Share

Bab 12 – Api Gosip

Author: Ferin Agf
last update Last Updated: 2025-09-25 21:08:44

Suasana rumah terasa aneh sejak pagi. Para pelayan berbisik-bisik sambil menatapku setiap kali aku lewat. Aku mencoba menutup telinga, tapi tatapan mereka membuatku tidak tenang.

Saat sarapan, aku sengaja mencari tahu. “Ada apa? Kenapa semua orang menatapku begitu?” tanyaku pelan, suaraku bergetar.

Mertuaku menegakkan punggung, matanya menatapku dengan sorot penuh kebencian. “Kau tidak membaca berita pagi ini?”

Aku menggeleng.

Dengan sinis ia mendorong ponselnya ke arahku. Layar menampilkan sebuah artikel di media online dengan judul besar:

“Pernikahan Kilat Sang CEO: Hanya Kontrak?”

Darahku berdesir dingin. Tanganku gemetar saat menggulir isi berita itu. Foto-foto pernikahan kami terpampang jelas. Tapi keterangan di bawahnya menusuk jantungku:

> “Sumber terpercaya menyebutkan pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan kontrak bisnis keluarga…”

Aku merasa bumi berputar. Nafasku tercekat. “I-ini…”

“Memalukan!” suara mertuaku lantang. “Aku sudah bilang dari awal, pernikahan ini hanya akan menurunkan martabat keluarga kita. Dan sekarang buktinya? Semua orang membicarakan kita.”

Aku ingin membela diri, tapi lidahku kelu. Itu memang kenyataan—pernikahan kami adalah kontrak.

Tiba-tiba, suara berat memotong keheningan. “Cukup.”

Aku menoleh. Dia, suamiku, baru saja masuk. Tatapannya tajam menusuk semua orang. Ia mengambil ponsel dari tanganku dan menatap artikel itu dengan wajah tanpa ekspresi.

“Media hanya tahu apa yang ingin mereka tahu,” katanya datar. “Jangan bodoh menelan semua gosip.”

Mertuaku berdiri, marah. “Kau pikir bisa menutupi ini selamanya? Dunia sudah tahu! Kau akan jadi bahan tertawaan!”

Suamiku menoleh tajam. “Aku tidak peduli. Yang penting, dia—” ia menoleh padaku, “—tetap istriku. Tidak ada yang bisa menyangkal itu.”

Hatiku bergetar hebat. Kata-katanya dingin, tapi penuh penegasan. Untuk sesaat, aku merasa dilindungi.

---

Siang itu, gosip sudah menyebar kemana-mana. Telepon rumah berdering tanpa henti. Rekan bisnis ayahnya menanyakan kebenaran berita.

Aku berdiam di kamar, menatap kosong ke luar jendela. Apa benar aku hanya beban? pikirku. Pernikahan ini memang kontrak… dan kini semua orang tahu. Aku tak punya tempat lagi untuk bersembunyi.

Air mata menetes tanpa kusadari. Aku teringat masa kecilku, saat selalu diabaikan, dianggap tidak berharga. Luka lama itu kembali menganga.

---

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Suamiku masuk tanpa mengetuk. Aku buru-buru menghapus air mata, tapi terlambat.

“Jangan menangis hanya karena artikel murahan,” katanya. Suaranya terdengar dingin, tapi ada nada aneh yang samar.

“Aku… aku tidak kuat,” jawabku lirih. “Semua orang menghinaku, menganggapku tidak pantas. Dan mereka benar. Aku memang tidak pantas.”

Dia mendekat, wajahnya semakin dekat denganku. “Berhenti bicara bodoh.”

Aku terperanjat. “Tapi—”

Tangannya tiba-tiba meraih daguku, memaksaku menatap matanya. “Dengar baik-baik. Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Aku tidak peduli apa yang dunia katakan. Selama aku bilang kau istriku, maka kau adalah istriku. Titik.”

Aku terpaku. Tatapannya dingin, tapi matanya bergetar, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Aku tidak mengerti,” bisikku. “Kenapa kau membelaku… padahal kau sendiri tidak mencintaiku?”

Ia terdiam beberapa detik, lalu melepaskan daguku. “Cinta tidak ada hubungannya dengan ini. Kau milikku. Itu saja.”

Aku terdiam, dadaku sesak. Kata-katanya bagai belenggu, tapi juga seperti pelindung.

---

Malam harinya, gosip semakin parah. Media sosial dipenuhi komentar pedas.

> “CEO arogan itu ternyata cuma nikah kontrak? Memalukan!”

“Kasihan istrinya, pasti cuma boneka keluarga.”

“Keluarga kaya memang selalu penuh rahasia busuk.”

Aku membaca satu per satu komentar itu, hatiku remuk. Air mataku tak terbendung lagi.

Tiba-tiba ponselku diraih dari tanganku. Suamiku berdiri di sampingku, wajahnya dingin. “Berhenti membaca sampah itu.”

“Tapi mereka semua…” suaraku bergetar.

“Biarkan mereka bicara,” katanya tegas. “Besok aku akan selesaikan ini.”

Aku menoleh terkejut. “Apa maksudmu?”

Ia menatapku lama, lalu berkata lirih, “Besok kau akan tahu.”

---

Keesokan harinya, aku dibawa ke sebuah konferensi pers. Blitz kamera menyilaukan mataku. Aku berdiri gugup di samping suamiku.

Para wartawan menyerbu dengan pertanyaan:

“Benarkah pernikahan kalian hanya kontrak?”

“Apakah ini cara menyelamatkan bisnis keluarga?”

“Apakah kalian akan segera bercerai?”

Jantungku hampir pecah. Aku ingin lari. Tapi tiba-tiba, suamiku meraih tanganku erat.

Wajahnya dingin, tapi suaranya lantang:

“Pernikahan kami sah. Istriku bukan kontrak. Dia adalah pilihan hidupku. Dan siapa pun yang berani menghina istriku, berarti menghina aku!”

Ruangan terdiam. Blitz kamera makin deras.

Aku terpaku, air mataku mengalir. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada yang benar-benar berdiri di sisiku.

Tapi di balik kebanggaan itu, hatiku juga semakin bingung. Apakah dia benar-benar tulus… atau ini hanya permainan citra?

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 135 – Di Ujung Langit

    Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 134 – Satu Langkah Lagi

    Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 133 – Di Bawah Langit yang Sama

    Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 132 – Bahu yang Tenang

    Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 131 – Warna di Pagi Hari

    Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag

  • Malam Pertama Sang Istri Kontrak   Bab 130 – Atap yang Sama

    Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status