PoV AlyaAku terbangun dengan kepala yang terasa berat, pandangan kabur, dan seluruh tubuh terasa lemas. Cahaya temaram dari lampu kamar menerangi ruangan yang sunyi. Perlahan, aku menggerakkan tubuh, merasakan dinginnya ruangan yang seakan menusuk tulang. Sepertinya ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Mas Kaivan ....Pikiranku langsung melayang pria yang berstatus suamiju itu. Di mana dia? Kenapa tidak ada di sini? Dengan susah payah, aku bangkit dari pembaringan, tubuh gemetar menahan rasa pusing yang menusuk. Mataku langsung tertuju pada ranjang tempat Rayyan biasa terlelap dengan tenang. Namun, di sana tidak ada Rayyan. Apa Mbak Rani sudah kembali bekerja lagi?Buru-buru aku mengambil wudhu dan melaksanakan salat Maghrib yang sudah hampir di ujung waktu. Kenapa tidak ada yang membangunkanku untuk salat? Di mana sebenarnya Mas Kai?Usai salat, aku melangkah gontai ke pintu, membukanya perlahan. Suasana rumah gelap dan senyap. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mas Kaivan. Den
Pov AlyaTiba-tiba aku merasakan perut yang keroncongan karena tadi hanya makan sedikit sekali, tetapi rasanya seperti tidak punya selera untuk makan. Tenggorokanku juga terasa kering, tapi air mineral di meja sudah tumpah tadi masih kosong dan belum ada gantinya.Aku menatap foto baby Rayyan yang kuambil dari atas nakas. Pipinya yang merah, bulu matanya yang lentik—dia adalah salinan kecil Mas Kaivan. Tapi setelah ucapan Pak Arga tadi, keraguan mulai menyelinap, menggoyahkan keyakinan yang tadinya kokoh. [Dia benar-benar putra saya, Al. Bukan anak Kaivan.] Suara itu masih terngiang-ngiang dalam ingatan.Aku menggigit bibir sampai terasa sakit. *Tidak mungkin.* Aku ingat betul malam itu, hanya Mas Kaivan yang bersamaku. Pak Arga .... tidak mungkin .... Tapi video itu .... Dadaku sesak lagi. Aku tidak mau mengingatnya. Tidak mau. Pagi datang dengan kabut tebal di luar jendela. Aku tidak bisa tidur semalaman, hanya menatap langit-langit dengan harapan pria itu segera pulang. Na
PoV KaivanAku tidak tahu Kinan pingsan atau tertidur. Namun, beberapa saat setelah Kinan terkulai, pintu kamar dibuka dengan paksa. Arga muncul di sana. Dia menghampiriku dan melepaskan semua ikatan di kedua tanganku, juga lakban yang membungkam mulutku. Melihat wajah Arga membuat emosiku memuncak. Aku teringat video yang diputar Kinan semalam.Aku mencengkram kerah bajunya. Wajahnya terkejut karena mungkin tak siap."Gak ada waktu untuk ini, Kai. Pergilah sekarang. Maaf, seharusnya aku tidak mengundangmu ke sini. Aku tidak tahu jika Kinan akan senekat ini.""Omong kosong lu, Ga. Kenapa ada orang sebusuk lu, hah? Lu pura-pura bantu nyokap gue buat nyatuin gue orang sebaik Alya, tapi lu malah ikut nodain dia." Aku melayangkan tinjv ke wajahnya. Dia meronta. "Apa maksud kamu, Kai? Aku memang mengakui anak kalian sebagai anakku hanya untuk menggertak Alya, memancing supaya kamu datang menemuiku. Demi Tuhan aku gak pernah menyentuh Alya." Dia mencoba menjelaskan.Aku mengambil remote d
"Mas selingkuh?"Aku menggeleng.Sial. Ini pasti ulah Kinan tadi malam. Namun, penjelasan seperti apa yang harus kukatakan pada Alya."Gak perlu bohong, Mas. Aku bisa lihat. Dan ...." Dia menarik paksa napasnya. "Ini bukan aroma parfum kamu, ini parfum perempuan." Dia mendorong tubuhku.Aku bergeming. Aku baru saja akan bercerita ke mana aku pergi semalam supaya tidak menimbulkan salah paham. Namun, dia sudah terlanjur salah paham. Lalu aku harus bagaimana? Apa dia masih bisa mendengarku?"Alya, aku gak selingkuh. Kamu salah paham. Aku bisa jelasin apa yang sebenarnya terjadi semalam." Aku berkata lirih.Dia menatapku lemah. Napasnya mulai naik turun dengan tempo cepat dan berat.Aku mencoba meraih tangannya dalam genggaman. Namun, dia menepis dengan cepat. Dia kemudian memiringkan tubuhnya dan membelakangiku."Bukannya dulu aku pernah bilang. Aku bisa bertahan hanya jika Mas tinggalka Bu Kinan. Tapi bukan berarti boleh ada wanita lain meski itu bukan Bu Kinan, Mas," ucapnya lirih. Su
PoV KaiAlya masih terduduk di lantai kamar mandi, wajahnya pucat dan napasnya tersengal-sengal. Aku berdiri di depan pintu, tak berani mendekat, tidak juga ingin pergi. Mana mungkin aku meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Bau parfum Kinan yang masih menempel di bajuku memang menyengat, dan Alya jelas sangat sensitif saat ini. "Sayang, aku akan mandi dulu. Aku panggil Bu Rumi untuk bantu kamu, ya," kataku pelan sebelum akhirnya berbalik menuju keluar untuk memanggil Bu Rumi kemudian mandi di kamar mandi yang lain. Air dingin mengalir deras di tubuhku, mencoba membersihkan segala bau dan kenangan buruk semalam. Aku kembali memikirkan Kinan yang bersikap aneh semalam. [Anak siapa yang dikandung Kinan? Bagaimana jika benar anakku? Alya pasti tidak akan suka] Pikiranku terus berputar pada Kinan, pada apa yang harus kulakukan selanjutnya?Aku tak bisa membiarkannya terus mengganggu hidup kami. Namun, bagaimana caranya? Setelah mandi, aku memastikan tak ada lagi bau asing di t
PoV Kaivan"Bu Alya tiba-tiba mau pergi, Pak!" Rani mengatakannya dengan suara bergetar, matanya menyorotkan kecemasan.Alya? Mau pergi? "Maksud Mbak Rani gimana? Pergi gimana? Alya kan masih belum sehat?" tanyaku tak mengerti.Pertanyaan yang kucipta sendiri seketika membuat jantung berdegup kencang. Firasatku ini tidak baik.Rani menggeleng cepat. "Bapak lihat dulu deh, dia udah beres-beres masukin baju ke dalam tas."Ini Alya maksudnya apa, sih? Tadi baik-baik saja, kenapa sekarang .... Ah, sulit.Aku langsung melesat keluar, meninggalkan Azzam yang masih kebingungan di ruangan. Langkahku cepat, hampir berlari menuju kamar di lantai atas. Akan tetapi, saat aku membuka pintu kamar yang kulihat justru hal yang biasa. Dia yang tadi berdiri di depan lemari, kemudian duduk di tepi ranjang."Ada apa, Mas?" Dia menatap aneh.Aku menatap sekeliling. Tidak ada tanda-tanda Alya akan pergi atau sedang beres-beres seperti yang dikatakan Mbak Rani.Aku menoleh, ke belakang. Menatap Mbak Rani
PoV Kaivan"Tapi gimana kalau anak yang dikandung Kinan benar-benar anak gua, Zam?" tanyaku lirih penuh sesal.Azzam diam. “Ya lu kudu tanggung jawab lah, lu bapaknya."Aku mendengkus."Bertanggung jawab yang gua maksud bukan berarti lu harus nikahin dia dan korbanin istri lu sekarang. Itu namanya lu bodoh karena mau masuk ke lubang yang sama.""Maksud lu?""Lu manusia cerdas, pasti bisa mikir.""Gua memang lagi gak bisa mikir sekarang, Zam. Gua takut kehilangan Alya. Gua takut dia kecewa