"Lu kenapa gak belain gue tadi?" tanyaku kesal pada Hakim yang sejak kami keluar dari kamar perawatan opa, terus saja tertawa cekikan.
"Gue gak mau kena omel opa. Mana berani gue ikut campur." Aku menghela napas kesal mendengar alasannya. "Gue aja berasa kayak mimpi kalau lu udah nikah beneran." "Itu bukan nikah beneran namanya. Buset, gue gak tahu kayak apa nanti opa, mama, dan yang lainnya kalau tahu wanita itu gelandangan dan janda! Anaknya dua pula. Duh, nasibku.... " Hakim menyalakan mesin mobil. "Pikirkan nanti saja yang penting sekarang, kita jemput dulu istri lu ha ha ha.... " aku meninju lengan Hakim yang sudah siap memutar stir. Sepanjang jalan, aku gak tahu mau bicara apa karena aku pun bingung. Alasan apa nanti yang aku ucapkan pada mama, opa, dan yang lainnya. Keluargaku adalah keluarga terpandang. Bahkan opa sudah menyiapkan simpanan warisan yang bisa digunakan sampai anak dan cucu tujuh turunan. Asalkan, semua anak cucunya bisa mengelola usaha dengan baik. "Bilang aja kalau mbak Aini itu istri temen lu. Terus lu yang gantiin suaminya untuk nikahin dia. Opa kan agak-agak religius. Kalau alasannya menikahi janda yang ditinggal meninggal suami dan lu ngurusin anak yatim, gue yakin opa sih akan memaklumi keputusan lu." "Opa itu kayaknya temenan deket banget sama Malaikat lo tahu gak, sampe temen-temen gue aja dia tahu. Kalau gue bilang cewek itu janda temen gue, nanti opa cari tahu siapa nama temen gue itu dan bener apa nggak. Udahlah, gue mau kasih alasan kalau gue cinta sama mbak Aini. Gitu aja. Jatuh cinta pada pandangan pertama di kamar mandi masjid ha ha ha ha.... " "Jauh juga ya. Gue baru sadar." "Jauh dan macet. Cuma kalau siang begini, bisa gak parkir mobil di flyover. Kayaknya gak bisa," kataku pada Hakim. "Kita parkir di ruko-ruko itu aja deh!" Hakim pun menepikan mobil di parkiran ruko kosong. Kami. Harus berjalan kurang lebih tiga ratus meter karena memang gak mungkin mobil berhenti di flyover gitu. "Lo yakin di sini?" tanyaku pada Hakim saat menyusuri bawah flyover. Aku sampai harus memencet hidung dengan tanganku karena aromanya sangat busuk. Perutku mual dan berada ingin muntah. "Kuat banget bini lu tinggal di sini," komentar Hakim sambil terus menuntun langkah kami menuju tempat tinggal mbak Aini yang berada di bawah kolong flyover. "Itu kali ya!" Aku menunjuk gubuk yang terbuat dari bambu dan juga terpal. Sungguh memprihatinkan. Kasihan sekali. "Permisi, mbak Aini! Permisi!" Bukannya mbak Aini yang keluar, tetapi anak kecil mungkin berusia empat tahun. Rumahnya seperti bilik dari kardus, terpal, serta beberapa buah bambu panjang. "Halo, adek, ibunya ada?" "Om siapa?" tanyanya tanpa berkedip. "Saya Om Dhuha. Ini Om Hakim." "Bukan, ini ayah Dhuha dan saya Om Hakim." Hakim menginterupsi. Aku menoleh dengan kesal. Bisa-bisanya ambil kesempatan dalam keadaan terdesak seperti ini. "Ayah?" anak kecil itu menggaruk kepalanya. "Ayah aku udah pergi." "Ya udah, gak papa. Ibunya ada, Dek? Ibu Aini." Anak kecil itu menggelengkan kepala. "Ibu kerja mulung. Tapi nanti pulang bawain makan aku dan adek Intan." "Lu mau nunggu di sini apa di mobil?" tanya Hakim. "Di mobil aja. Gue rasanya begitu dekat dengan maut kalau tetap di sini lebih dari lima belas menit." "Ya udah, Om nanti balik lagi. Bilang sama ibu ya. Suaminya yang baru lagi nunggu di ruko depan indongaret." Anak kecil itu mengangguk, lalu bergegas masuk karena mendengar suara tangisan adiknya. Kami pun kembali menunggu di mobil. "Jangan lama-lama. Opa udah gak sabar mau lihat istri kamu. Ish, Mama tadi harusnya ikut." Aku membaca pesan dari mama dengan hati nelangsa. Wanita yang melahirkanku itu pasti sangat kecewa karena aku menikah dengan gelandangan. Tok! Tok! Aku dan Hakim terlonjak kaget saat kaca mobil diketuk oleh seseorang. Ya, wanita itu ternyata yang ada di luar sana. Aku segera membuka pintu mobil. "Masnya nyari saya? Mas yang semalam kan? S-suami saya," tanyanya dengan gugup. Aku menelan ludah melihat penampilan dan aromanya yang sangat tak sedap. Wajahnya belepotan dan kotor lah pokoknya. "Saya mau jelasin di sini agak ribet. Kita pergi ke tempat lain. Ada yang mau saya katakan. Bawa aja anak-anaknya. Kasihan kalau ditinggal." "Ada apa, Mas?" tanyanya bingung. "Udah, ikut aja! Cepat!" "Oh, i-iya, saya jemput anak-anak dulu." Wanita itu berlari meninggalkan aku dan Hakim. Aku membuka bagasi mobil lalu mengeluarkan sarung jok terbuat dari bahan waterproof. Aku gak mau nanti, jok mobil mewahku bau dan kotor. "Segitunya ampe dialasin!" "Dari pada gue pingsan kebauan dan mobil gue bau dan kotor, mending gue alasin. Udah, lu jangan komen mulu, Kim. Pikirin nasib gue dong nih!" Hakim terbahak. Aku terus menggerutu sampai akhirnya wanita itu menyusul dengan dua buah hatinya. "Naik di belakang!" Kataku tegas. "I-iya, Mas." Aini dan putra-putrinya masuk ke dalam mobilku. Sudah bisa aku tebak, aromanya bikin aku mau muntah. "Kim, kita mampir ke mall yang deket sini aja. Beli pakaian untuk mereka." "Oh, oke, Bos." "Ibu, kita mau ke mana? Naik mobil seru ya, Bu. Makasih ayah." aku sontak menoleh kebelakang. "Acie... ayah Dhuha!" Hakim tertawa terpingkal-pingkal.Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal