Wisnu melakukan serangkaian tes sebelum operasi, proses itu memakan waktu satu jam lebih. Tak ada ekspresi dari wajahnya, dia dingin dan tak terbaca. Dia tidak mengatakan apapun saat Raras memberinya kekuatan bahwa semua akan berjalan lancar. Wisnu lebih banyak diam mengatupkan mulutnya dengan mata kosong.
Beberapa jam berlalu, operasi pemasangan Pen berhasil dilakukan, tulang yang patah adalah tulang bagian betis, sedangkan tulang dibagian paha tidak mengalami cidera. Raras memijit kepalanya berulang kali, kepalanya terasa sakit dan perutnya yang melilit perih."Maaf, Mbak, pasien atas nama Bu Parmi sudah sadar," kata seorang perawat kepada Raras. Raras membalikkan badan, mengangguk dan mengikuti perawat dari belakang.*******Raras merosot kelantai, cobaan bertubi-tubi menyerangnya. Dia hanya ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya di alam bebas, menikmati kesendirian tanpa gangguan siapapun.Apakah Raras harus melakukannya? Dia sudah berjanji pada Bu Parmi, dia sudah mengatas namakan Tuhan dalam janjinya, jika yang diminta Bu Parmi Raras membiayai keluarga yang ditinggalkan Bu Parmi seumur hidupnya, maka dia tidak akan sepanik ini. Tapi bukan itu yang diminta bu Parmi, permintaan yang bahkan tidak pernah hadir dalam mimpi buruk Raras.Bu Parmi ingin Raras menikah dengan Wisnu, permintaan yang sangat mustahil,.menikah dengan laki laki yang sama sekali tidak dikenalnya, dia hanya mengenal Wisnu sebagai korban dari kecerobohannya. Bagaimana bisa seorang korban berubah menjadi seorang suami.Raras terhenyak, dosa apa yang dilakukannya dimasa lalu, sehingga dia dihukum seberat ini, Raras tidak tahu harus mengatakan apa kepada Wisnu jika laki laki itu sadar, ibunya sudah pergi untuk selamanya, meninggalkan amanah yang harus mereka tunaikan bersama, karena pernikahan tidak bisa berjalan sendiri.Raras tertegun, saat namanya dipanggil perawat untuk menyelesaikan bagian administrasi berkaitan dengan bu Parmi. Pak kumis dan beberapa orang warga sudah membawa jenazah bu Parmi pulang dengan ambulan rumah sakit.Raras mengikuti perawat menuju ruangan tempat Wisnu setelah dipindahkan dari ruang operasi.Raras menggigit bibirnya, laki laki tak berdaya itu tidak bicara apapun, matanya menatap Raras dengan makna yang tidak bisa dipahami Raras, ada kemarahan dan rasa benci disana."Apa yang kudengar itu benar? Bahwa ibuku meninggal dunia?"Raras meremas jarinya sendiri kemudian mengangguk pelan. Wisnu meneguk ludahnya susah payah, tak ada air mata di wajahnya, dia diam tanpa ekspresi apapun. Kenapa dia tidak marah atau memaki Raras. Baru kali ini Raras bertemu laki-laki seperti Wisnu, dia seperti robot yang bernyawa."Dia meninggal bukan karena kecelakaan, tapi serangan jantung," jawab Raras, dia harus meluruskan di sini agar Wisnu tidak salah paham. Dia tidak ingin Wisnu mengira bahwa bu Parmi meninggal gara-gara kecelakaan yang disebabkan olehnya. Dia tidak ingin semakin dibenci oleh laki-laki itu dan dicap sebagai pembunuh.Wisnu diam, tidak peduli dan tidak merespon informasi yang disampaikan Raras, matanya menatap lurus ke arah kakinya, dia kembali mengatupkan mulutnya.Raras sangat lelah, bahkan ini sudah jam sebelas malam, dari tadi siang perutnya belum diisi sedikitpun. Awalnya dia berniat menyampaikan amanah Bu Parmi, tapi melihat ekspresi dingin itu dia mengurungkan niatnya, bukan waktu yang tepat saat ini.Raras keluar dari ruangan itu, menekan perutnya yang terasa pedih. Dia harus mencari sesuatu untuk dimakan, dia butuh kesehatan dan tenaga yang kuat untuk menghadapi hidupnya kedepan.Raras menemukan sebuah kantin kecil milik rumah sakit, memberi beberapa roti dan sebotol air mineral, duduk bersandar di kursi tunggu dekat koridor utama.Sekejap, roti itu habis oleh Raras. Kenapa hidupnya tidak beruntung, orang tuanya yang pilih kasih, dan menyebut dia sebagai pembuat onar, kekasihnya yang tidak dicintai dan tidak mencintainya. Dan sekarang akan memiliki suami yang bahkan tidak dikenalnya dalam ke adaan cacat.Raras memejamkan matanya, dia benar benar sangat lelah, sekarang dirinya sudah terikat, dia tidak bisa lagi melarikan diri seperti yang biasa dilakukannya. Dia punya tanggung jawab besar, Wisnu dan ke empat adiknya.Raras berdiri, merapikan rambutnya yang sudah mencuat liar dari ikatannya, membuang topinya sembarangan, berjalan gontai ke ruangan Wisnu.Laki laki itu belum tidur, matanya masih menatap nyalang langit langit rumah sakit. Tidak sedikitpun dia memperdulikan Raras yang baru