Setelah semalam Hanna menumpang tidur di apartemen milik Rafael, lelaki itu kemudian memintanya datang untuk bertemu sang kakek. Tentu saja setelah sebelumnya Rafael mau mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu sekaligus menjaminkan sejumlah uang sebagai pembiayaan rumah sakit selama ibunya dirawat.
Ya, kompensasi yang Rafael janjikan, telah Hanna terima di awal. Lelaki itu menyetujui permintaan gadis itu untuk membantunya melunasi biaya rumah sakit, termasuk semua hutang kepada Darma nantinya. Saat ini Hanna sudah berada di dalam sebuah ruang tamu yang sangat besar. Sebuah ruangan yang sangat mewah di rumah yang sangat besar dan megah, yang belum pernah Hanna lihat sepanjang hidupnya. Hanna merasakan dadanya berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai muncul di ruangan yang sebetulnya ber-AC tersebut. "Kakekku bukan orang yang menakutkan." Rafael yang sejak tadi duduk di depannya, tiba-tiba bersuara —tampak menyindir Hanna yang terlihat stres. Hanna tidak merespon, ia memilih untuk menenangkan hatinya daripada membalas nyinyiran Rafael. "Akhirnya kamu datang juga, Nak. Selamat datang di rumah keluarga Bachtiar." Seorang lelaki tua yang pernah Hanna tolong muncul dari balik ruangan lain bersama seorang lelaki berpakaian necis yang juga pernah Hanna lihat saat di rumah sakit. Hartono menyambut kedatangan gadis itu sembari mengulurkan tangannya. Terburu-buru Hanna berdiri dan meraih uluran tangan Hartono padanya. Ia menunduk dengan tubuh yang sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat. Namun, sikapnya tersebut membuat Rafael tersenyum sinis. Lain dengan Hartono yang justru menepuk bahu Hanna, lalu meminta gadis itu bersikap biasa. "Duduklah. Santai saja, Hanna," ucap Hartono dibalas anggukan dan senyuman canggung dari Hanna. "Bagaimana kabarmu? Rafael memperlakukan kamu dengan sangat baik bukan?" Pertanyaan Hartono membuat Hanna spontan menengok ke arah Rafael. Tapi, lelaki itu tampak acuh dan malah melengos. Melihat sikap sang cucu dan kebingungan Hanna, Hartono buru-buru menjelaskan. "Aku tahu peristiwa yang menimpamu kemarin. Rafael sudah menceritakan semuanya." Seketika Hanna mengerti. Ia pun tersenyum, merespon pertanyaan Hartono. "Saya sehat, Pak. Cucu Anda sangat baik. Beliau telah menyelamatkan saya," ucap Hanna tulus. Hartono tersenyum, senang mendengar ucapan Hanna yang terdengar jujur. "Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Semakin senang ketika Rafael memberi tahuku mengenai jawaban lamaran yang aku pernah utarakan padamu tempo hari." Hanna tersenyum canggung. "I-iya, Pak. Maaf bila akhirnya saya menerima permintaan Anda setelah berkali-kali menolak." "Oh, tidak, Hanna. Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku malah senang dan sudah seharusnya saya berterima kasih karena akhirnya kamu mau menerima lamaranku untuk Rafael." Sosok lelaki yang namanya disebut, terlihat memutar kedua matanya malas. Pembahasan yang sebetulnya sudah selesai itu terdengar membosankan baginya. "Jadi, apakah kita bisa langsung pada intinya, Kek?" tanya Rafael ingin pertemuan itu segera berakhir. Hartono menatap Rafael kesal. Ia sedang bahagia karena pernikahan yang akan terlaksana, tapi cucunya malah membuat suasana jadi tak menyenangkan. "Apakah kamu ada janji hari ini, Rafael?" "Tidak. Tapi, aku pikir pertemuan hari ini tidak perlu banyak basa-basi, langsung bahas saja mengenai rencana pernikahanku dengannya," kata Rafael yang kemudian memandang Hanna yang terus menundukkan kepalanya. Hartono menghela napas kesal. Tapi, kemudian ia memilih untuk menuruti permintaan Rafael. "Baiklah. Mari kita bahas intinya saja. Tolong kamu catat, Tristan." Hartono berkata pada lelaki yang berdiri di sebelahnya. Lelaki itu mengangguk seraya bersiap dengan tablet di tangannya. "Pernikahan kalian akan diadakan minggu depan. Semua urusan pernikahan termasuk pesta dan undangan sudah Kakek tangani. Kalian hanya tinggal memberikan daftar tamu atau teman yang akan diundang saja." Rafael mendengarkan dengan santai. Berbeda dengan Hanna yang menyimak dengan begitu serius. 