Raras baru saja berniat mengunci mobilnya ketika suara ayahnya menggelegar, laki-laki yang masih tampak kuat dan muda di usianya yang bahkan sudah enam puluh tahun. Raras hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan kepada ayahnya.
"Apa yang dilakukan seorang Putri bangsawan di tengah malam begini?" Mata ayah Raras menyipit melihat keadaan mobil yang lampu depannya pecah. Penampilan Raras sudah tidak karuan, rambut berantakan dan pakaian yang sangat dibenci oleh ayahnya."Maaf, Ayah," jawab Raras, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat tidurnya."Ayah tunggu di ruang kerja Ayah," jawab ayahnya dingin, Raras sudah hafal sekali, jika dia disuruh masuk ke ruang kerja, maka sesuatu yang sangat serius akan disampaikan ayahnya malam ini. Raras tidak lagi peduli.Dengan gontai dia mengikuti ayahnya dari belakang, sesaat dia kaget saat ibunya muncul tiba-tiba dan menarik tangannya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan hari ini? Bahkan keluarga besar Divo datang ke rumah mencarimu, tapi kau malah melarikan diri."Raras mengembuskan nafas lelah."Ibu mau mengintrogasiku juga? Ikut saja ke ruang kerja ayah, supaya aku bisa menjawab satu persatu." Raras pergi meninggalkan ibunya, wanita paruh baya itu hanya mendesis jengkel.Raras berhenti sejenak di depan pintu yang dibuat dari kayu jati berkualitas dengan ukiran cantik dan klasik. Mengetuk pintu berlahan sampai mendengar ayahnya mempersilahkan dia masuk.Raras duduk di depan ayahnya, menutup pahanya yang terbuka dengan jaket kulit yang dibawanya, ayahnya tak sedikit pun menampakkan wajah bersahabat.Raras mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ayahnya masih sibuk dengan buku di tangannya, kaca mata dan cerutunya mengepulkan asap.Raras berdehem, kenapa sang ayah mengulur waktu, dia benat benar lelah."Kau tau apa salahmu?" Akhirnya introgasi itu dimulai juga."Iya, Ayah," jawab Raras lesu."Apa kau tidak bisa dididik dengan lemah lembut, apa aku harus menggunakan kekerasan untuk mengajarimu?" Ayahnya tiba-tiba memukul meja, membuat gelas kopinya tersenggol dan jatuh berderai di lantai.Raras memejamkan mata ketika suara ayahnya mulai meninggi, dia berusaha tidak melawan, selalu seperti ini."Hari ini kau mencoreng wajah keluarga kita dengan ketidak hadiranmu di acara sakral antar keluarga."Raras menguasai diri, berusaha untuk tetap menundukkan wajah."Aku ingin membatalkan pernikahan ini," tegas Raras."Lelucon apa lagi ini?" Ayah Raras menatap tajam putrinya."Aku tidak akan menikahi pria yang bahkan menghamili sekretarisnya sendiri." Raras mengangkat wajahnya, menantang mata ayahnya dengan berani."Dari mana kau tau?" selidik ayah Raras."Sekretarisnya yang mengatakan langsung padaku, Ayah."Ayah Raras terdiam, dia tidak terlihat kaget, mungkin ayahnya sudah tau kasus ini."Kau akan tetap menikah dengannya, sisanya biar ayah yang mengurus," tegas ayahnya.Raras bangkit, tidak mempedulikan sopan santun yang membuatnya muak."Kenapa? Kenapa Ayah tidak adil padaku, kenapa kalian selalu memaksakan kehendak padaku?""Jangan tinggikan suaramu! di sini bukan pasar.""Bahkan kakak saja belum menikah, dia boleh memilih laki-laki yang disukainya, sedangkan aku?""Dia bisa menilai laki-laki yang pantas untuk keluarga kita, tidak sepertimu."Ayah Raras mulai tidak sabar, Raras lelah, dia tidak akan pernah menang melawan ayahnya yang terlalu menampakkan kasih sayangnya pada kakaknya."Aku takkan menikah dengannya, aku akan menikah dengan orang lain.""Apa maksudmu?" Ayah Raras terkejut."Bahkan ayah tidak menanyakan apakah aku baik-baik saja, bahkan ayah tidak mau tau musibah berat apa yang aku lalui hari ini." Raras merosot, menangis tanpa suara.Ayahnya terdiam, mengatupkan rahangnya dengan erat. Membiarkan Raras yang menangisi dirinya."Aku menabrak orang, ibunya tewas dan anaknya patah, aku sudah berjanji akan menikahi anaknya sebagai penebus rasa bersalahku, bahkan tak ada satu pun orang di rumah ini yang mau tau tentangku."Raras bangkit, mengusap kasar air matanya."Dari dulu aku menyadari, tidak ada tempat bagiku di rumah ini.""Raras!" bentak ayahnya.Raras berhenti di tempat, menoleh ke belakang memperhatikan wajah ayahnya yang geram."Besok setelah subuh, kita perlu bicara."