kalau tahu Kinan hamil anak gua." Aku mengusap wajah. "Gua takut Alya gak bisa terima ini, Zam.""Kenapa lu begitu ga percaya diri, Bro?"Aku yang tadi menunduk pun menoleh. "Maksud gue, yang Alya gak suka tuh lu balikan sama Kinan tapi masih mau sama dia.""Iya, tapi ....""Jangan bilang lu masih belum move on dari Kinan?"Aku menunduk. "Gila, lu. Gua kasihan sama Alya. Hidup dan masa depannya hancur karena kecerobohan lu, sekarang–"“Ya gaklah, Zam. Gua gak mungkin nyimpen perasaan buat Kinan yan
PoV AlyaAku melakukan panggilan video dengan Ibu setelah Mas Kaivan pergi. Sebelumnya kumasukkan sim card milikku ke dalam ponsel Mas Kaivan—yang memiliki fitur dual sim, dan login akun WhatsApp-ku di sana.Baru beberapa saat melakukan panggilan video, ada pesan aneh dari nomor baru. Pesan itu beruntun sehingga aku terpaksa buru-buru mengakhiri panggilan video dengan Ibu. Entahlah, nomor baru atau nomor sama yang mengirim video kemarin. Karena semua history chat akunku terhapus.Pesan aneh itu berisi video dan beberapa pesan teks."KAU PIKIR KAI MAU BERSAMAMU KARENA MENCINTAI PEREMPUAN MURAH SEPERTIMU?""😂😂😂DIA HANYA TIDAK INGIN KEHILANGAN PUTRANYA.""TAPI, GIMANA KALAU KAI TAHU BAHWA ANAKMU BUKAN ANAK KAIVAN?" "KAU TAK LEBIH DARIPADA SEORANG PELAKOR!!!" tulis nomor asing itu dengan huruf kapital.Seketika membuatku merasakan perih di dalam sana. Siapa pengirim pesan kasar itu? Apakah dia ... satu-satunya yang ada di kepalaku adalah mantan istri Mas Kaivan. Namun, untuk apa dia m
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p
"Jadi, selama ini aku bukan lagi mimpi, tapi memang kamu ada di sana?" tanyanku tak percaya. "Pantesan rasanya kayak bukan mimpi."Pantas saja mimpi itu tidak seperti mimpi. Aku merasakan pipi yang tiba-tiba menghangat."Sekarang baru sadar, gimana nyamannya tidur di pelukanku? Makanya jangan sok-sokan kabur dari rumah." Dia menggerutu.Aku tersenyum malu. "Jadi, sejak kapan Mas di sana?" "Sejak hari pertama kamu di sana lah." Dia tersenyum penuh kemenangan."Kok bisa?""Udah aku bilang, kamu gak bisa pergi jauh dariku, Sayang.""Tapi, kata Edo Mas masih cariin aku waktu–""Dan, kamu percaya? Itu cuma akal-akalan dia aja." Mas Kaivan mengulum senyum, tetapi kali ini lebih mirip menahan tawa."Kenapa Mas gak samperin aku aja?""Karena aku gak siap kalau kamu menolak saat aku ajak pulang.""Jadi, selama ini Mas Kai sembunyi di mana? Kenapa aku gak pernah lihat?""Di mana-mana, kadang di bawah meja, kadang di dalam lemari, seringnya di balkon sempit di bawah jendela."Aku menutup mulut
"Apa?" tanyaku antara tak percaya dan tak mengerti. "A–aku hamil, Buk?" tanyaku lirih dan nyaris tak terdengar mungkin.Wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah terharu atau prihatin. Pasalnya Rayyan masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik.Aku pun tidak tahu harus bahagia atau sedih. Ini kabar yang mengejutkan. Aku masih terdiam. Kata-kata Bu Rumi terus terngiang di kepala.Di satu sisi hati ini memang terasa menghangat—kehidupan baru sedang tumbuh dalam rahimku. Namun di sisi lain, hatiku berdegup penuh cemas. Di saat yang sama, suamiku masih terbaring tak sadarkan diri, baru saja melewati batas antara hidup dan mati.Aku mengelus perutku pelan. Meskipun belum ada perubahan fisik, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya sekarang***Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku. Seorang perempuan berjas putih masuk, mengenakan name tag bertuliskan, “dr. Intan Rizkita, Sp.OG.” Dia me
