Suasana rumah terasa aneh sejak pagi. Para pelayan berbisik-bisik sambil menatapku setiap kali aku lewat. Aku mencoba menutup telinga, tapi tatapan mereka membuatku tidak tenang.
Saat sarapan, aku sengaja mencari tahu. “Ada apa? Kenapa semua orang menatapku begitu?” tanyaku pelan, suaraku bergetar. Mertuaku menegakkan punggung, matanya menatapku dengan sorot penuh kebencian. “Kau tidak membaca berita pagi ini?” Aku menggeleng. Dengan sinis ia mendorong ponselnya ke arahku. Layar menampilkan sebuah artikel di media online dengan judul besar: “Pernikahan Kilat Sang CEO: Hanya Kontrak?” Darahku berdesir dingin. Tanganku gemetar saat menggulir isi berita itu. Foto-foto pernikahan kami terpampang jelas. Tapi keterangan di bawahnya menusuk jantungku: > “Sumber terpercaya menyebutkan pernikahan ini bukan karena cinta, melainkan kontrak bisnis keluarga…” Aku merasa bumi berputar. Nafasku tercekat. “I-ini…” “Memalukan!” suara mertuaku lantang. “Aku sudah bilang dari awal, pernikahan ini hanya akan menurunkan martabat keluarga kita. Dan sekarang buktinya? Semua orang membicarakan kita.” Aku ingin membela diri, tapi lidahku kelu. Itu memang kenyataan—pernikahan kami adalah kontrak. Tiba-tiba, suara berat memotong keheningan. “Cukup.” Aku menoleh. Dia, suamiku, baru saja masuk. Tatapannya tajam menusuk semua orang. Ia mengambil ponsel dari tanganku dan menatap artikel itu dengan wajah tanpa ekspresi. “Media hanya tahu apa yang ingin mereka tahu,” katanya datar. “Jangan bodoh menelan semua gosip.” Mertuaku berdiri, marah. “Kau pikir bisa menutupi ini selamanya? Dunia sudah tahu! Kau akan jadi bahan tertawaan!” Suamiku menoleh tajam. “Aku tidak peduli. Yang penting, dia—” ia menoleh padaku, “—tetap istriku. Tidak ada yang bisa menyangkal itu.” Hatiku bergetar hebat. Kata-katanya dingin, tapi penuh penegasan. Untuk sesaat, aku merasa dilindungi. --- Siang itu, gosip sudah menyebar kemana-mana. Telepon rumah berdering tanpa henti. Rekan bisnis ayahnya menanyakan kebenaran berita. Aku berdiam di kamar, menatap kosong ke luar jendela. Apa benar aku hanya beban? pikirku. Pernikahan ini memang kontrak… dan kini semua orang tahu. Aku tak punya tempat lagi untuk bersembunyi. Air mata menetes tanpa kusadari. Aku teringat masa kecilku, saat selalu diabaikan, dianggap tidak berharga. Luka lama itu kembali menganga. --- Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Suamiku masuk tanpa mengetuk. Aku buru-buru menghapus air mata, tapi terlambat. “Jangan menangis hanya karena artikel murahan,” katanya. Suaranya terdengar dingin, tapi ada nada aneh yang samar. “Aku… aku tidak kuat,” jawabku lirih. “Semua orang menghinaku, menganggapku tidak pantas. Dan mereka benar. Aku memang tidak pantas.” Dia mendekat, wajahnya semakin dekat denganku. “Berhenti bicara bodoh.” Aku terperanjat. “Tapi—” Tangannya tiba-tiba meraih daguku, memaksaku menatap matanya. “Dengar baik-baik. Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan. Aku tidak peduli apa yang dunia katakan. Selama aku bilang kau istriku, maka kau adalah istriku. Titik.” Aku terpaku. Tatapannya dingin, tapi matanya bergetar, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Aku tidak mengerti,” bisikku. “Kenapa kau membelaku… padahal kau sendiri tidak mencintaiku?” Ia terdiam beberapa detik, lalu melepaskan daguku. “Cinta tidak ada hubungannya dengan ini. Kau milikku. Itu saja.” Aku terdiam, dadaku sesak. Kata-katanya bagai belenggu, tapi juga seperti pelindung. --- Malam harinya, gosip semakin parah. Media sosial dipenuhi komentar pedas. > “CEO arogan itu ternyata cuma nikah kontrak? Memalukan!” “Kasihan istrinya, pasti cuma boneka keluarga.” “Keluarga kaya memang selalu penuh rahasia busuk.” Aku membaca satu per satu komentar itu, hatiku remuk. Air mataku tak terbendung lagi. Tiba-tiba ponselku diraih dari tanganku. Suamiku berdiri di sampingku, wajahnya dingin. “Berhenti membaca sampah itu.” “Tapi mereka semua…” suaraku bergetar. “Biarkan mereka bicara,” katanya tegas. “Besok