LOGINPagi itu udara dingin menusuk, meski matahari sudah tinggi. Aku duduk di balkon kamar, memeluk lutut, menatap halaman luas dengan tatapan kosong. Bayangan acara semalam masih berputar di kepalaku. Tatapan tamu-tamu itu, bisikan yang meremehkan, genggaman dingin di pinggangku… semuanya bercampur, menyesakkan dada.
Kenapa aku harus berada di sini? Aku bertanya dalam hati. Kenapa aku harus mendengar hinaan demi hinaan, sementara orang yang kupanggil suami tidak benar-benar mencintaiku? Tapi kemudian bayangan wajahnya kembali muncul. Cara ia berdiri di depan semua orang, membela keberadaanku, menegaskan bahwa aku adalah pilihannya. Walau kutahu itu hanya untuk menjaga wibawanya, hatiku tetap bergetar. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. “Aku bodoh…” bisikku lirih. “Kenapa aku berharap lebih?” --- Saat aku turun ke ruang makan, mertuaku sudah duduk anggun di kursinya. Kali ini ia tidak sendirian. Beberapa kerabat wanita ada di sana, wajah-wajah yang tampak serupa: anggun, berkelas, penuh senyum sinis terselubung. “Oh, akhirnya datang juga,” suara mertuaku terdengar. “Duduklah.” Aku menurut, duduk di kursi yang terasa semakin sempit karena tatapan mereka. Salah satu kerabat wanita berbisik cukup keras untuk kudengar. “Cantik, tapi… terlalu sederhana untuk keluarga ini.” Yang lain menimpali, “Aku masih tidak percaya Tuan Muda benar-benar menikahinya. Padahal ada banyak pilihan yang lebih… pantas.” Aku menunduk, jemariku menggenggam sendok erat-erat. Hatiku perih. Mertuaku tersenyum tipis. “Sudahlah. Kita tidak bisa memilih ulang. Lagipula, siapa tahu ia bisa belajar, kan?” Ucapannya terdengar seperti ejekan, meski ia menyamarkannya dengan senyum. Aku ingin membalas, ingin berkata bahwa aku juga punya harga diri. Tapi lidahku kelu. --- Suara langkah berat terdengar. Dia masuk. Suamiku. Ruangan seketika hening. Semua kerabat langsung menegakkan badan, menghormati sosok dingin itu. Ia duduk di sampingku, wajahnya tetap datar. Namun tanpa diduga, ia meraih tanganku di bawah meja. Genggamannya kuat, dingin, tapi nyata. Aku terkejut, menoleh padanya. Ia tidak menatapku, hanya terus menyantap sarapan dengan tenang. Mertuaku memperhatikan, alisnya terangkat. “Kau tampaknya semakin menunjukkan rasa memiliki,” katanya pada anaknya. Suamiku menelan roti, lalu menatap ibunya datar. “Dia istriku. Tidak ada yang perlu dipertanyakan.” Kerabat-kerabat itu terdiam, saling pandang. Hatiku berdetak kencang. Genggaman tangannya masih erat. Dan meski aku tahu itu hanya untuk menunjukkan kekuasaannya, aku tidak bisa menahan debaran di dadaku. --- Setelah sarapan, aku buru-buru kembali ke kamar. Tapi dia mengikutiku. “Apa yang kau lakukan di depan mereka tadi?” tanyaku lirih, menatapnya begitu pintu tertutup. Dia menyilangkan tangan, menatapku tajam. “Aku hanya menegaskan posisi kita.” “Posisi?” suaraku meninggi. “Kau bilang aku hanya istri kontrak. Tapi di depan mereka kau seakan-akan… kau benar-benar mengakuiku.” Dia melangkah mendekat, membuatku mundur. “Kontrak atau tidak, kau tetap istriku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun meremehkanmu.” “Tapi kau sendiri selalu memperlakukanku dingin!” Aku hampir menangis. “Kau tidak pernah memandangku sebagai sesuatu yang berarti!” Dia berhenti tepat di depanku, wajahnya begitu dekat. Tatapannya menusuk, tapi ada kilatan aneh di matanya. “Mungkin benar aku tidak mencintaimu,” katanya rendah. “Tapi jangan salah paham. Aku juga tidak akan pernah membiarkanmu pergi. Kau milikku, dan hanya milikku.” Dadaku sesak. Kata-katanya bagai belenggu. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang membuatku gemetar: rasa takut dan… rasa ingin percaya. --- Malam itu, aku kembali duduk di balkon. Angin malam dingin menusuk kulit. Air mataku mengalir lagi, tanpa bisa kutahan. Aku merasa terjebak di antara cinta dan luka. Tiba-tiba, jaket hangat kembali menyelimuti bahuku. Aku terperanjat. Dia berdiri di sampingku, wajahnya tetap dingin, tapi matanya samar berbeda. “Jangan terlalu sering menangis,” katanya pelan. “Itu membuatmu terlihat rapuh.” Aku menoleh, menatapnya lama. “Kenapa kau peduli?” Dia terdiam, lalu mengalihkan pandangan ke langit malam. “Aku tidak peduli. Aku hanya tidak suka melihat istriku menangis.” Aku tahu ia berbohong. Untuk pertama kalinya, aku berani tersenyum samar di tengah air mata. Dan dalam hatiku, aku sadar: perlahan-lahan, aku mulai jatuh… pada pria yang berjanji tidak akan pernah mencintaiku. ---Waktu tak pernah berteriak saat ia berlalu—ia cuma berjalan diam-diam, menua bersama daun, membisik di antara hembus angin, dan menyimpan jejak di wajah manusia yang bertahan. Dua puluh tahun sudah lewat sejak hari itu; sejak pagi terakhir di mana Aisyah menulis kalimat penutup di bukunya dan Arga menatap langit dengan rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Pohon mangga di belakang rumah kini menjulang tinggi, akarnya kuat, dan dahannya menaungi halaman kecil tempat tawa dulu tumbuh. Rumah mereka masih sama, hanya catnya yang lebih pudar dan pagar kayu yang mulai rapuh, tapi setiap retaknya menyimpan kisah yang bahkan waktu enggan menghapus. Raffa kini sudah dewasa. Tubuhnya tegap, caranya bicara tenang, dan matanya punya sorot yang mengingatkan siapa pun pada Arga muda—hangat, tapi dalam. Ia kini mengajar di sekolah dasar di desa yang sama, tempat ia dulu belajar mengenal huruf dan arti kejujuran dari ayahnya. Setiap pagi ia melewati toko yang dulu bernama Atap yang Sama, yang sekar
Senja turun perlahan di atas desa kecil itu. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan, menandai berakhirnya satu hari yang penuh ketenangan. Di dalam rumah, suasana hening dan damai. Hanya terdengar suara pena yang menari di atas kertas, diselingi napas lembut Aisyah yang menulis dengan penuh perasaan. Di meja ruang tengah, ada dua lembar kertas kosong dan satu amplop kecil. Di atasnya tertulis dengan tulisan tangan Arga: “Untuk masa depan, dari kita bertiga.” Aisyah menulis pelan, huruf demi huruf seperti doa yang tidak ingin terburu-buru. Arga duduk di sampingnya, memperhatikan setiap gerakan tangan istrinya. Raffa, yang sudah sedikit lebih besar sekarang, menggambar hati kecil di sudut amplop. “Ayah,” kata Raffa sambil menatap gambar buatannya, “ini buat surat yang mau dikubur di halaman, kan?” Arga mengangguk, tersenyum lembut. “Iya, Nak. Biar nanti kalau kamu udah gede, kamu bisa buka lagi dan inget semua ini.” Aisyah menatap mereka berdua, lalu berkata pelan, “Biar masa
