Share

3

Wisnu melakukan serangkaian tes sebelum operasi, proses itu memakan waktu satu jam lebih. Tak ada ekspresi dari wajahnya, dia dingin dan tak terbaca. Dia tidak mengatakan apapun saat Raras memberinya kekuatan bahwa semua akan berjalan lancar. Wisnu lebih banyak diam mengatupkan mulutnya dengan mata kosong.

Beberapa jam berlalu, operasi pemasangan Pen berhasil dilakukan, tulang yang patah adalah tulang bagian betis, sedangkan tulang dibagian paha tidak mengalami cidera. Raras memijit kepalanya berulang kali, kepalanya terasa sakit dan perutnya yang melilit perih.

"Maaf, Mbak, pasien atas nama Bu Parmi sudah sadar," kata seorang perawat kepada Raras. Raras membalikkan badan, mengangguk dan mengikuti perawat dari belakang.

*******

Raras merosot kelantai, cobaan bertubi-tubi menyerangnya. Dia hanya ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya di alam bebas, menikmati kesendirian tanpa gangguan siapapun.

Apakah Raras harus melakukannya? Dia sudah berjanji pada Bu Parmi, dia sudah mengatas namakan Tuhan dalam janjinya, jika yang diminta Bu Parmi Raras membiayai keluarga yang ditinggalkan Bu Parmi seumur hidupnya, maka dia tidak akan sepanik ini. Tapi bukan itu yang diminta bu Parmi, permintaan yang bahkan tidak pernah hadir dalam mimpi buruk Raras.

Bu Parmi ingin Raras menikah dengan Wisnu, permintaan yang sangat mustahil,.menikah dengan laki laki yang sama sekali tidak dikenalnya, dia hanya mengenal Wisnu sebagai korban dari kecerobohannya. Bagaimana bisa seorang korban berubah menjadi seorang suami.

Raras terhenyak, dosa apa yang dilakukannya dimasa lalu, sehingga dia dihukum seberat ini, Raras tidak tahu harus mengatakan apa kepada Wisnu jika laki laki itu sadar, ibunya sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan amanah yang harus mereka tunaikan bersama, karena pernikahan tidak bisa berjalan sendiri.

Raras tertegun, saat namanya dipanggil perawat untuk menyelesaikan bagian administrasi berkaitan dengan bu Parmi. Pak kumis dan beberapa orang warga sudah membawa jenazah bu Parmi pulang dengan ambulan rumah sakit.

Raras mengikuti perawat menuju ruangan tempat Wisnu setelah dipindahkan dari ruang operasi.

Raras menggigit bibirnya, laki laki tak berdaya itu tidak bicara apapun, matanya menatap Raras dengan makna yang tidak bisa dipahami Raras, ada kemarahan dan rasa benci disana.

"Apa yang kudengar itu benar? Bahwa ibuku meninggal dunia?"

Raras meremas jarinya sendiri kemudian mengangguk pelan. Wisnu meneguk ludahnya susah payah, tak ada air mata di wajahnya, dia diam tanpa ekspresi apapun. Kenapa dia tidak marah atau memaki Raras. Baru kali ini Raras bertemu laki-laki seperti Wisnu, dia seperti robot yang bernyawa.

"Dia meninggal bukan karena kecelakaan, tapi serangan jantung," jawab Raras, dia harus meluruskan di sini agar Wisnu tidak salah paham. Dia tidak ingin Wisnu mengira bahwa bu Parmi meninggal gara-gara kecelakaan yang disebabkan olehnya. Dia tidak ingin semakin dibenci oleh laki-laki itu dan dicap sebagai pembunuh.

Wisnu diam, tidak peduli dan tidak merespon informasi yang disampaikan Raras, matanya menatap lurus ke arah kakinya, dia kembali mengatupkan mulutnya.

Raras sangat lelah, bahkan ini sudah jam sebelas malam, dari tadi siang perutnya belum diisi sedikitpun. Awalnya dia berniat menyampaikan amanah Bu Parmi, tapi melihat ekspresi dingin itu dia mengurungkan niatnya, bukan waktu yang tepat saat ini.

Raras keluar dari ruangan itu, menekan perutnya yang terasa pedih. Dia harus mencari sesuatu untuk dimakan, dia butuh kesehatan dan tenaga yang kuat untuk menghadapi hidupnya kedepan.

Raras menemukan sebuah kantin kecil milik rumah sakit, memberi beberapa roti dan sebotol air mineral, duduk bersandar di kursi tunggu dekat koridor utama.

Sekejap, roti itu habis oleh Raras. Kenapa hidupnya tidak beruntung, orang tuanya yang pilih kasih, dan menyebut dia sebagai pembuat onar, kekasihnya yang tidak dicintai dan tidak mencintainya. Dan sekarang akan memiliki suami yang bahkan tidak dikenalnya dalam ke adaan cacat.

Raras memejamkan matanya, dia benar benar sangat lelah, sekarang dirinya sudah terikat, dia tidak bisa lagi melarikan diri seperti yang biasa dilakukannya. Dia punya tanggung jawab besar, Wisnu dan ke empat adiknya.

Raras berdiri, merapikan rambutnya yang sudah mencuat liar dari ikatannya, membuang topinya sembarangan, berjalan gontai ke ruangan Wisnu.

Laki laki itu belum tidur, matanya masih menatap nyalang langit langit rumah sakit. Tidak sedikitpun dia memperdulikan Raras yang baru saja membuka pintu dengan bunyi berderit.

"Kita harus bicara!" Raras menarik kursi, duduk di samping Wisnu, laki-laki itu masih diam seperti patung. Raras tidak peduli lagi kalau dia akan bicara sendiri.

"Ibumu...." Raras memberi jeda, Wisnu tertarik, dia menatap wajah Raras dengan rasa ingin tau.

"Ibumu, menyuruh kita menikah." Akhirnya Raras mampu melontarkan kabar itu.

Wisnu masih betah dengan kebungkamannya, dia memalingkan wajahnya, tidak sedikit pun menanggapi Raras.

Raras sangat kesal, laki-laki angkuh itukah yang akan menjadi suaminya? Bahkan dia sudah berusaha sejauh ini, kematian Bu Parmi pun bukan karena dirinya, lalu kenapa dia diperlakukan tidak adil oleh Wisnu, bahkan pria itu tidak mengerti sopan santun, menulikan telinganya dan asik dengan dirinya sendiri.

Raras membuang napas, bagaimanapun dia harus menunaikan janjinya, suka atau tidaknya Wisnu akan amanah ini.

Raras memberikan nomor telponnya kepada perawat khusus untuk Wisnu, menyuruh menelponnya jika terjadi sesuatu.

Raras membuka kunci mobilnya, dia harus pulang, dia harus bergerak cepat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status