PoV Alya---"Maafin aku, Sayang. Maaf." Dia menciumi tanganku. Aku bergeming. Masih butuh waktu untuk menerima apa yang baru saja terjadi."Aku gak bermaksud untuk menyakiti kamu. Maaf, aku gak bisa mengendalikan diri." Aku merasakan hangat menyentuh punggung tangan. Ternyata air matanya menetes di sana. Namun, dia malah mengangkat tangannya untuk menyeka bulir mata di pipiku."Maaf, Sayang. Maafin aku," ucapnya lagi. "Aku benar-benar kalut tadi."Tak mendapatkan jawaban, dia merebahkab kepalanya di atas pahaku. "Tolong, Al. Jangan seperti ini," ucapnya cemas. “Plis, apa pun yang terjadi, jangan pernah temui dia lagi, Al. Aku benar-benar gak mau kita bermasalah dengan dia lagi. Kamu tahu, dia mengambil semua milikku. Aku gak mau dia ambil kamu juga. Kamu dan Rayyan. Hanya kalian berdua yang kumiliki sekarang."Aku menyentuh kepalanya, kemudian memberikan belaian halus di sana. "
PoV Kaivan "Nah, Pak Kaivan, bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah Anda merasa ada perubahan dalam diri Anda setelah sesi terapi kali ini?" tanya dr. Arsyinta, Sp.KJ seraya menatap ramah. Aku mengembuskan napas perlahan setelah amenghirupnya dalam-dalam. "Alhamdulillah, saya merasa lebih rileks dan tenang. Saya juga merasa lebih siap untuk menghadapi masalah yang ada." "Itu bagus. Sesi hipnoterapi ini dapat membantu Anda mengakses pikiran bawah sadar dan mengubah pola pikir yang tidak sehat. Apakah Anda ingat apa yang terjadi selama sesi hipnoterapi?" tanyanya lagi. "Saya ingat bahwa saya merasa sangat santai dan dapat memvisualisasikan diri saya dalam situasi yang positif. Saya juga merasa bahwa saya dapat melepaskan beban emosi yang saya rasakan sebelumnya." Dia mengangguk kemudian tersenyum tipis. Wanita yang aku perkirakan mendekati usia kepala lima itu kemudian mencatat sesuatu di buku kecil catatan diagnosis psikiatri milikku. "Sepertinya tadi ada telepon penting
PoV KaivanAku mengangkat tubuhnya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan kaca. Setelah mendudukkan tubuhnya di sofa, mengambilkan air minum—dia meminumnya hingga tandas, aku kembali merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan."Apa ini kelakuan Arga?" Aku memberanikan diri bertanya. Pelan sekali.Matanya yang sayu menatapku lemah. Bibirnya bergetar, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada keraguan sebagai penghalangnya. Aku juga menemukan hal lain di matanya. Seakan ada ketakutan yang tidak bisa dikatakan. Setidaknya itu yang kulihat.Aku menangkup kedua pipinya, menatap intens. “Aku tahu dia datang ke sini. Katakan, Sayang. Apa dia melakukan sesuatu yang ...."Dia menggeleng. Aku kembali merengkuhnya dalam dekapan, lalu mendaratkan beberapa kecupan di rambutnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku bertanya lagi di dalam hati."Dia .... Rayyan ...." Alya mulai bicara. “Aku takut, Mas. Rayyan .... Dia bilang Rayyan–" Kalimat terputus oleh tangisnya sendiri. Aku mengus
PoV Alya"Pak Arga?" Aku tak dapat menyembunyikan rasa terkejutku. Buru-buru aku menutup pintu agar dia tak bisa masuk. Namun, pria menahan dengan satu kakinya, sehingga pintu tidak bisa tertutup begitu saja.Tindakannya membuat detak jantung meningkat dua kali lebih cepat. Tentu saja dia membuatku takut. Pasalnya aku hanya di rumah berdua bersama Rayyan. Mbak Rani sedang cuti. Sementara Bu Rumi sedang keluar untuk belanja bulanan."Tolong, Pak. Pergi aja dari sini." Aku memohon tanoa menatapnya."Plis, Alya. Saya hanya ingin bicara sebentar. Jika Kaivan tidak mau mendengarkan saya. Mungkin dia akan mendengarkan kamu." Suaranya rendah dan penuh permohonan. Dari suaranya terdengar terdengar tulus. Aku tidak melihat ada maksud terselubung. Namun, aku kembali ragu saat ingat kata-kata Mas Kaivan beberapa hari waktu lalu."Arga itu manipulatif, kamu jangan sampai tertipu."Aku menggeleng. "Maaf, Pak. Bapak kalau mau ketemu Mas Kaivan, datang aja ke kantornya. Jangan ke rumah ini. Saya
