PoV AlyaHanya selang beberapa detik, pintu kaca itu terbuka lagi. Menampilkan sosok yang sangat tak asing bagi kami.Pria itu berjalan dengan langkah tegap dan percaya diri mendekat pada kami. "Wow, ada tamu istimewa rupanya." Dia kemudian menarik kursi yang ada di seberang kami. Kemudian duduk di sana. Mendadak selera makanku hilang. Mas Kaivan pun meletakkan sendoknya sejak pria itu masuk.Aku melirik sekilas pada gelas yang berlabel logo restaurant. Kenapa aku baru menyadari jika sebenarnya logo itu tidak asing. Aku pernah melihatnya beberapa kali. Namun, aku memang kurang teliti. Sekarang aku baru menyadari, logo dengan ukiran estetik itu ternyata membentuk nama Shelomita.Pantas saja Mas Kaivan awalnya menolak untuk makan di sini. Ah, seharusnya tadi aku mengerti. Dan, kalian pasti sudah bisa menebak siapa pria di hadapan kami ini. Tepat sekali, dia adalah Argadinata Adijaya. Mantan pembimbing skripsiku."Bebaskan tagihan untuk semua menu di meja ini. Kalian tidak lupa, ’kan ka
43Sebuah Kenyataan Aku bangkit perlahan, memastikan apa yang dia lakukan dengan ponselku. Sebisa mungkin aku melakukan gerakan halus agar dia tidak menyadarinya. Dan, aku berhasil. Ternyata dia membuka aplikasi chat hijau yang memang tidak banyak history chatnya. Dia membuka chat paling atas yang belum aku simpan nomornya. Itu chat dari Edo, teman sekelas yang aku temui di depan ruang ujian tadi. Aku terbelalak ketika melihat apa yang dia lakukan. Hanya butuh beberapa detik dia menekan tombol blokir kemudian menghapus history chatnya. "Kenapa dihapus, Mas?" Dia berjingkat kaget ketika mendengar suaraku. Padahal sangat pelan. Dia kemudian meletakkan ponselku begitu saja. Dia menggaruk kepalanya. Jelas sekali terlihat salah tingkah. "Ehmm, eng–enggak. Gak ada yang ...."Aku menaikkan sebelah alisku. Menatap dia dengan penuh tanda tanya seraya menunggu apa yang akan dia katakan. Jadi, in
PoV Alya"Mas udah tahu alasan Mama kasih resto dan butik ke Pak Arga?"Dia mengangguk. Mendadak raut wajahnya berubah. "Karena sebuah kenyataan yang ... sulit untuk aku terima."Aku menatapnya ragu. Kenyataan yang sulit diterima? Apa itu?"Maksudnya?"Dia menggeleng tanpa mengatakan apa pun. Aku pun menghela napas dalam, tak ingin memaksa untuk berbicara. Aku kemudian mengajaknya untuk membersihkan diri untuk kemudian Salat Zuhur. Usai membersihkan diri dan salat, Mas Kaivan tampak berpakaian rapi. "Aku harus pergi, Sayang. Azzam minta aku datang ke kafe. Mungkin sampai malam, ada banyak hal yang perlu dibahas," ucapnya sambil meratakan gel di rambutnya. Setelah menunggu dia menyisir rambutnya, aku mengambil jam tangan bermereknya dari laci, kemudian membantu memakaikan. Dia mengulum senyum. "Gimana kalau kamu ikut, Sayang?"Aku menoleh padanya seketika, memastikan jika dia tidak salah bicara. "Aku mau ngapain di sana?" tanyaku asal. Sebenarnya ajakannya cukup menarik. Namun, b