aku akan selesaikan ini.” Aku menoleh terkejut. “Apa maksudmu?” Ia menatapku lama, lalu berkata lirih, “Besok kau akan tahu.” --- Keesokan harinya, aku dibawa ke sebuah konferensi pers. Blitz kamera menyilaukan mataku. Aku berdiri gugup di samping suamiku. Para wartawan menyerbu dengan pertanyaan: “Benarkah pernikahan kalian hanya kontrak?” “Apakah ini cara menyelamatkan bisnis keluarga?” “Apakah kalian akan segera bercerai?” Jantungku hampir pecah. Aku ingin lari. Tapi tiba-tiba, suamiku meraih tanganku erat. Wajahnya dingin, tapi suaranya lantang: “Pernikahan kami sah. Istriku bukan kontrak. Dia adalah pilihan hidupku. Dan siapa pun yang berani menghina istriku, berarti menghina aku!” Ruangan terdiam. Blitz kamera makin deras. Aku terpaku, air mataku mengalir. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada yang benar-benar berdiri di sisiku. Tapi di balik kebanggaan itu, hatiku juga semakin bingung. Apakah dia benar-benar tulus… atau ini hanya permainan citra? ---Matahari baru saja naik, sinarnya menembus celah awan yang masih kelabu, memantul di genangan air hujan semalam, membuat jalanan terlihat berkilau seolah ada cahaya baru yang turun dari langit. Massa yang memenuhi jalan depan markas masih bertahan, sebagian duduk di aspal, sebagian berdiri sambil menggenggam tangan satu sama lain, sebagian lagi mengangkat poster bergambar wajah Aisyah. Suara mereka mulai berubah, tidak lagi sekadar teriakan kemarahan, tapi nyanyian panjang yang memuja keberanian.Di dalam markas, ruangan yang porak-poranda kini menjadi saksi bisu. Kursi-kursi terbalik, kaca pecah berserakan, bercak darah menodai lantai, tapi di tengah semua itu Aisyah berdiri tegak. Wajahnya pucat, tubuhnya goyah, namun sorot matanya tetap tajam, dan itu cukup untuk membuat semua orang di sekelilingnya merasa masih punya tenaga. Reyhan yang lengannya berlumuran darah mencoba duduk di kursi, namun ia tersenyum meski wajahnya menahan sakit. “Kau tahu, Aisyah? Bahkan kalau aku
Benturan pintu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya, kayu bergetar, baut hampir copot. Suara teriakan pria-pria bertopeng di luar bercampur dengan gemuruh ribuan massa yang berusaha menghalangi. Di udara, ketegangan menebal seperti kabut; semua orang tahu benteng terakhir ini akan jebol kapan saja. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, tubuhnya gemetar namun matanya menyala, tidak ada lagi ruang untuk ragu. Ia tahu bukti sudah keluar, kebenaran sudah menyebar, tapi tubuhnya tetap menjadi sasaran utama. Reyhan berdiri di sampingnya, pistol kecil di tangan, wajahnya penuh keringat dingin, sementara para relawan lain menggenggam benda seadanya—tongkat, kursi, bahkan botol kosong—semua siap jadi senjata darurat.“Kalau mereka berhasil masuk, jangan biarkan Aisyah disentuh!” teriak Reyhan keras. Beberapa relawan langsung membuat barikade kecil di depan pintu. Suara benturan terdengar lagi, pintu makin retak, serpihan kayu beterbangan. Di luar, massa berteriak histeris,
Hujan deras masih mengguyur Jakarta sepanjang malam, tapi semangat massa tidak surut. Di jalan utama, ribuan lilin menyala meski air berusaha memadamkan, tangan-tangan yang menggenggamnya bergetar tapi tidak melepas. Lagu perjuangan terus terdengar, nyanyian bercampur dengan isak tangis, seolah kota berubah jadi lautan harapan yang tak bisa dipadamkan. Kamera-kamera media internasional merekam setiap detik, menyiarkan langsung ke seluruh dunia, dan headline besar terpampang: “Perempuan yang Mengguncang Negeri”.Di markas, suasana penuh ketegangan. Layar-layar besar menampilkan berbagai sudut kota, grafik dukungan publik meningkat tajam, tapi laporan ancaman juga masuk tanpa henti. Reyhan menatap peta yang penuh dengan tanda merah, suaranya tegas tapi berat. “Aisyah, musuh tidak lagi bermain dengan fitnah. Mereka menyiapkan langkah terakhir, serangan langsung. Kita dapat laporan ada tim bayaran yang sudah menyusup ke kota. Mereka tidak main-main, targetnya jelas: kau.”
