Share

15. Panggil Saja Mama

Penulis: Nia Kannia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-31 00:00:45

"Terus kumpulkan bukti kejahatannya untuk menjebloskan dia ke penjara."

Aku bergidik mendengar kalimat itu. Siapa perempuan yang dia maksud. Aku memilih menjauh, tidak ingin tahu lebih banyak.

Setidaknya aku harus tahu diri, 'kan? Beliau sudah menolongku dari sekapan Bu Kinan saat itu, kemudian memberi tumpangan, membiayai pengobatanku hingga pulih, dan memberiku kehidupan baru. Lebih penting lagi, dia memperlakukanku seperti anaknya sendiri.

Jik aku ketahuan menguping, dia pasti tersinggung. Jadi, akan lebih baik jika aku tidak tahu apa pun urusan pribadi yang ia sembunyikan.

"Maaf, apa Tante punya anak?" tanyaku suatu ketika saat kami sedang di meja makan. Menu makanan yang tersaji selalu kompleks memenuhi kebutuhanku sebagai ibu hamil.

Dia mengangguk. "Anak laki-laki, satu-satunya. Tapi jauh, dia juga ga mau tinggal sama Tante. Lebih milih tinggal sama istrinya yang nggak pernah suka sama Tante." Matanya menerawang saat mengatakan itu. Aku membaca ada kesedihan di dalam sana. Dia
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Seperti Tahu Segalanya

    Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Punya Pilihan

    ["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Bukan Pelanggan Biasa

    “Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Perbincangan Singkat

    Beberapa kali Azzam datang ke sana lagi. Ia memesan menu berbeda, duduk di meja yang berbeda, dan kadang berpura-pura jadi pelanggan tetap. Tapi tiap kali, reaksinya tetap sama. Aira tak pernah mengenalnya. Ah, memang apa yang ia harapkan? Berharap Aira akan mengenalnya sebagai ayah begitu saja. Azzam bahkan terlalu pengecut untuk menyapanya. Ia pun hanya bisa melihat dari balik meja. Menjadi bayangan yang tak terlihat.a Hingga hari itu. Kafe sepi. Pelanggan hanya dua orang di pojok dan satu yang baru saja pergi. Aira sedang merapikan buku catatan order ketika suara Azzam memanggil. “Hmm Dek.” Aira menoleh. “Iya, Pak?” “Kalau boleh tahu ... kamu asli mana?” Aira tampak bingung sejenak, lalu tersenyum sopan. “Saya dilahirkan di Medan, Pak. Tapi besar di Jakarta.“ “Oh ....” Azzam menunduk sebentar, lalu berkata, “Orang tua kamu masih ada?” Pertanyaan itu membuat ekspresi Aira sedikit berubah. Namun, ia cepat mengendalikannya. “Saya dibesarkan keluarga angkat. Orang tu

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Maaf

    Kaivan mengeluarkan lagi lembaran hasil tes DNA yang tadi dia sembunyikan di bawah bantal."Subjek 2 yang tanpa identitas itu elu, Zam," ujar Kaivan perlahan, hampir seperti bisikan. "Tapi kalau lu gak yakin dan gak percaya dengan itu, lu bisa lakukan tes DNA ulang. Nanti gue yang atur untuk pengambilan sampel dari Aira," lanjut Kaivan.Azzam masih memegang foto Amara dan Aira kecil. Tangannya yang dingin kini mengambil selembar kertas dari sang sahabat. "Sekarang utang gue sama Amara lunas, gue udah penuhi apa yang dia amanahkan ke gue. Gue minta maaf, karena gue yang menyebabkan Amara meninggal." Kalimat terakhir Kaivan ucapkan dengan penuh penyesalan. Azzam bergeming. Sejak tadi dia tidak ada kata yang ia ucapkan. Sebagian dari dirinya ingin menyangkal, mengusir kebenaran yang mulai mengetuk pelan-pelan, tetapi tegas.Kaivan bersandar di sandaran ranjang. Tatapannya tak lepas dari wajah sahabatnya. “Gue tahu ini gak mudah untuk lu terima, Zam. Gue belum ngomong apa-apa sama Aira

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Kesalahan Terbesar

    Azzam mengerutkan dahi. "Gue gak ngerti. Lu ngomong jangan pake bahasa isyarat, dong. Kita cuma berdua di sini." "Gue terima tuduhan lu yang bilang gue serong sama dia. Tapi gue takut lu yang ga bisa terima kalau tahu alasan gue yang sebenarnya," ucap Kaivan tegas. Azzam menegakkan tabuh yang tadi duduk dengan mencondongkannya. "Sebelum lu lanjutkan tuduhan lu itu, lu harus tahu satu hal, Zam." Kaivan brhenti sejenak. "Gue jagain Aira kerena lu, Zam. Karena gue gak mau keluarga lu yang bahagia hancur hanya karena kesalahan yang lu buat di masa lalu." Kaivan menghelan napas untuk mengambil jeda. Sementara itu, Azzam makin mengerutkan dahi. Kaivan mengambil ponselnya. Tak butuh waktu lama, dia kemudian menyodorkan pada sahabatnya itu. "Lu lihat dan perhatiin baik-baik foto ini." Kaivan memberi intruksi. Azzam mengikuti perintah Kaivan. "Aira?" Azzam menoleh pada sahabatnya itu. "Lu lihat baik-baik dia." Kaivan menggoyangkan ponsel, meminta Azzam untuk mengambil benda itu.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status