Lysandra menyunggingkan senyum kecil. "Mau pinjam bahu Papa buat senderan," ucapnya sambil malu-malu.Alya tidak dapat menahan tawa, begitu pula dengan Kaivan. Namun, itu hanya sesaat karena berikutnya Lysandra sedikit cemberut."Boleh, Sayang. Tapi jangan cemberut gitu, nanti kami bisa kena teror sama Rayyan kalau tahu," ucap Alya kemudian.Alya dan Kaivan saling pandang, saling melempar senyum."Beneran boleh, Ma?" tanya Lysandra meyakinkan. Alya mengangguk. Disambut dengan senyum lebar sang menantu. Lysandra kemudian mulai bersandar di bahu Kaivan seperti anak kecil.Kaivan mengusap puncak kepala menantunya itu. “Kamu manja banget hari ini. Ada apa sih, hm?”Lysandra tersenyum kecil. “Gak tahu, Pa. Rasanya pengin dekat terus sama Papa hari ini. Nyaman aja.”Kaivan tertawa kecil. “Papa senang sih. Tapi Ray bisa cemburu nanti.”Lysandra tertawa pelan. Tapi pipinya mulai menghangat.Ia sendiri tidak tahu kenapa akhir-akhir ini ia sering ingin menangis tanpa sebab. Atau ingin memeluk
Suara wedges Haura menyentuh lantai menggema pelan di dalam ruang pertemuan firma hukum yang didominasi warna abu-abu hangat. Dindingnya penuh rak buku hukum dan lukisan abstrak bertema keseimbangan. Rayyan berjalan di sampingnya, tak banyak bicara, tapi matanya tak pernah benar-benar lepas dari wajah Haura—berusaha membaca kekuatan dan keraguan yang silih berganti.Seorang pria berkemeja putih dengan setelan abu gelap berdiri menyambut mereka. Perawakannya tegap, wajahnya serius, tetapi masih meninggalkan kesan hangat. Umurnya mungkin sekitar empat puluhan.“Selamat siang. Saya Reinaldi Prasetya. Silakan duduk,” katanya sambil menyilakan mereka duduk di kursi kulit hitam yang menghadap meja kayu jati besar di hadapan mereka.Haura duduk terlebih dahulu, merapikan sedikit hijab segi empat panjangnya dengan gugup. Rayyan menyesuaikan posisi duduk di sebelahnya, lalu membuka suara.“Pak Rei, saya sudah menjelaskan ringkas lewat telepon. Hari ini kami harap bisa langsung membicarakan sk
Senja mulai merayap turun, menciptakan paduan warna jingga dan biru yang indah di langit. Rumah besar keluarga Satria yang terletak di sudut jalan utama terlihat semakin menawan dengan lampu taman yang mulai menyala, menyinari setiap sudut halaman yang luas. Di dalam rumah, aroma jahe dan kayu manis dari eksperimen minuman hangat yang sedang disiapkan Lysandra mengisi ruang dapur, menambah hangat suasana rumah itu.Lysandra dan Rayyan baru saja akan naik ke lantai atas dengan jemari saling bertaut. Namun, langkah mereka terhenti. Suara langkah terburu-buru terdengar dari luar. Haura muncul tiba-tiba dari ruang tamu. Dia melangkah terburu-buru. Sementara wajahnya jelas memperlihatkan kecemasan."Haura, ada apa?" tanya Rayyan menghentikan Haura yang hendak naik ke atas.Yang ditanya hanya menggeleng. Kemudian segera naik ke lantai atas tanpa memberi penjelasan apa pun. Beberapa saat kemudian."Haura, tunggu, Haura." Seorang pria dengan stelan kemeja dan celana chino panjang, juga oute
Pesan itu bukan dikirim dalam bentuk chat biasa. Namun, sebuah teks yang ditulis di dalam file dalam bentuk gambar format jpg. Bukan hanya itu, pesan itu dikirim dengan mode sekali lihat. Lysandra belum keluar dari pesan gambar itu. Tangannya masih menggenggam ponsel, tetapi matanya terarah pada Rayyan yang tertidur lelap di sampingnya. Napasnya teratur, satu tangannya masih melingkari pinggang Lysandra seperti tak rela melepas semalam yang indah. Namun, dunia yang terasa hangat itu seolah mulai retak hanya karena satu pesan asing. Sebenarnya Lysandra tidak ingin berpikir macam-macam karena pesan asing itu. Orang seperti suaminya tentu memiliki penggemar. Jadi, bisa saja itu adalah salah satu penggemar Rayyan yang tidak rela idolanya menikah. Namun, bagaimana dia bisa mendapatkan contact person Lysandra?Lysandra menarik napas pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif. Ia menyentuh layar ponsel, menatap isi pesan itu sekali lagi.>>> [Hai, istri sah. Kalau kamu pikir dia suda
