Pagi hari, Rayyan baru sampai di kantor dibuat terkejut saat mendapati seseorang menunggu di ruangan kerjanya.Rayyan kemudian mengulas senyum dan menghampiri pria yang duduk di sofa itu."Mas Rendra, tumben pagi-pagi. Apa ada masalah dengan proyek?" tanya Rayyan kemudian duduk di sofa tunggal sambil melepas kancing jasnya.Rendra menggeleng. "Enggak, ini bukan masalah kerjaan," ucap Rendra pelan. Tatapannya sedikit tajam mengunci. "Sebenarnya aku ingin tanya ini tadi malam, tapi gak dapat waktu yang tepat." Rendra menarik napas panjang, lalu menatap lurus. “Beberapa hari lalu, aku lihat kamu sama Aira di mobil.”Hati Rayyan seperti mencelos. Dia kemudian mengangguk dan menyandarkan punggung pada sofa."Ya, Mas Rendra gak salah lihat. Itu memang Aira." Rayyan menunduk. "Aku harap kamu tidak mengecewakan adikku, Ray. Aku gak bisa bayangin gimana patah hatinya Lysandra jika sampai itu terjadi. Dan, yang pasti aku gak akan tinggal diam." Rendra menambahkan. Suara itu menggambarkan sesu
“Ehmmm, Mas Ray … pergi ke … ehmm, ternyata Mas Ray di …” Semua mata memaku pada Lysandra. Waktu seolah melambat, bahkan suara detik jam di dinding terdengar lebih nyaring untuk beberapa saat. Lysandra menarik napas pelan. “Mas Ray … ternyata ketiduran di ruang kerja.” Beberapa saat ruang makan hening. Tak lama kemudian, Rendra tertawa kecil. “Ya ampun Ray, sampai dicari-cari, ternyata cuma ketiduran.” Rendra menepuk bahu sang ipar. Rayyan hanya tersenyum kikuk. Sesekali ia melirik Lysandra yang menunduk sambil sibuk menyendok makanan. Azzam menimpali sambil mengangkat gelas, “Maklum, sekarang kamu ngerasain apa yang Papa rasain. Sibuk ngurus perusahaan, ga cuma di kantor, sampe di rumah masih ngurus kerjaan. Sekali duduk bisa lupa waktu. Belum lagi sampe rumah masih dicurigai istri." Azzam melirik Rahma di sebelahnya. Semua tertawa menyambut cerita Azzam. Tak terkecuali Rayyan, walau sedikit kaku. Rahma mengangguk, ikut tertawa pelan. Suasana mencair. Makan malam
Di meja makan, suasana tampak normal. Rayyan duduk di sebelah Lysandra, dengan Azzam dan Rahma di seberangnya. Obrolan ringan mengisi meja makan—tentang cucu tetangga, kabar sepupu di luar kota, hingga sayur asem buatan Rahma yang katanya makin enak. Rayyan menilai, ada saja cara papa mertuanya memuji sang istri.Ngomong-ngomong sebenarnya mereka belum mulai makan, karena masih ada yang ditunggu. Namun, Azzam sudah mencicipi sayur asam buatan istrinya. “Ini sambelnya buatan Mama dari tampilannya pasti enak banget, ga sabar pengin nyicipnya," ucap Rayyan sambil menatap sambal matah di hadapannya. "Tapi maaf nih, Ma, kayaknya sambel buatan Ly tetap masih nomor satu,” lanjut Rayyan, mencoba mencairkan suasana, kemudian melirik istrinya.Lysandra hanya menunduk sambil menyeruput air putih. Namun, ia tidak pergi. Tidak diam total. Ia tetap menanggapi, walau sekadarnya. Itu sudah cukup untuk menumbuhkan secuil harapan dalam hati Rayyan."Laki-laki di mana pun sama aja. Kalau muji pasti ada
"Oya, tadi pas di parkiran aku mau pulang ke sini, Aira datang lagi." Akhirnya Rayyan memilih jujur.Lysandra merasa jantungnya berdetak lebih kencang. "Aku bahkan gak habis pikir, gimana dulu aku bisa jatuh cinta pada manusia selicik dia?" Rayyan menambahi."Dia ngancam mau nyebarin ke sosmed foto colongan waktu aku dalam pengaruh obat tidur yang dia kasih. Siapa pun yang lihat pasti akan berpikir negatif." Rayyan mulai bercerita. Ada nada kepasrahan di sana. "Aku gak peduli dengan pemikiran orang lain, Ly. Yang paling aku takutkan adalah kamu. Aku takut aku kehilangan kepercayaanmu." Rayyan mengeratkan pelukannya. Detik berikutnya, Rayyan merasakan tangan Lysandra menarik kemeja bagian belakangnya. Namun, itu hanya beberapa detik. Karena setelah itu Lysandra terkesan buru-buru melepas.***Suara spatula beradu dengan panci terdengar dari dapur. Ternyata Azzam tengah sibuk di dapur. Azzam terlihat sedang mengaduk sesuatu di panci."Ternyata Papa demen di dapur juga?" celetuk Rayya
Aira menyandarkan punggung. “Ray, kamu pikir aku muncul cuma karena pengin balikan sama kamu? Aku juga mau buktikan sama kamu, kalau aku bisa lakukan apa pun. Kalau aku gak bisa memiliki kamu, maka tidak akan ada satu wanita pun bisa memilikimu, Ray."Rayyan menggertakkan gigi. “Katakan, Kamu mau apa, Ai? Kamu mau uang? Atau posisi seperti apa?""Kamu pikir aku matre, Ray? Kapan aku pernah menilai sesuatu dengan uang?"Aira menoleh pelan. “Aku mau kamu belajar kehilangan. Karena selama ini, aku yang selalu kehilangan.”Rayyan menatap Aira dengan amarah membuncah. Tapi matanya juga penuh kecemasan. Ia tahu, satu langkah salah dari Aira bisa menghancurkan semuanya. Termasuk kepercayaan Lysandra—yang bahkan belum kembali pulih seutuhnya.Aira kembali menyimpan ponselnya. Lalu membenahi rambut dan kacamata.“Aku gak akan unggah hari ini. Tapi siapa tahu... besok aku lagi iseng.” Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Namun sebelum menutup pintu, ia menoleh lagi.“Oh ya, salam buat i
Pesan Tak BerbalasMalam beranjak dini hari. Ponsel Rayyan bergetar. Telepon dari nama kontak 'Mas Bima'.“Pak Rayyan, saya dan tim sudah cek backup sistem CCTV rumah itu. Termasuk juga cctv mini market dekat jalan tempat Pak Ray hampir menabrak Aira."Rayyan langsung berdiri. “Gimana?”“Untuk cctv di rumah itu, ada satu file dihapus, file yang hilang adalah rekaman pada tanggal malam Pak Ray terjebak di sana. Tapi kami berhasil restore. Kami gak bisa kirim lewat email. Tapi Bapak harus lihat sendiri.”Rayyan mengepalkan tangan. “Saya datang ke kantor pagi-pagi.”“Pak Ray…”“Iya?”“File ini … harus Bapak lihat langsung sekarang.”Rayyan mengangguk meski tahu Mas Bima tak bisa melihatnya. Ia memindahakan sambungan ke telepon video dengan dada berdegup kencang.Kamera berpindah ke layar laptop teknisi.Dalam video yang masih dipause, tampak Aira keluar dari dapur dengan membawa secangkir teh. Sesampai di ruang tamu, Aira berhenti. Dari saku bajunya, ia menarik sesuatu—tak terlihat jelas