PoV AlyaDia menatapku intens, membuatku takut. Itu tatapan paling aneh dan menakutkan yang pernah pernah kudapat darinya—selama kami beberapa kali saja berinteraksi. "Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan."Tubuhku membeku seperti baru saja tersengat listrik mendengar kalimatnya yang random. Benar-benar random dan tak masuk akal. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mengucapkan kalimat itu. Masuk ke rumah tanpa izin saja sudah cukup membuatku kesal. Apalagi mengatakan hal menjij-kkan seperti itu. "Jangan asal bicara, Pak!" sentakku kesal. Tak peduli apa pun yang dia pikirkan.Dia menatap lemah padaku. "Saya gak asal bicara, Al. Dia memang putra saya," tegasnya lagi. Aku tak peduli. Sepertinya memang sudah tidak waras."Dasar gila! Gak waras! Pergi dari sini," umpatku kemudian karena tidak dapat lagi menahan kesal. Aku segera memutar tubuh dan dengan langkah tergesa segera menaiki tangga. Saat hampir sampai di atas, aku sedikit menarik napas lega karena dia hanya menata
PoV KaivanSaat pintu terbuka. Aku mendapati senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Masuklah, aku sudah lama menunggumu," ucapnya seakan tahu jika aku akan datang. Aku masuk ke rumah itu tanpa sepatah kata. Aku mengikuti langkahnya tanpa keraguan. Meski aku tahu, langkah Arga tak pernah bisa ditebak, tetapi aku tidak pernah takut.Kami tiba di sebuah ruangan. Di ruangan seluas dua puluh lima meter persegi itu tidak banyak furnitur dan aksesoris. Hanya ada satu meja kerja dan kursinya, satu buah sofa lengkap dengan meja kaca, juga ada satu lemari.Dia mempersilakanku duduk. Senyum tipis yang dia sunggingkan seperti tak memiliki rasa bersalah sama sekali setelah apa yang dia lakukan pada Alya hari ini. Senyum itu bagiku lebih mirip seringai seorang monster.Seorang ART mengantarkan teh hangat dan camilan di hadapanku. Arga yang duduk tak jauh dariku setelah mengambil sesuatu di atas meja kerja.Arga duduk dan mempersilakanku untuk minum. Aku meneguknya hingga separuh.“Aku tidak ing
PoV KaivanDia duduk di sisiku. Sedikit menempel pada tubuhku. Aku merasakan tubuhnya yang sedikit bersandar di tubuhku. Aku tak bisa menggeser tubuh agar sedikit menjauh darinya. Tali di kedua sisi tidak bisa ditarik lagi.Tanpa kata dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menggerak-gerakkan bahuku agar dia mengangkat kepalanya dari sana. "Kamu tahu gak, sih. Aku udah lama nungguin masa-masa ini. Maaf untuk kesalahanku dulu, Mas." Dia berkata lagi tanpa beban. Seolah tidak sedang terjadi apa pun. "Jangan seperti ini, Ki. Lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini. Kita bukan suami istri lagi, kita sudah resmi cerai." Aku mengingatkan. "Kamu benar, Mas, pengadilan sudah meresmikan perceraian kita." Dia mengelus perutnya yang buncit. "Tapi aku hamil anakmu." Dia menatapku. Ucapannya membuatku membeku untuk beberapa saat. Tidak. Kinan tidak mungkin hamil anakku. Saat bersamaku dia selalu meminum pil KB tanpa jeda setiap hari. Jadi, tidak mungkin hamil."Itu gak mungkin, kamu se
PoV Kinan----"Tapi, Ki. Ini salah. Sampai kapan kamu akan menahanku seperti ini. Kita udah resmi cerai. Dan, aku punya tanggung jawab atas anak dan istriku," selorohku kesal karena wanita ini tak juga mengerti. Kinan bergeming kemudian naik lagi ke atas tempat tidur dengan santai. "Tidurlah, Mas. Ini sudah larut," ucapnya lembut.Dia benar-benar sudah gila. Bagaimana aku bisa tidur dalam keadaan seperti ini."Kinan, jangan menguji kesabaranku!" seruku penuh penekanan. "Hah? Memangnya apa yang bisa kamu lakukan kalau habis kesabaran dalam keadaanmu yang seperti itu, Mas," ejeknya sambil tersenyum miring. "Lepaskan aku, Ki. Aku benar-benar ingin ke toilet," tandasku kesal karena memang menahan air seni sejak tadi."Sudah kubilang, pake ini aja, Mas!" tegasnya sambil mengangkat pispot lagi. "Mana bisa? Tanganku gak bisa gerak leluasa karena kamu ikat.""Oke, aku bantu, ya," ucapnya tanpa beban."Apa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.Aku menepis tangannya yang nyaris me
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p
"Jadi, selama ini aku bukan lagi mimpi, tapi memang kamu ada di sana?" tanyanku tak percaya. "Pantesan rasanya kayak bukan mimpi."Pantas saja mimpi itu tidak seperti mimpi. Aku merasakan pipi yang tiba-tiba menghangat."Sekarang baru sadar, gimana nyamannya tidur di pelukanku? Makanya jangan sok-sokan kabur dari rumah." Dia menggerutu.Aku tersenyum malu. "Jadi, sejak kapan Mas di sana?" "Sejak hari pertama kamu di sana lah." Dia tersenyum penuh kemenangan."Kok bisa?""Udah aku bilang, kamu gak bisa pergi jauh dariku, Sayang.""Tapi, kata Edo Mas masih cariin aku waktu–""Dan, kamu percaya? Itu cuma akal-akalan dia aja." Mas Kaivan mengulum senyum, tetapi kali ini lebih mirip menahan tawa."Kenapa Mas gak samperin aku aja?""Karena aku gak siap kalau kamu menolak saat aku ajak pulang.""Jadi, selama ini Mas Kai sembunyi di mana? Kenapa aku gak pernah lihat?""Di mana-mana, kadang di bawah meja, kadang di dalam lemari, seringnya di balkon sempit di bawah jendela."Aku menutup mulut
