Share

2. Serangan Jantung

last update Last Updated: 2024-08-04 20:04:37

"Dhuha, bangun! Opa kamu datang tuh!"

"Ya ampun, Ma, Du baru aja tidur. Masa udah harus bangun lagi. Du ada meeting siang, jadi.... "

"Bangun, Opa perlu bicara!" Aku pun langsung melompat begitu mendengar suara ayah dari pihak papaku yang aku panggil opa. Mata ini langsung segar, apalagi Opa Fauzi sudah duduk di depanku.

"Maria, bawakan Papa pisang rebus di bawah."

"Baik, Pa." Mama pun keluar dari kamar. Tinggal aku berdua opa saja. Tumben sekali opaku masih jam tujuh pagi sudah ada di rumahku.

"Kamu ada masalah apa sama Monic?" aku mengernyit.

"Oh, Monic, terlalu lebay, Pa. Jajannya banyak. Baru sekali jalan, udah minta dibelikan emas. Memangnya saya juragan?"

"Baru sekali, coba lagi. Siapa tahu dia berubah." Opaku masih berusaha membujuk.

"Kesan pertama itu sangat membekas, Pa. Baru satu kali ketemu udah kapok."

"Tapi Opa udah janji mau jodohkan kamu dengan Monic. Begini, perusahaan akan bisa berkembang jika kamu menikahi Monic. Papa Monic dan almarhum papa kamu udah menjodohkan kamu dengan Monic, bahkan sejak kamu SD. Sebelum papa kamu meninggal, papa kamu berpesan.... "

"Pa, Dhuha udah nikah."

"Hah, apa?!" Opa Fauzi berdiri dengan wajah terkejutnya. Suaranya menggelegar hingga membuat nyali ini sedikit ciut.

"Dhuha udah nikah, Pa. Jadi, jangan jodohkan Dhuha dengan Monic!"

"Ada apa ini, Pa? Dhuha, kamu bicara apa dengan opa? Pa, Papa!" Opa memegang dadanya dan jatuh duduk di kursi. Aku dan mama panik, hingga melarikan opa ke rumah sakit.

Opa mendapatkan pertolongan pertama. Adik papaku, termasuk Hakim pun ikut menyusul ke rumah sakit. Papaku tiga bersaudara dan beliau anak pertama. Namun, dua tahun lalu papa meninggal karena serangan jantung. Anak kedua adalah Om Reno, papa dari Hakim, lalu Tante Nola, adik bungsu papa yang semua anaknya sekolah di luar negeri.

"Apa yang terjadi, Mbak?" tanya tante Nola pada mamaku.

"Gak tahu, No. Orang tadi waktu ke rumah, papa baik-baik aja. Terus papa bicara pada ini nih, cucu sulung yang hobi banget pulang malam bukan karena kerja, tapi nongkrong! Tiba-tiba papa pingsan."

"Ya ampun, Dhu, kamu bilang apa sama opa? Tanggung jawab loh, Dhu. Kamu tuh cucu lelaki pertama dari anak lelaki pertama, kenapa sih, sering banget bikin masalah?" tante Nola mendelik padaku.

"Kalian kenapa berisik? Udah tahu orang lagi sakit!" Kami semua menoleh saat mendengar suara opa.

"Pa, Papa udah enakan?" tanya mamaku.

"Dhuha, kamu udah nikah? Kamu gak bohong kan? Kamu jangan bohong sama Opa!"

"Apa, Dhuha udah nikah? Nggak mungkin, Pa. Ini anak pasti ngarang!" Mama melotot ke arahku. Mama bahkan mengguncang bahu ini dan terus menatapku meminta penjelasan.

"Udah nikah, Mami. Semalam." Hakim bersuara dari arah pintu kamar.

"Kamu udah nikah sama siapa, Dhuha? Marisa? Monic, Prilly?" tanya mamaku setelah syoknya reda. Aku dikelilingi oleh saudara, ada delapan orang berkumpul di ruangan perawatan VVIP tempat opa masih terbaring lemas.

"Kamu nikah semalam sama siapa, Dhuha? Kamu jangan bikin Mama ikut kena serangan jantung."

"Ma, Dhuha emang udah nikah, namanya... mm.. itu Aini."

"Aini? Apa pekerjaan orang tuanya? Apa Mama atau opa kamu kenal? Apa nama perusahaannya?" aku menggaruk rambut yang tidak gatal. Apa yang harus aku jawab? Gak mungkin aku bilang dia janda dan gelandangan. Mungkin kalau hanya janda saja, tapi anak pemilik perusahaan, opa dan mama akan terima saja. Bukan gelandangan.

"Dhuha, keluarga wanita itu siapa? Apa sesama... "

"Orang biasa, Opa. Orang sederhana aja."

"Oh, begitu, baik, Opa akan anggap serius ucapan kamu ini, jika kamu bisa bawa istri kamu ke sini. Jika tidak, Opa akan anggap ucapan kamu omong kosong dan kamu akan tetap Opa nikahkan dengan Monic!"

"Iya nanti Dhuha kenalkan ke Mama dan Opa. Biar Opa sehat dulu ya."

"Sekarang aja. Opa dan semua saudara kamu yang ada di sini menunggu kamu. Bawa sekarang ke sini! Jemput dia di kantornya atau di kampusnya jika dia masih mahasiswa." Hakim yang berdiri di sudut ruangan sejak tadi menahan tawa.

"Dhuha, masih bengong aja! Cepet susulin istri kamu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (11)
goodnovel comment avatar
Aminah Adjaa
nyiiiiiiiiiiiiimaaaak
goodnovel comment avatar
Niza Deniza
ku suka dn penasaran
goodnovel comment avatar
Suwaryo Aryo
smg jd berkah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   326. Buah Kesabaran

    Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   325. Kejutan dari Ria

    Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   324. Ucapan Maria

    Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   323. Bertemu Izzam dan Intan

    Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   322. Berdamai dengan Takdir

    Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m

  • Malam Pertama dengan Janda Anak 2   321. Bertemu Alex

    Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status