Share

4

Raras baru saja berniat mengunci mobilnya ketika suara ayahnya menggelegar, laki-laki yang masih tampak kuat dan muda di usianya yang bahkan sudah enam puluh tahun. Raras hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan kepada ayahnya.

"Apa yang dilakukan seorang Putri bangsawan di tengah malam begini?" Mata ayah Raras menyipit melihat keadaan mobil yang lampu depannya pecah. Penampilan Raras sudah tidak karuan, rambut berantakan dan pakaian yang sangat dibenci oleh ayahnya.

"Maaf, Ayah," jawab Raras, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat tidurnya.

"Ayah tunggu di ruang kerja Ayah," jawab ayahnya dingin, Raras sudah hafal sekali, jika dia disuruh masuk ke ruang kerja, maka sesuatu yang sangat serius akan disampaikan ayahnya malam ini. Raras tidak lagi peduli.

Dengan gontai dia mengikuti ayahnya dari belakang, sesaat dia kaget saat ibunya muncul tiba-tiba dan menarik tangannya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan hari ini? Bahkan keluarga besar Divo datang ke rumah mencarimu, tapi kau malah melarikan diri."

Raras mengembuskan nafas lelah.

"Ibu mau mengintrogasiku juga? Ikut saja ke ruang kerja ayah, supaya aku bisa menjawab satu persatu." Raras pergi meninggalkan ibunya, wanita paruh baya itu hanya mendesis jengkel.

Raras berhenti sejenak di depan pintu yang dibuat dari kayu jati berkualitas dengan ukiran cantik dan klasik. Mengetuk pintu berlahan sampai mendengar ayahnya mempersilahkan dia masuk.

Raras duduk di depan ayahnya, menutup pahanya yang terbuka dengan jaket kulit yang dibawanya, ayahnya tak sedikit pun menampakkan wajah bersahabat.

Raras mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ayahnya masih sibuk dengan buku di tangannya, kaca mata dan cerutunya mengepulkan asap.

Raras berdehem, kenapa sang ayah mengulur waktu, dia benat benar lelah.

"Kau tau apa salahmu?" Akhirnya introgasi itu dimulai juga.

"Iya, Ayah," jawab Raras lesu.

"Apa kau tidak bisa dididik dengan lemah lembut, apa aku harus menggunakan kekerasan untuk mengajarimu?" Ayahnya tiba-tiba memukul meja, membuat gelas kopinya tersenggol dan jatuh berderai  di lantai.

Raras memejamkan mata ketika suara ayahnya mulai meninggi, dia berusaha tidak melawan, selalu seperti ini.

"Hari ini kau mencoreng wajah keluarga kita dengan ketidak hadiranmu di acara sakral antar keluarga."

Raras menguasai diri, berusaha untuk tetap menundukkan wajah.

"Aku ingin membatalkan pernikahan ini," tegas Raras.

"Lelucon apa lagi ini?" Ayah Raras menatap tajam putrinya.

"Aku tidak akan menikahi pria yang bahkan menghamili sekretarisnya sendiri." Raras mengangkat wajahnya, menantang mata ayahnya dengan berani.

"Dari mana kau tau?" selidik ayah Raras.

"Sekretarisnya yang mengatakan langsung padaku, Ayah."

Ayah Raras terdiam, dia tidak terlihat kaget, mungkin ayahnya sudah tau kasus ini.

"Kau akan tetap menikah dengannya, sisanya biar ayah yang mengurus," tegas ayahnya.

Raras bangkit, tidak mempedulikan sopan santun yang membuatnya muak.

"Kenapa? Kenapa Ayah tidak adil padaku, kenapa kalian selalu memaksakan kehendak padaku?"

"Jangan tinggikan suaramu! di sini bukan pasar."

"Bahkan kakak saja belum menikah, dia boleh memilih laki-laki yang disukainya, sedangkan aku?"

"Dia bisa menilai laki-laki yang pantas untuk keluarga kita, tidak sepertimu."

Ayah Raras mulai tidak sabar, Raras lelah, dia tidak akan pernah menang melawan ayahnya yang terlalu menampakkan kasih sayangnya pada kakaknya.

"Aku takkan menikah dengannya, aku akan menikah dengan orang lain."

"Apa maksudmu?" Ayah Raras terkejut.

"Bahkan ayah tidak menanyakan apakah aku baik-baik saja, bahkan ayah tidak mau tau musibah berat apa yang aku lalui hari ini." Raras merosot, menangis tanpa suara.

Ayahnya terdiam, mengatupkan rahangnya dengan erat. Membiarkan Raras yang menangisi dirinya.

"Aku menabrak orang, ibunya tewas dan anaknya patah, aku sudah berjanji akan menikahi anaknya sebagai penebus rasa bersalahku, bahkan tak ada satu pun orang di rumah ini yang mau tau tentangku."

Raras bangkit, mengusap kasar air matanya.

"Dari dulu aku menyadari, tidak ada tempat bagiku di rumah ini."

"Raras!" bentak ayahnya.

Raras berhenti di tempat, menoleh ke belakang memperhatikan wajah ayahnya yang geram.

"Besok setelah subuh, kita perlu bicara."

******

Raras baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, dia berniat merebahkan tubuhnya saat wanita cantik bernama Andini sudah masuk ke dalam kamarnya tanpa diketahuinya. Wanita lemah lembut yang sangat dibanggakan keluarganya, wajah cantik dan otak cerdas, komplit jika saja orang tidak tau siapa wanita ini sebenarnya.

"Bertengkar lagi dengan ayah?" Suara lembut Andini mengalun merdu, satu hal yang tidak dimiliki Raras.

"Tidak," jawab Raras acuh, dia tidak begitu akrab dengan Andini, mereka memiliki sifat yang bertolak belakang.

"Seharusnya kau mengikuti apa yang Ayah mau," lanjut Andini. Raras mendesah lelah, menatap kakaknya bosan.

"Aku sudah kenyang dengan berbagai ceramah, jangan tambah lagi, Kak, kau akan membuatku muntah."

Andini diam

"Berhentilah membangkang, Raras, kita tidak sama dengan orang biasa, setiap gerak-gerik kita akan di konsumsi publik."

"Kak, ini sudah tengah malam, aku mau tidur, simpan nasehatmu untuk besok." Raras merebahkan dirinya dan membelakangi Andini.

"Kenapa kau membenciku, Raras?"

"Aku tidak membencimu, aku tidak suka terlalu dikekang, berhentilah bersikap seolah-olah kau sayang padaku, karena aku bukan gadis bodoh yang bisa kakak bohongi dengan tampang polos kakak."

Andini mengepalkan tangannya.

"Kau mungkin sedang mabuk, bicaramu melantur." Andini berjalan anggun, tapi suara geraman Raras menghentikannya.

"Aku tidak sehina itu sampai meminum alkohol, buka topengmu,  Kak! aku bahkan memiliki fotomu dengan seorang laki-laki di kamar hotel."

Andini memucat, baru saja dia membuka mulut, Raras melanjutkan.

"Berhenti bermain-main denganku, kalau kau tak ingin foto itu sampai ke tangan ayah. Sekarang keluar, aku tidak mengundangmu ke sini."

Andini memegang dinding, kakinya gemetar, darimana foto itu didapatkan Raras. Dia takkan membiarkannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status