Sejak sarapan tadi pagi, hatiku rasanya remuk. Tatapan tajam mertuaku, kata-kata dingin ayah mertuaku, dan sikap acuh dari suamiku seakan menghantamku bertubi-tubi. Aku mencoba bersikap kuat, menelan semuanya dengan diam, tapi ketika kembali ke kamar, aku akhirnya tak mampu lagi menahan air mata.Aku menangis lama, memeluk bantal, hingga dadaku terasa sesak. Air mataku basah membasahi seprai putih. Setiap kali kuingat ucapan ibunya—“kau tampak biasa saja”—hatiku serasa terkoyak. Aku tahu dari awal pernikahan ini hanyalah kontrak, tapi tetap saja, luka itu nyata.Hari itu kuhabiskan di kamar, berusaha tidak terlihat. Aku terlalu takut bertemu siapa pun di rumah ini. Para pelayan menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seakan aku hewan aneh yang tiba-tiba dipelihara di rumah mereka. Tidak ada yang benar-benar ramah, hanya sopan secukupnya.Menjelang sore, aku berjalan ke balkon kamar. Angin senja berembus pelan, langit berwarna jingga bercampur ungu.
Last Updated : 2025-09-25 Read more