"Terlambat! Kaivan sudah hampir kehilangan nyawa, lu pikir gua masih tinggal diam?"Aku hanya menunduk. Suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu itu begitu menyesakkan. Ingin rasanya meminta mereka berhenti berdebat. Meski tidak sampai mengundang perhatian pengunjung lain, tetapi cukup membuatku merasa ... mual. Dan, secara tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa dari dalam perutku. Tepat di bawah pusar. Rasanya melilit seakan ada yang menarik dari dalam.Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan sakit yang tiba-tiba mendera juga nyeri di kepala rasanya kian menjadi. Rasa sakit itu tak menjadi satu, tapi seperti menyerang dari segala arah. Seolah mereka mencengkeram kepala dan leherku sekaligus, juga di bawah pusar. “Alya?” Bu Rumi memegang lenganku, kemudian menepuk pipiku lembut.Aku membuka mata, tapi dunia seperti terus bergerak. Suara-suara di sekeliling mulai terdengar seperti dari kejauhan. Samar. Bergema. Aneh. Bahkan suara Mas Azzam dan Arga yang s
Dokter menatapku sebentar. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi…”Aku langsung lemas. Suara dokter menghilang di antara detak jantungku yang kacau. Kepala mendadak terasa berputar. Namun, kemudian dokter melanjutkan ....“… Dia masih bernapas. Tapi kondisinya sangat kritis. Kami butuh donor darah segera, golongan darah pasien B negatif."Aku tercekat. Setahuku itu termasuk golongan darah langka. Sementara golongan darahku tidak sama dengannya. Mas Azzam memekik, “Apa gak ada di bank darah?”Pria dengan berjas putih itu menggeleng. "Sayangnya persediaan di bank darah sedang kosong."Aku masih berdiri terpaku di depan dokter. Kata-katanya menggema di kepala seperti dentuman yang seakan memecah kepala. "Kondisinya kritis. Kami butuh donor darah segera."Tangan dan kakiku mendadak dingin. Aku menoleh ke arah Rayyan, yang masih tertidur dalam pelukanku, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ya Allah, Tolong selamatkan suamiku!" Sejak tadi aku tadi air mata yang keluar, dan suara y
Aku mematung beberapa saat. Menatap mata sayu yang hampir meredup. Wajahnya memerah seperti menahan sakit. "Maaas!!!" Akhirnya aku bisa bersuara. Mengeluarkan jeritan dengan lantang. "Ray—yan!" Tangannya terulur hendak menggapai Rayyan yang sempat kubelakangi. Aku bergegas menggendong dan memeluk putraku. Kemudian menggapai tubuh Mas Kaivan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini?Aku belum benar-benar memahami situasi saat sekelebat tubuh bergerak cepat menuju jendela, menggeser dengan cepat daun jendela dan menghilang dari sana. Aku bahkan tidak tahu jika ternyata jendela itu bisa dibuka. Kupikir jendela mati. Sebab itu, aku tak pernah membuka jendela selain tirainya saja. Tangan dingin itu menggemggam jemariku. "Ma–af, Sa–ayang." Aku menggeleng. Air mata sudah tak mampu ditahan lagi. "Sial! Dia kabur!" Suara itu mengejutkanku. "Cepat kejar! Jangan sampai lolos! Panggil ambulans, cepat!" . Entah sejak kapan mereka masuk dan bagaima