Hari berganti hari, dan kehidupan keluarga kecil itu berjalan dalam irama yang pelan tapi pasti. Pagi selalu dimulai dengan tawa, siang diisi dengan kerja ringan di toko, dan malam berakhir di beranda dengan secangkir teh dan cerita sederhana. Tak ada lagi berita buruk, tak ada lagi tatapan curiga dari tetangga, hanya damai yang akhirnya menetap.Di halaman depan, Raffa sedang berjongkok memandangi semut yang berbaris di pinggir pot bunga. “Ayah, mereka kayak kerja sama, ya?” tanyanya polos.Arga yang sedang menyapu halaman menoleh. “Iya, Nak. Mereka kecil, tapi kuat karena gak saling ninggalin.”Raffa mengangguk serius. “Berarti kayak kita ya, Ayah. Gak boleh ninggalin juga.”Aisyah yang sedang menjemur kain tertawa pelan. “Bener banget, Sayang. Di dunia ini, yang paling kuat itu bukan yang punya otot besar, tapi yang bisa saling jaga.”Arga menatap istrinya dengan senyum lembut. Cahaya matahari pagi menimpa wajah Aisyah, membuatnya terlihat seperti lu
Hari itu langit tampak jernih, seolah seluruh alam ikut bernafas lega setelah sekian lama menanggung beban. Angin bertiup lembut melewati halaman kecil di depan toko Arga dan Aisyah. Pagi berjalan pelan, tapi indah. Aisyah sedang menata bunga di pot, sementara Arga sibuk memotong kayu kecil untuk pesanan rak pelanggan. Suara ketukan palu berpadu dengan kicau burung, menciptakan harmoni sederhana yang menenangkan.“Mas,” panggil Aisyah dari teras, “jangan kerja terus, nanti punggungmu sakit lagi.”Arga menoleh, tersenyum. “Punggungku gak sakit, cuma butuh bahumu buat sandaran.”Aisyah spontan tertawa, pipinya memerah. “Dasar kamu, ya. Bahuku gak sekuat itu.”“Justru karena gak kuat itu yang bikin aku tenang,” jawab Arga, matanya menatap penuh arti.Aisyah diam sesaat. Ada sesuatu dalam nada suaminya—lembut, tapi penuh rasa syukur. Ia mendekat, duduk di sampingnya di bangku kayu yang mereka buat berdua dulu waktu masih berjuang dari nol. “Mas, kamu sadar
Pagi itu terasa berbeda. Udara lebih segar dari biasanya, langit biru tanpa awan, dan matahari menyorot lembut ke halaman kecil di depan rumah mereka. Dari dapur terdengar suara langkah kecil dan tawa Raffa yang bersahutan dengan bunyi spatula. “Ayah, aku bantu aduk adonannya ya!” katanya sambil berdiri di kursi kecil. Aisyah tertawa pelan, tangannya memegang mangkuk besar berisi adonan kue. “Boleh, tapi jangan tumpah lagi kayak kemarin.” Raffa menatap serius, lalu mulai mengaduk dengan penuh semangat. Tepung beterbangan sedikit ke wajahnya, membuat Aisyah tertawa lebih keras. “Lihat tuh, Nak, malah kayak badut tepung.”Arga muncul dari pintu depan sambil membawa papan kayu panjang di pundaknya. “Ada dua makhluk paling berantakan di dapur,” katanya dengan nada bercanda. Aisyah menoleh cepat, pura-pura cemberut. “Daripada kamu yang tiap hari bilang mau beresin pagar tapi ujung-ujungnya duduk di teras.” Arga mendekat, menaruh papan di lantai. “Hari ini aku beneran beresin pag
Beberapa minggu berlalu sejak hari hujan itu. Desa mulai ramai lagi, tapi kali ini bukan oleh kabar atau gosip seperti dulu. Orang-orang datang ke rumah Arga dan Aisyah untuk membeli kue, memperbaiki alat rumah tangga, atau sekadar duduk ngobrol sebentar di teras mereka yang selalu terbuka. Rumah kecil di ujung gang itu berubah pelan menjadi tempat singgah yang hangat, di mana orang tak sekadar datang untuk urusan, tapi juga untuk merasakan tenang.Pagi itu Aisyah sibuk mengaduk adonan di dapur, sementara Arga memperbaiki kursi yang kakinya patah. Raffa duduk di bawah meja, mencoret-coret kertas sambil menyanyi kecil. “Yah, lihat, aku gambar rumah kita dari atas!” katanya ceria. Arga menatap gambar itu, tersenyum. “Atapnya miring ke kanan tuh.” Raffa menatap ulang, lalu menjawab santai, “Gak apa-apa, yang penting kita masih di bawah atap yang sama.” Arga menatap anaknya lama-lama, lalu tanpa sadar menoleh ke Aisyah. Ia tahu, kalimat polos itu mengandung sesuatu yang jauh le