"Apa?" tanyaku antara tak percaya dan tak mengerti. "A–aku hamil, Buk?" tanyaku lirih dan nyaris tak terdengar mungkin.Wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah terharu atau prihatin. Pasalnya Rayyan masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik.Aku pun tidak tahu harus bahagia atau sedih. Ini kabar yang mengejutkan. Aku masih terdiam. Kata-kata Bu Rumi terus terngiang di kepala.Di satu sisi hati ini memang terasa menghangat—kehidupan baru sedang tumbuh dalam rahimku. Namun di sisi lain, hatiku berdegup penuh cemas. Di saat yang sama, suamiku masih terbaring tak sadarkan diri, baru saja melewati batas antara hidup dan mati.Aku mengelus perutku pelan. Meskipun belum ada perubahan fisik, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya sekarang***Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku. Seorang perempuan berjas putih masuk, mengenakan name tag bertuliskan, “dr. Intan Rizkita, Sp.OG.” Dia me
"Terlambat! Kaivan sudah hampir kehilangan nyawa, lu pikir gua masih tinggal diam?"Aku hanya menunduk. Suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu itu begitu menyesakkan. Ingin rasanya meminta mereka berhenti berdebat. Meski tidak sampai mengundang perhatian pengunjung lain, tetapi cukup membuatku merasa ... mual. Dan, secara tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa dari dalam perutku. Tepat di bawah pusar. Rasanya melilit seakan ada yang menarik dari dalam.Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan sakit yang tiba-tiba mendera juga nyeri di kepala rasanya kian menjadi. Rasa sakit itu tak menjadi satu, tapi seperti menyerang dari segala arah. Seolah mereka mencengkeram kepala dan leherku sekaligus, juga di bawah pusar. “Alya?” Bu Rumi memegang lenganku, kemudian menepuk pipiku lembut.Aku membuka mata, tapi dunia seperti terus bergerak. Suara-suara di sekeliling mulai terdengar seperti dari kejauhan. Samar. Bergema. Aneh. Bahkan suara Mas Azzam dan Arga yang s
Dokter menatapku sebentar. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi…”Aku langsung lemas. Suara dokter menghilang di antara detak jantungku yang kacau. Kepala mendadak terasa berputar. Namun, kemudian dokter melanjutkan ....“… Dia masih bernapas. Tapi kondisinya sangat kritis. Kami butuh donor darah segera, golongan darah pasien B negatif."Aku tercekat. Setahuku itu termasuk golongan darah langka. Sementara golongan darahku tidak sama dengannya. Mas Azzam memekik, “Apa gak ada di bank darah?”Pria dengan berjas putih itu menggeleng. "Sayangnya persediaan di bank darah sedang kosong."Aku masih berdiri terpaku di depan dokter. Kata-katanya menggema di kepala seperti dentuman yang seakan memecah kepala. "Kondisinya kritis. Kami butuh donor darah segera."Tangan dan kakiku mendadak dingin. Aku menoleh ke arah Rayyan, yang masih tertidur dalam pelukanku, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ya Allah, Tolong selamatkan suamiku!" Sejak tadi aku tadi air mata yang keluar, dan suara y
Aku mematung beberapa saat. Menatap mata sayu yang hampir meredup. Wajahnya memerah seperti menahan sakit. "Maaas!!!" Akhirnya aku bisa bersuara. Mengeluarkan jeritan dengan lantang. "Ray—yan!" Tangannya terulur hendak menggapai Rayyan yang sempat kubelakangi. Aku bergegas menggendong dan memeluk putraku. Kemudian menggapai tubuh Mas Kaivan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini?Aku belum benar-benar memahami situasi saat sekelebat tubuh bergerak cepat menuju jendela, menggeser dengan cepat daun jendela dan menghilang dari sana. Aku bahkan tidak tahu jika ternyata jendela itu bisa dibuka. Kupikir jendela mati. Sebab itu, aku tak pernah membuka jendela selain tirainya saja. Tangan dingin itu menggemggam jemariku. "Ma–af, Sa–ayang." Aku menggeleng. Air mata sudah tak mampu ditahan lagi. "Sial! Dia kabur!" Suara itu mengejutkanku. "Cepat kejar! Jangan sampai lolos! Panggil ambulans, cepat!" . Entah sejak kapan mereka masuk dan bagaima