaan Hartono. "Saya sehat, Pak. Cucu Anda sangat baik. Beliau telah menyelamatkan saya," ucap Hanna tulus.

Hartono tersenyum, senang mendengar ucapan Hanna yang terdengar jujur.

"Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Semakin senang ketika Rafael memberi tahuku mengenai jawaban lamaran yang aku pernah utarakan padamu tempo hari."

Hanna tersenyum canggung. "I-iya, Pak. Maaf bila akhirnya saya menerima permintaan Anda setelah berkali-kali menolak."

"Oh, tidak, Hanna. Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku malah senang dan sudah seharusnya saya berterima kasih karena akhirnya kamu mau menerima lamaranku untuk Rafael."

Sosok lelaki yang namanya disebut, terlihat memutar kedua matanya malas. Pembahasan yang sebetulnya sudah selesai itu terdengar membosankan baginya.

"Jadi, apakah kita bisa langsung pada intinya, Kek?" tanya Rafael ingin pertemuan itu segera berakhir.

Hartono menatap Rafael kesal. Ia sedang bahagia karena pernikahan yang akan terlaksana, tapi cucunya malah membuat suasana jadi tak menyenangkan.

"Apakah kamu ada janji hari ini, Rafael?"

"Tidak. Tapi, aku pikir pertemuan hari ini tidak perlu banyak basa-basi, langsung bahas saja mengenai rencana pernikahanku dengannya," kata Rafael yang kemudian memandang Hanna yang terus menundukkan kepalanya.

Hartono menghela napas kesal. Tapi, kemudian ia memilih untuk menuruti permintaan Rafael.

"Baiklah. Mari kita bahas intinya saja. Tolong kamu catat, Tristan." Hartono berkata pada lelaki yang berdiri di sebelahnya.

Lelaki itu mengangguk seraya bersiap dengan tablet di tangannya.

"Pernikahan kalian akan diadakan minggu depan. Semua urusan pernikahan termasuk pesta dan undangan sudah Kakek tangani. Kalian hanya tinggal memberikan daftar tamu atau teman yang akan diundang saja."

Rafael mendengarkan dengan santai. Berbeda dengan Hanna yang menyimak dengan begitu serius. 'Bukankah ini hanya pernikahan kontrak, tapi mengapa harus ada pesta segala,' batinnya tak mengerti.

Menyadari sikap Hanna, Rafael langsung bersuara. "Ini pernikahan pertama keluarga Bachtiar, jelas kakek mau membuat pesta besar dan mengundang semua orang. Tujuannya tak lain supaya orang-orang di luar sana tahu siapa menantu keluarga Bachtiar yang akan menemaniku dalam menjalankan tugas sebagai seorang pewaris satu-satunya keluarga."

Hartono tersenyum mendengar penjelasan Rafael, tapi Hanna malah bengong sebab merasa jika alasan itu sangatlah konyol.

"Saya berasal dari keluarga miskin, apakah Anda tidak akan malu memperkenalkan saya ke hadapan masyarakat di luar sana. Terutama rekan serta kolega Anda, Pak, yang berasal dari level yang sama seperti Anda." Hanna mencoba mencari tahu alasan masuk akal dari rencana pesta pernikahan yang akan diselenggarakan.

Respon Rafael sudah bisa diduga oleh Hanna. Lelaki itu menaikkan kedua bahunya seolah meminta sang kakek untuk menjawab pertanyaan Hanna barusan.

"Aku tidak peduli latar belakangmu, Hanna. Aku malah senang karena kamu yang akan menjadi menantuku. Jadi, bukan hal yang memalukan ketika aku memperkenalkan kamu sebagai menantu keluarga Bachtiar."

"Lantas, bagaimana jika nanti Anda mendapat tanggapan kurang mengenakan dari mereka tentang saya?"

Lagi-lagi Hartono malah tersenyum. Ia sama sekali tidak menanggapi dengan serius kekhawatiran Hanna tersebut.

"Aku tak peduli itu, Hanna. Kamu juga tidak perlu khawatir akan hal itu. Yang perlu kamu pikirkan, juga Rafael," ucap Hartono kemudian, membuat sang cucu menoleh tak peduli.

"Kalian harus memberikan Kakek cucu sesegera mungkin."

"Apa, Kek?" Seketika Rafael terkejut. Begitu pun dengan Hanna yang akhirnya berpikir jika kontrak pernikahan yang ia tanda tangani semalam rupanya tanpa sepengetahuan Hartono.

"Iya, Rafael. Kakek mau kamu dan Hanna memberi cucu buyut untuk Kakek. Kalau bisa secepatnya karena Kakek tidak tahu kapan Kakek meninggal. Kakek mau menyaksikan kehadiran anak di rumah besar ini setelah sekian tahun lamanya rumah ini sepi," tutur Hartono dengan wajah pilu.

"Kek, jangan berkata seperti itu. Kakek akan panjang umur, bahkan sampai Kakek melihat anak-anakku tumbuh besar."

"Jangan berlebihan. Kakek juga tak mau hidup lama dalam kondisi tua dan sakit-sakitan," kekeh Hartono yang tampaknya tidak peduli dengan harapan Rafael.

"Tidak ada yang sakit-sakitan. Kakek itu sehat. Sudah, tak ada pembahasan itu. Pokoknya Kakek akan panjang umur dan selalu sehat." Rafael mencoba menyudahi pembahasan sensitif tersebut.

Hartono tersenyum mendengar kekhawatiran Rafael. Ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan hidup sampai akhirnya sang cucu menikah.

"Ya, tak ada pembahasan itu. Tapi, permintaan anak masih berlaku sebagai salah satu syarat warisan, Rafael."

Seketika Rafael melotot. "Ini tidak Kakek bahas sebelumnya."

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 80

    Langit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 79

    Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 78

    Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 77

    Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 76

    Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat

  • Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir   Bab 75

    Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status