Malam setelah wawancara internasional itu, Jakarta tidak tidur. Jalanan penuh dengan konvoi demonstran yang membawa spanduk berisi wajah Aisyah, beberapa menyalakan lilin di depan gedung-gedung pemerintahan, suara mereka bergema, “Bebaskan Arga! Tangkap penjahat sesungguhnya!” Media sosial meledak, tagar tentang Aisyah menempati puncak trending dunia, berita utama di seluruh stasiun televisi internasional membahas keberaniannya. Tetapi di balik semua sorak dukungan itu, bahaya semakin nyata, karena musuh tidak tinggal diam.Di markas, suasana lebih sibuk daripada biasanya. Relawan begadang, sebagian masih menyalin rekaman wawancara untuk disebarkan, sebagian lagi menyiapkan laporan tambahan. Reyhan berdiri di depan papan strategi, menandai dengan spidol merah lokasi-lokasi di kota yang berpotensi rawan serangan balasan. “Aisyah, setelah tadi malam, mereka tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap, karena mulai saat ini kita bukan hanya simbol perlawanan, tapi target utama
Pagi itu Jakarta tidak lagi sama. Dari layar televisi di ruang-ruang rapat hingga siaran radio di kendaraan umum, nama Aisyah terus disebut, laporan investigasi yang ia keluarkan semalam menjadi pusat perhatian nasional maupun internasional. Media asing memuat wajahnya di halaman depan, menyebutnya sebagai “Simbol Perlawanan Baru”, sementara media lokal terbelah antara yang mendukung dan yang mencoba menjelekkan namanya. Namun satu hal pasti: seluruh negeri kini bicara tentang Aisyah.Di markas kecil itu, suasana tidak kalah sibuk. Telepon berdering tanpa henti, laptop-laptop terbuka menampilkan siaran langsung dari berbagai media, dan para relawan tampak bekerja tanpa istirahat. Beberapa menyiapkan dokumen, beberapa lagi membalas pesan dari media luar negeri. Di papan besar, grafik dukungan publik menunjukkan lonjakan tajam. Angka yang semalam hanya ribuan kini sudah jutaan.Reyhan masuk ke ruangan dengan wajah serius, membawa setumpuk laporan. “Aisyah, kita dapat
Langit pagi tampak cerah, namun bagi Aisyah dan timnya, suasana justru semakin mencekam. Dukungan publik memang semakin menggunung, tetapi ancaman pun berlipat ganda. Telepon Reyhan berdering tanpa henti, laporan baru berdatangan tiap menit: saksi yang dibuntuti, relawan yang diteror, hingga kantor media independen yang mendadak diserang hacker.Aisyah menatap papan strategi dengan penuh konsentrasi. Ia tahu musuh sedang kalang kabut, tapi justru karena itulah serangan mereka semakin berbahaya. “Kita harus lebih dulu bergerak,” ucapnya tegas, suaranya menusuk ruangan yang penuh kelelahan. “Hari ini, kita keluarkan laporan investigasi tahap pertama. Semua bukti finansial yang kita kumpulkan, semua jaringan gelap mereka. Kita sebarkan ke media internasional.”Tim sempat terdiam, sadar bahwa langkah itu akan menjadi pukulan paling telak. Reyhan menoleh, wajahnya serius. “Kalau ini kita lakukan, Aisyah, mereka tidak akan tinggal diam. Mereka bisa menyerangmu secara fis