'Bukankah ini hanya pernikahan kontrak, tapi mengapa harus ada pesta segala,' batinnya tak mengerti. Menyadari sikap Hanna, Rafael langsung bersuara. "Ini pernikahan pertama keluarga Bachtiar, jelas kakek mau membuat pesta besar dan mengundang semua orang. Tujuannya tak lain supaya orang-orang di luar sana tahu siapa menantu keluarga Bachtiar yang akan menemaniku dalam menjalankan tugas sebagai seorang pewaris satu-satunya keluarga." Hartono tersenyum mendengar penjelasan Rafael, tapi Hanna malah bengong sebab merasa jika alasan itu sangatlah konyol. "Saya berasal dari keluarga miskin, apakah Anda tidak akan malu memperkenalkan saya ke hadapan masyarakat di luar sana. Terutama rekan serta kolega Anda, Pak, yang berasal dari level yang sama seperti Anda." Hanna mencoba mencari tahu alasan masuk akal dari rencana pesta pernikahan yang akan diselenggarakan. Respon Rafael sudah bisa diduga oleh Hanna. Lelaki itu menaikkan kedua bahunya seolah meminta sang kakek untuk menjawab pertanyaan Hanna barusan. "Aku tidak peduli latar belakangmu, Hanna. Aku malah senang karena kamu yang akan menjadi menantuku. Jadi, bukan hal yang memalukan ketika aku memperkenalkan kamu sebagai menantu keluarga Bachtiar." "Lantas, bagaimana jika nanti Anda mendapat tanggapan kurang mengenakan dari mereka tentang saya?" Lagi-lagi Hartono malah tersenyum. Ia sama sekali tidak menanggapi dengan serius kekhawatiran Hanna tersebut. "Aku tak peduli itu, Hanna. Kamu juga tidak perlu khawatir akan hal itu. Yang perlu kamu pikirkan, juga Rafael," ucap Hartono kemudian, membuat sang cucu menoleh tak peduli. "Kalian harus memberikan Kakek cucu sesegera mungkin." "Apa, Kek?" Seketika Rafael terkejut. Begitu pun dengan Hanna yang akhirnya berpikir jika kontrak pernikahan yang ia tanda tangani semalam rupanya tanpa sepengetahuan Hartono. "Iya, Rafael. Kakek mau kamu dan Hanna memberi cucu buyut untuk Kakek. Kalau bisa secepatnya karena Kakek tidak tahu kapan Kakek meninggal. Kakek mau menyaksikan kehadiran anak di rumah besar ini setelah sekian tahun lamanya rumah ini sepi," tutur Hartono dengan wajah pilu. "Kek, jangan berkata seperti itu. Kakek akan panjang umur, bahkan sampai Kakek melihat anak-anakku tumbuh besar." "Jangan berlebihan. Kakek juga tak mau hidup lama dalam kondisi tua dan sakit-sakitan," kekeh Hartono yang tampaknya tidak peduli dengan harapan Rafael. "Tidak ada yang sakit-sakitan. Kakek itu sehat. Sudah, tak ada pembahasan itu. Pokoknya Kakek akan panjang umur dan selalu sehat." Rafael mencoba menyudahi pembahasan sensitif tersebut. Hartono tersenyum mendengar kekhawatiran Rafael. Ia bahagia dan bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan hidup sampai akhirnya sang cucu menikah. "Ya, tak ada pembahasan itu. Tapi, permintaan anak masih berlaku sebagai salah satu syarat warisan, Rafael." Seketika Rafael melotot. "Ini tidak Kakek bahas sebelumnya." ***Setelah pertemuan dengan Hartono usai, Rafael kemudian meminta izin pada sang kakek untuk mengajak Hanna pergi ke butik langganan mereka. "Jadi, bukan kakek Anda yang meminta kontrak pernikahan itu dibuat?" tanya Hanna setelah ia dan Rafael berada di dalam mobil. "Apakah kau pikir aku akan setuju menikah dengan perempuan yang tidak aku kenal. Perempuan yang berbeda status ekonomi dan latar belakang keluarga, tak perlu berpikir tujuh kali, semua pria di dunia ini akan langsung menolak permintaan konyol itu."Sebetulnya tinggal menjawab iya, sudah cukup bagi Hanna. Tapi, Rafael justru menjelaskan alasan di balik pembuatan kontrak pernikahan tersebut dengan kalimat yang menyakitkan. 'Kalau bukan karena ibu dan hutang-hutang orang tuaku, aku tak pernah mau menyetujui pernikahan ini,' batin Hanna menangis.Gadis itu sakit hati. Walaupun faktanya ia memang berasal dari keluarga miskin, tapi penekanan Rafael yang terus membahas dan menghina status dirinya, membuat rasa sakit hati itu munc
Setelah semalam Hanna menumpang tidur di apartemen milik Rafael, lelaki itu kemudian memintanya datang untuk bertemu sang kakek. Tentu saja setelah sebelumnya Rafael mau mengantarnya ke rumah sakit untuk menjenguk sang ibu sekaligus menjaminkan sejumlah uang sebagai pembiayaan rumah sakit selama ibunya dirawat. Ya, kompensasi yang Rafael janjikan, telah Hanna terima di awal. Lelaki itu menyetujui permintaan gadis itu untuk membantunya melunasi biaya rumah sakit, termasuk semua hutang kepada Darma nantinya. Saat ini Hanna sudah berada di dalam sebuah ruang tamu yang sangat besar. Sebuah ruangan yang sangat mewah di rumah yang sangat besar dan megah, yang belum pernah Hanna lihat sepanjang hidupnya.Hanna merasakan dadanya berdebar tak karuan. Keringat dingin mulai muncul di ruangan yang sebetulnya ber-AC tersebut. "Kakekku bukan orang yang menakutkan." Rafael yang sejak tadi duduk di depannya, tiba-tiba bersuara —tampak menyindir Hanna yang terlihat stres. Hanna tidak merespon, ia