Rayyan mendorong daun pintu kamar perlahan agar tak menciptakan suara yang menggaggu istrinya jika mungkin sudah tertidur. Rayyan disambut dengan cahaya hangat lampu tidur menyala temaram. Juga aroma lavender dari diffuser menyambutnya dengan lembut. Ternyata Lysandra belum tidur. Ia duduk di ujung ranjang, mengenakan piyama satin panjang berwarna biru pucat. Rambutnya diikat sederhana, tetapi tetap terlihat anggun. Juga memesona di mata Rayyan. Wanita itu sedang membalik halaman buku, tapi Rayyan tahu matanya tidak benar-benar membaca. Lysandra mendongak, menatap Rayyan yang baru masuk. “Mas udah selesai?” Rayyan mengangguk sambil melepaskan jam tangan dan menyimpannya di laci samping tempat tidur. Ia tak langsung bicara. Hanya mengambil posisi duduk di samping Lysandra lalu menunduk sejenak. Pria itu seperti sedang mencari cara paling baik untuk membuka pembicaraan. “Kamu tahu gak, Sayang, akhirnya Haura jujur,” gumamnya akhirnya. Lysandra menutup bukunya. “Mbak Haura
"Haura, masih belum maafin Papa?" tanya Kaivan seketika saat makan malam. Di matanya Haura-nya terlihat sangat berbeda? Wanita itu lebih banyak diam, bahkan lebih banyak melamun. Haura yang biasanya tak berhenti bicara, sekarang berbanding terbalik menjadi Haura yang hobi merenung.Haura menoleh menatap Kaivan. Ia memelankan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan. Dia mengulas senyum tipis sesaat. Lalu menggeleng. "Haura cuma kecewa aja kemarin, Pa. Sekarang udah gak lagi. Lagian Bunda udah tenang sekarang." Haura kembali menyuap makanannya sedikit—seujung sendok. Sementara menu makan malam di piringnya belum berkurang separuh. "Oya, Sayang. Kamu pulang hanya berdua? Rama kapan nyusul?" Kali ini Alya menyeletuk.Haura tercenung sesaat. Seperti terkejut mendapat pertanyaan itu."Emmm, Mas Rama lagi sibuk, Ma. Jadi, kemungkinan gak bisa nyusul." Haura menjawab lirih, tanpa menatap lawan bicara. Usai makan malam, udara atmosfer mulai berubah menjadi dingin setelah diguyur hujan be
Alya kemudian menggandeng putri Haura meninggalkan kamar. Membiarkan Rayyan bersama Lysandra. Memberi kesempatan pada mereka untuk kembali merajut keterbukaan yang sempat kusut. Lysandra mulai melangkah mendekat pada sang suami dengan langkah sedikit ragu. Tanpa suara. Dia kemudian duduk di samping sang suami—mengantikan posisi Alya tadi.“Mas,” sapa Lysandra pelan dan hati. Dia menyentuh lengan dan menggantinya. Dia kemudian menyandarkan kepala di lengan kekar itu.Rayyan terkesiap dan menoleh menatap tepat pada sang istri. Seakan memang baru menyadari kehadiran Lysandra di sana. Ia kemukakan memutar ruangan, tetapi tak menemukan siapa pun kecuali Lysandra.Rayyan kemudian memutar tubuh, menghadap pada Lysandra—melepas gamitan Lysandra. Lalu menariknya dalam genggaman. Selarik senyum ia hadirkan, mengandung kelegaan di sana."Kamu gak apa-apa, Mas?" tanya Lysandra lirih. Ia menyentuh wajah pria itu, seakan memastikan jika tidak ada yang kurang dari sana."Gak apa-apa, Sayang. Maaf,
Haura menghela napas dalam, kemudian mengalihkan pandangan ke lantai. Berharap bisa membuang kekecewaan di sana. Di tangan kanannya ia menggandeng seorang gadis kecil dengan rambut ikal sebahu dan mata bulat jenaka—persis Haura kecil. Anak itu berdiri terpaku, seperti tahu jika ada ketegangan di ruangan itu.Kaivan bangkit dari sofa tanpa suara. Langkahnya pelan, seolah takut pergerakannya akan memecahkan sesuatu yang rapuh. Hatinya seperti diremas. Wajah Haura tak menunjukkan kemarahan, tetapi jauh lebih menyakitkan dari itu. Yaitu kecewa."Haura, Sayang. Kamu pulang, Nak?"Suaranya parau. Kaivan berjalan semakin dekat dan tanpa ragu merentangkan lengannya, merengkuh tubuh putrinya ke dalam pelukan yang sejak lama ia rindukan.Namun, Haura hanya diam. Tak membalas. Tubuhnya kaku dalam rengkuhan itu.Anak kecil di sampingnya menatap dengan bingung.“Sayang ... kamu nggak marah sama Papa, kan?” bisik Kaivan, suaranya nyaris hancur. Itu sebenarnya bukan hanya pertanyaan, tetapi juga ha
Sampai di pintu, Alya dan Kaivan datang dengan wajah tak kalah cemas. "Ada apa, Ly?“Lysandra tidak menjawab. Dia hanya menggelang. Kelopak matanya sudah terlanjur basah.Alya dan Kaivan masuk ke dalam kamar mereka, langsung menuju balkon.Tampak Rayyan terduduk di lantai. Punggungnya bersandar pada pagar pembatas balkon. Mata yang sedikit merah menatap kosong ke lantai. Wajahnya masih basah oleh keringat. Bahunya naik turun mengatur napas yang terasa sesak.Alya menyisir seluruh balkon dengan matanya. Apel hijau yang tadi diberikan pada Lysandra tergeletak di dekat kaki Rayyan. Kaivan melakukan hal yang sama. Tak butuh waktu yang lama benda runcing dan tajam itu bisa mereka temukan. Alya memberikan benda itu pada Kaivan. "Aku lihat Rayyan dulu, Mas tolong ke Lysandra. Dia pasti salah paham." Alya berucap lirih. Kaivan mengangguk, menyentuh bahu sang istri kemudian beranjak keluar dari kamar. Sementara Alya bergegas menghampiri Rayyan, menyentuh bahunya, kemudian memberi pelukan