saja membuka pintu dengan bunyi berderit."Kita harus bicara!" Raras menarik kursi, duduk di samping Wisnu, laki-laki itu masih diam seperti patung. Raras tidak peduli lagi kalau dia akan bicara sendiri."Ibumu...." Raras memberi jeda, Wisnu tertarik, dia menatap wajah Raras dengan rasa ingin tau."Ibumu, menyuruh kita menikah." Akhirnya Raras mampu melontarkan kabar itu.Wisnu masih betah dengan kebungkamannya, dia memalingkan wajahnya, tidak sedikit pun menanggapi Raras.Raras sangat kesal, laki-laki angkuh itukah yang akan menjadi suaminya? Bahkan dia sudah berusaha sejauh ini, kematian Bu Parmi pun bukan karena dirinya, lalu kenapa dia diperlakukan tidak adil oleh Wisnu, bahkan pria itu tidak mengerti sopan santun, menulikan telinganya dan asik dengan dirinya sendiri.Raras membuang napas, bagaimanapun dia harus menunaikan janjinya, suka atau tidaknya Wisnu akan amanah ini.Raras memberikan nomor telponnya kepada perawat khusus untuk Wisnu, menyuruh menelponnya jika terjadi sesuatu.Raras membuka kunci mobilnya, dia harus pulang, dia harus bergerak cepat.Raras baru saja berniat mengunci mobilnya ketika suara ayahnya menggelegar, laki-laki yang masih tampak kuat dan muda di usianya yang bahkan sudah enam puluh tahun. Raras hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan kepada ayahnya."Apa yang dilakukan seorang Putri bangsawan di tengah malam begini?" Mata ayah Raras menyipit melihat keadaan mobil yang lampu depannya pecah. Penampilan Raras sudah tidak karuan, rambut berantakan dan pakaian yang sangat dibenci oleh ayahnya."Maaf, Ayah," jawab Raras, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat tidurnya."Ayah tunggu di ruang kerja Ayah," jawab ayahnya dingin, Raras sudah hafal sekali, jika dia disuruh masuk ke ruang kerja, maka sesuatu yang sangat serius akan disampaikan ayahnya malam ini. Raras tidak lagi peduli.Dengan gontai dia mengikuti ayahnya dari belakang, sesaat dia kaget saat ibunya muncul tiba-tiba dan menarik tangannya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan hari ini? Bahkan keluarga besar Divo datang ke rumah mencarimu, tapi
Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu."Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah.""Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa.""Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku me
Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat menggangg
Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Wisnu mengatupkan rahangnya, dia tidak bisa menghentikan orang yang mengaku disuruh mengantar semua barang ke rumahnya, Aryo dan Yono melirik wajah sang Kakak sulung. Mereka tidak berani bicara lebih banyak. Mira yang tampak bahagia dan menyuruh petugas pengantar barang memasukkan perabot itu satu persatu, termasuk satu ranjang untuk kamar Wisnu, dan satu ranjang lagi untuk kamarnya dan Nela, Wisnu diam saja melihat adiknya itu berjingkrak kegirangan.Aryo dan Yono saling tatap meminta tanggapan, keduanya langsung pamit kepada Wisnu dengan alasan ada latihan bola yang harus diikuti. Wisnu cuma memberi isyarat dengan matanya, kemudian mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam kamar.*******Raras sampai jam delapan malam, dia sempat mengawasi butiknya terlebih dahulu, Raras baru saja mengucapkan salam ketika Mira langsung berlari padanya."Mbak, Abang dari tadi tidak mau bicara, sepertinya Abang marah karena barang-barang ini." Mira memperlihatkan wajah cemas.Raras kemudian tersenyum, me
Agenda hari ini, membawa Wisnu kerumah sakit untuk pemeriksaan berkala, sejauh ini Wisnu tidak mengeluhkan apapun, dia tipe laki laki yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya, sedapat mungkin dia melakukan semuanya sendiri, mulai dari mandi sendiri, berpakaian dan aktifitas lainnya.Raras memilah baju apa yang akan dipakai Wisnu, tapi tidak ada baju yang dikatakan layak, rata rata adalah kaos oblong yang warnanya sudah pudar, dan jins lusuh yang tak kalah pudarnya.Raras mencoba mencari lagi dengan teliti, akhirnya dia menemukan kemeja kotak kotak yang lebih baik daripada baju sebelumnya, walaupun model dan motifnya sangat ketinggalan jaman, tapi setidaknya ini lebih enak untuk dilihat.Wisnu masuk mengayuh kursi rodanya, handuk putih terlilit berantakan di pinggulnya, Raras tidak mengerti dengan jalan pikiran Wisnu, bahkan dia menolak adiknya sendiri yang berniat membantu memandikannya."Hanya ini yang kutemukan," kata Raras menunjuk ranjang, kemeja kotak kotak dan celana jins hi