******Raras baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, dia berniat merebahkan tubuhnya saat wanita cantik bernama Andini sudah masuk ke dalam kamarnya tanpa diketahuinya. Wanita lemah lembut yang sangat dibanggakan keluarganya, wajah cantik dan otak cerdas, komplit jika saja orang tidak tau siapa wanita ini sebenarnya."Bertengkar lagi dengan ayah?" Suara lembut Andini mengalun merdu, satu hal yang tidak dimiliki Raras."Tidak," jawab Raras acuh, dia tidak begitu akrab dengan Andini, mereka memiliki sifat yang bertolak belakang."Seharusnya kau mengikuti apa yang Ayah mau," lanjut Andini. Raras mendesah lelah, menatap kakaknya bosan."Aku sudah kenyang dengan berbagai ceramah, jangan tambah lagi, Kak, kau akan membuatku muntah."Andini diam"Berhentilah membangkang, Raras, kita tidak sama dengan orang biasa, setiap gerak-gerik kita akan di konsumsi publik.""Kak, ini sudah tengah malam, aku mau tidur, simpan nasehatmu untuk besok." Raras merebahkan dirinya dan membelakangi Andini."Kenapa kau membenciku, Raras?""Aku tidak membencimu, aku tidak suka terlalu dikekang, berhentilah bersikap seolah-olah kau sayang padaku, karena aku bukan gadis bodoh yang bisa kakak bohongi dengan tampang polos kakak."Andini mengepalkan tangannya."Kau mungkin sedang mabuk, bicaramu melantur." Andini berjalan anggun, tapi suara geraman Raras menghentikannya."Aku tidak sehina itu sampai meminum alkohol, buka topengmu, Kak! aku bahkan memiliki fotomu dengan seorang laki-laki di kamar hotel."Andini memucat, baru saja dia membuka mulut, Raras melanjutkan."Berhenti bermain-main denganku, kalau kau tak ingin foto itu sampai ke tangan ayah. Sekarang keluar, aku tidak mengundangmu ke sini."Andini memegang dinding, kakinya gemetar, darimana foto itu didapatkan Raras. Dia takkan membiarkannya.Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu."Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah.""Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa.""Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku me
Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat menggangg
Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Wisnu mengatupkan rahangnya, dia tidak bisa menghentikan orang yang mengaku disuruh mengantar semua barang ke rumahnya, Aryo dan Yono melirik wajah sang Kakak sulung. Mereka tidak berani bicara lebih banyak. Mira yang tampak bahagia dan menyuruh petugas pengantar barang memasukkan perabot itu satu persatu, termasuk satu ranjang untuk kamar Wisnu, dan satu ranjang lagi untuk kamarnya dan Nela, Wisnu diam saja melihat adiknya itu berjingkrak kegirangan.Aryo dan Yono saling tatap meminta tanggapan, keduanya langsung pamit kepada Wisnu dengan alasan ada latihan bola yang harus diikuti. Wisnu cuma memberi isyarat dengan matanya, kemudian mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam kamar.*******Raras sampai jam delapan malam, dia sempat mengawasi butiknya terlebih dahulu, Raras baru saja mengucapkan salam ketika Mira langsung berlari padanya."Mbak, Abang dari tadi tidak mau bicara, sepertinya Abang marah karena barang-barang ini." Mira memperlihatkan wajah cemas.Raras kemudian tersenyum, me
Agenda hari ini, membawa Wisnu kerumah sakit untuk pemeriksaan berkala, sejauh ini Wisnu tidak mengeluhkan apapun, dia tipe laki laki yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya, sedapat mungkin dia melakukan semuanya sendiri, mulai dari mandi sendiri, berpakaian dan aktifitas lainnya.Raras memilah baju apa yang akan dipakai Wisnu, tapi tidak ada baju yang dikatakan layak, rata rata adalah kaos oblong yang warnanya sudah pudar, dan jins lusuh yang tak kalah pudarnya.Raras mencoba mencari lagi dengan teliti, akhirnya dia menemukan kemeja kotak kotak yang lebih baik daripada baju sebelumnya, walaupun model dan motifnya sangat ketinggalan jaman, tapi setidaknya ini lebih enak untuk dilihat.Wisnu masuk mengayuh kursi rodanya, handuk putih terlilit berantakan di pinggulnya, Raras tidak mengerti dengan jalan pikiran Wisnu, bahkan dia menolak adiknya sendiri yang berniat membantu memandikannya."Hanya ini yang kutemukan," kata Raras menunjuk ranjang, kemeja kotak kotak dan celana jins hi
Raras dan Wisnu duduk di kursi antrian, Raras menilai Wisnu adalah laki laki pendiam dan tidak akan bicara kalau tidak dimulai duluan, dari tadi dia hanya menundukkan wajah, mungkin dia malu dengan kejadian tadi sebelum berangkat, Raras sendiri berusaha keras melupakannya, tapi semakin dilupakan malah semakin teringat lebih jelas."Berapa umurmu?" tanya Raras memecah kebisuan di antara mereka."Dua puluh tujuh," jawab Wisnu. Ternyata dia masih muda."Benarkah? Berarti kita seumuran, bulan berapa kau lahir?""Bulan Agustus.""Oh, Ternyata aku lebih tua tujuh bulan darimu." Raras tidak menyangka ini."Iya," jawab Wisnu, dia tidak memperhatikan lawan bicaranya, memang pemuda desa yang sangat lugu. Andai saja dia dipermak sedikit di salon, pasti dia terlihat lebih tampan, begitu pikir Raras."Ayahmu?""Beliau sudah meninggal tiga belas tahun yang lalu.""Maaf." "Tidak apa-apa, sudah sangat lama," jawab Wisnu."Hmmm, kau tidak punya kekasih?" Raras penasaran."Tidak, wanita lebih memilih