PoV AlyaBaru kali ini aku bertemu dengan sahabat Mas Kaivan yang bernama Azzam. Selama ini hanya mendengar dari cerita suamiku itu saat kami punya kesempatan membahas hal random."Jangan panggil dia Mas, Sayang," protes Mas Kaivan saat aku tanpa sengaja menyebut sapaan untuk sahabatnya itu. Aku merasa tak enak, karena terang-terangan suamiku ini mengatakan di depan orang yang bersangkutan.Aku mengernyit. "Jadi, apa, dong?""Terserah yang penting jangan, Mas. Kamu panggil om pun dia masih pantes." Pria itu berucap sambil tertawa pelan dan beralih menatap sang sahabat. "Bukan begitu, Bro?"Azzam mengulas senyum. "Apa kate lu deh," ucapnya sambil menggeleng-geleng.Tawa mereka pun pecah bersamaan. Aku akhirnya ikut masuk ke ruangan kerja mereka atas permintaan Mas Kaivan. Rasanya membosankan kalau begini. Aku hanya memainkan ponsel saja sambil menunggu mereka. Kupikir hanya sebentar tetapi ini cukup membosankan. Aku sudah cukup lama menunggu, tetapi mereka terlihat belum ada tanda-ta
PoV AlyaAku mendongak. Memastikan jika pendengaranku tidak salah. Benar saja. Pria itu menatap dengan pandangan yang ... entahlah. Tidak seperti sebelumnya. Ya Tuhan, dari sekian ribu orang di mal ini, kenapa harus dia?"Namanya Naisyila. Dia putriku," ucapnya sambil menatap dengan senyuman pada sang putri yang berada dalam gendongannya. "Sekali lagi terima kasih."Aku menegakkan tubuh. Menatapnya tanpa gentar. "Tidak perlu berterima kasih, Pak Arga. Lain kali tolong jaga putri Anda dengan baik." Setelah berkata begitu, aku beranjak pergi. Tak ingin terlalu lama melibatkan diri dengannya. "Alya, tunggu!" Dia menghadang langkahku.Aku menatapnya malas."Tolong bantu saya untuk bisa bertemu dengan Kai. Saya perlu bicara dengan dia," ucapnya rendah. Lebih terdengar memohon bagiku."Bicara tentang apa?" tanyaku spontan. Dia tak langsung menjawab. "Tentang M ... ehm, tentang Ibu Shelomitha."Aku bergeming. Sejujurnya aku penasaran tentang Mama dan pria di depanku ini? Namun, aku yakin
PoV Alya---"Maafin aku, Sayang. Maaf." Dia menciumi tanganku. Aku bergeming. Masih butuh waktu untuk menerima apa yang baru saja terjadi."Aku gak bermaksud untuk menyakiti kamu. Maaf, aku gak bisa mengendalikan diri." Aku merasakan hangat menyentuh punggung tangan. Ternyata air matanya menetes di sana. Namun, dia malah mengangkat tangannya untuk menyeka bulir mata di pipiku."Maaf, Sayang. Maafin aku," ucapnya lagi. "Aku benar-benar kalut tadi."Tak mendapatkan jawaban, dia merebahkab kepalanya di atas pahaku. "Tolong, Al. Jangan seperti ini," ucapnya cemas. “Plis, apa pun yang terjadi, jangan pernah temui dia lagi, Al. Aku benar-benar gak mau kita bermasalah dengan dia lagi. Kamu tahu, dia mengambil semua milikku. Aku gak mau dia ambil kamu juga. Kamu dan Rayyan. Hanya kalian berdua yang kumiliki sekarang."Aku menyentuh kepalanya, kemudian memberikan belaian halus di sana. "