Hanna bisa merasakan udara hangat menyapa telinganya ketika satu kalimat meluncur dari bibir si pria asing. Sejenak ia terpaku, mencoba mengabaikan sensasi aneh yang tiba-tiba hadir di dalam hatinya. Selama beberapa detik Hanna terdiam, seperti terbuai karena posisinya sekarang. Hanna yang mencoba menahan tubuh pria di atasnya dengan kedua tangan yang memegang dada, berharap supaya momen yang membuatnya canggung itu segera berakhir. "Anda mau saya melakukan apa?" Hanna memberanikan diri bertanya. Suaranya lirih dan gugup. Meski lelaki itu memiliki wajah tampan dan badan yang bagus, tetapi jika dirinya harus melakukan seperti apa yang para perempuan di tempat Darma lakukan, Hanna tak akan mau. Ia takut. Sekian detik Hanna menunggu sembari menatap wajah si pria yang masih memandangnya dalam diam.Tak berapa lama pria itu beranjak bangun, membuat Hanna bisa bernapas lega yang kemudian memilih untuk duduk sambil menarik selimut. "Aku mau kamu menikah denganku," ucap pria itu setelah be
Sepertinya butuh kekuatan ekstra ketika pintu kamar itu berhasil dijebol oleh seseorang. Hanna yang masih belum bisa menerima atas apa yang Jasmin lakukan terhadapnya, tampak terdiam begitu melihat seorang pria menatapnya dengan tatapan dingin, tapi juga terlihat khawatir. Seorang pria yang sebelumnya muncul ketika dirinya disambangi oleh para preman yang merupakan anak buah Darma di taman depan rumah sakit, kini tiba-tiba muncul di tempat di mana Hanna dibawa. 'Apakah dia datang untuk menolongku?' batinnya bertanya penuh harap. Sedikit perasaan bahagia hadir di tengah ketakutan sebab keberadaan dan statusnya di tempat tersebut. Di tengah perasaan Hanna yang masih berkecamuk, tiba-tiba dua orang pria lain muncul. Mereka sepertinya masih berteman dengan si pria asing sebab sikap hormat yang mereka tunjukkan ketika sampai. Tapi, ketika menoleh ke arah Hanna, seketika mereka pun berpaling dan pergi setelah mendapatkan perintah. "Kalian tunggu di luar!" perintah si pria asing. "Baik!"
Seorang perempuan berpakaian sederhana muncul dari balik pintu. Entah siapa dia tapi wajahnya terlihat ramah saat memandang Hanna."Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara lembut. Usianya mungkin sama dengan Hanna, hanya saja wajahnya terlihat biasa dengan tompel kecil yang ada di pipi sebelah kirinya. Hanna mengangguk. Ia merasa lega sebab bukan lelaki bertubuh besar dan menyeramkan yang muncul dari balik pintu. Perlahan perempuan itu pun duduk di depan Hanna, lalu memberikan sehelai gaun berwarna maroon yang tampak mahal. "Ganti bajumu yang basah itu dan pakailah gaun ini," ucapnya pelan. Hanna mengamati kaos oblong yang masih dikenakannya. Memang terasa lembab, mungkin oleh keringat, pikirnya. Lalu, ia pun mengambil gaun yang disodorkan ke arahnya. Tampak ragu terlebih setelah ia mengangkat dan mengamati gaun tersebut. "Pakai ini? Apa tidak salah?" tanya Hanna yang terkejut melihat pakaian yang terlihat tipis dan menerawang di depannya. Perempuan itu menggeleng. "Tidak. Mem
"Lepaskan dia!"Sontak semua orang menengok, mencari asal suara, termasuk Hanna yang berharap mendapatkan pertolongan atas penangkapan paksa yang dilakukan oleh anak buah Darma. Sepuluh meter dari tempat Hanna berdiri, tampak sesosok pria dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, berdiri menatap tajam ke arahnya. 'Dia lelaki yang kemarin di rumah sakit bukan?' batin Hanna teringat insiden tubrukan di rumah sakit saat dirinya hendak ke bagian administrasi. Anak buah Darma yang ditugaskan menjadi jubir, melepaskan pegangan di tangan Hanna. Ia kemudian mendekati si pria asing tersebut tampak tersinggung. "Jangan ikut campur atas sesuatu yang bukan urusanmu!""Perempuan itu urusan saya," kata si pria asing menjawab dengan tenang. Seketika Hanna terkejut demi mendengar ucapan pria itu. Ia tidak kenal dan baru bertemu sekali —itupun dalam insiden tak mengenakan. Lantas, bagaimana bisa dia berkata demikian? "Heh! Jangan mengada-ada. Sepanjang kami mengenal perempuan itu, tidak ad