PoV Kaivan "Nah, Pak Kaivan, bagaimana perasaan Anda sekarang? Apakah Anda merasa ada perubahan dalam diri Anda setelah sesi terapi kali ini?" tanya dr. Arsyinta, Sp.KJ seraya menatap ramah. Aku mengembuskan napas perlahan setelah amenghirupnya dalam-dalam. "Alhamdulillah, saya merasa lebih rileks dan tenang. Saya juga merasa lebih siap untuk menghadapi masalah yang ada." "Itu bagus. Sesi hipnoterapi ini dapat membantu Anda mengakses pikiran bawah sadar dan mengubah pola pikir yang tidak sehat. Apakah Anda ingat apa yang terjadi selama sesi hipnoterapi?" tanyanya lagi. "Saya ingat bahwa saya merasa sangat santai dan dapat memvisualisasikan diri saya dalam situasi yang positif. Saya juga merasa bahwa saya dapat melepaskan beban emosi yang saya rasakan sebelumnya." Dia mengangguk kemudian tersenyum tipis. Wanita yang aku perkirakan mendekati usia kepala lima itu kemudian mencatat sesuatu di buku kecil catatan diagnosis psikiatri milikku. "Sepertinya tadi ada telepon penting
PoV KaivanAku mengangkat tubuhnya menjauh dari lantai yang penuh dengan pecahan kaca. Setelah mendudukkan tubuhnya di sofa, mengambilkan air minum—dia meminumnya hingga tandas, aku kembali merapikan rambutnya yang masih sedikit berantakan."Apa ini kelakuan Arga?" Aku memberanikan diri bertanya. Pelan sekali.Matanya yang sayu menatapku lemah. Bibirnya bergetar, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada keraguan sebagai penghalangnya. Aku juga menemukan hal lain di matanya. Seakan ada ketakutan yang tidak bisa dikatakan. Setidaknya itu yang kulihat.Aku menangkup kedua pipinya, menatap intens. “Aku tahu dia datang ke sini. Katakan, Sayang. Apa dia melakukan sesuatu yang ...."Dia menggeleng. Aku kembali merengkuhnya dalam dekapan, lalu mendaratkan beberapa kecupan di rambutnya. “Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku bertanya lagi di dalam hati."Dia .... Rayyan ...." Alya mulai bicara. “Aku takut, Mas. Rayyan .... Dia bilang Rayyan–" Kalimat terputus oleh tangisnya sendiri. Aku mengus
"Sayang, aku di sini," ucapnya lirih.Aku mengangguk. Namun, tak dapat bersuara. Ya, Allah Kenapa ini harus terjadi lagi? Aku harap ini hanya mimpi."Alya."Air mataku makin deras. Tak mungkin lagi bisa dibendung. Seperti darah yang mengalir deras dari perutnya. Aku tak bisa berbuat apa pun lagi."Mas, kenapa ini terjadi lagi?"Dia masih bisa tersenyum. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.Aku teriak minta tolong. Namun, teriakanku seakan tak sampai di ujung lidah pun."Alya, sssstt!" Aku memeluk tubuhnya. Dia menepuk-nepuk punggungku."Alya, Sayang .... Alya!" Dia menyeka air mataku kemudian menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku bergeming. Menghela napas dalam. "Alya, bangun, Sayang." Tepukan di pipi makin keras.Aku mengerjap beberapa kali. Memutar pandanganku ke sekeliling. Sekarang aku di kamar, bukan lagi di dapur. Aku kembali menatap Mas Kaivan yang memangku kepalaku. Bukan aku yang memangku kepalanya seperti tadi.Dia mengusap keningku yang berkeringat. "Mas?" bisikku pelan.
Aku menunggu Mas Kaivan dengan gelisah. Dia pergi sejak siang setelah dijemput oleh Pak Arga, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka pulang. Terakhir kali pria itu memberi kabar dan memintaku untuk bersiap-siap karena dia akan membawa bayi Bu Kinan pulang. Namun, kenapa sampai selarut ini belum juga sampai. Padahal aku sudah menyiapkan tempat khusus untuk baby Haura. Box bayi dengan kasur mungil lengkap dengan printilannya bernuansa pink yang kupesan via online tadi siang. Sore baru diantar kurir. Aku sengaja menggunakan fitur pengiriman same day agar bisa tiba di hari yang sama.Nomor Mas Kaivan tidak bisa dihubungi. Sementara itu, aku segan untuk menghubungi Pak Arga. Rayyan sudah berhasil kutidurkan sejak jam setengah malam tadi. Dja sempat menangis memanggil saat melihat foto papanya yang terpajang di nakas. Meski dengan mudah bisa ditenangkan, tetap saja aku masih gelisah hingga kini.Setelah beberapa kali menimbang akhirnya aku menelepon nomor Pak Arga. Satu kal
"Pagi, Sayang." Dia mengecup keningku lama begitu aku membuka mata. "Jam berapa, Mas?" tanyaku dengan nada masih mengantuk.Aku kembali merapatkan wajahku ke dadanya yang masih tak berlapis. "Bentar lagi azan subuh." Dia menjawab sambil mengeratkan pelukan."Astaghfirullah, tahajud lewat, dong." Aku terkejut dan menjauhkan kepala dari dadanya.Akan tetapi, dia menarik lagi. Membuat tubuh kami kembali tanpa sekat."Sekali-kali gak apa, Sayang. Kan udah diganti sunah yang lain semalam."Kalimatnya seketika membuatku pipiku terasa menghangat. "Ih, apaan, sih?"Aku kembali membenamkan wajah agar ia tak melihat pipiku yang mungkin semerah tomat.Dia terkekeh, seraya kembali mengeratkan pelukannya. Tak hanya sampai di situ, tangannya kembali bergerak mencari sesuatu yang tersembunyi dari bagian tubuhku."Mas, plis deh. Udah mau subuh nih. Kita harus gegas mandi.""Masih lama, Yang, subuhnya. Masih cukup kalau nambah satu lagi," ucapnya manja sembari mendaratkan beberapa kecupan di leher.
Malam ini rumah sudah terasa lebih sunyi. Terasa dingin dan tenang karena hujan baru saja mengguyur bumi. Rayyan sudah tidur nyenyak di boxnya. Setelah dokter menyatakan aku tidak perlu bedrest lagi, Mas Kaivan mengizinkan Mbak Rani untuk cuti. Kesempatan ini kugunakan untuk bisa lebih dekat lagi dengan Rayyan. Masa bedrest kemarin intensitas waktuku bersamanya sangat jarang sekali. Aku masih duduk di ujung ranjang, punggung menyandar di sandaran kepala tempat tidur. Mas Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus abu-abu ketak mencetak dada dada bidangnyabdan celana pendek santai. Rambutnya masih basah, menetes sedikit, tetapi matanya langsung mencari-cari mataku.Aku mengalihkan pandang.Dia diam sebentar, lalu menghampiri meja rias dan mengambil sisir. Dengan gerakan tenang, ia duduk di belakangku di ranjang. “Boleh aku bantu sisirin rambut kamu?”Aku mengangguk pelan, tetap tak berkata apa-apa.Dengan lembut, sisir bergeser melalui rambutku yang panjang. Ia melaku
Mataku terpaku pada layar laptop di hadapanku. Judul dokumen itu menampar kesadaran seperti angin dingin di pagi hari:Hasil Pemeriksaan DNA – Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa.Tanganku gemetar ketika kursor mouse bergerak perlahan membuka file PDF yang dikirimkan via email. Di sebelahku, Mas Kaivan duduk tegak. Wajahnya kaku, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun. Namun, aku tahu, dia sama tegangnya denganku.Lembar pertama hanya berisi data teknis. Nama laboratorium, tanggal pengambilan sampel, dan identitas subjek.Lembar kedua—itulah jawabannya.> Hasil: Kecocokan genetik menunjukkan bahwa kemungkinan hubungan biologis antara Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa adalah 99.98%.Aku menutup mulut. Tubuhku limbung, seolah semua udara dalam paru-paru menguap seketika.Mas Kaivan mengusap punggungku pelan. “Sayang … kamu gak apa-apa?”Aku tak bisa langsung menjawab. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang ... entah kenapa tetap terasa menyakitkan meski aku sudah mempersiapka
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p