Share

Bab. 6. Ia Pulang

"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."

***

Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam. 

Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.

“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya untuk masuk ke rumah.

Namun, insting seorang ibu yang mengandung, menyusui serta mengurus anaknya tak begitu saja bisa dibohongi. Mariam yakin betul dari riak dan air muka Arzan bahwa, sesuatu tengah terjadi dan disembunyikan anak sulungnya itu.

“Katakan. Ibu tahu kalau kamu sedang berbohong,” katanya begitu mereka masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Membuat Arzan seketika menghela napas, berpikir, kata apa yang pas untuk menceritakan semuanya dari awal.

“Begini.” Arzan menjeda, menoleh ke sisi kiri dan kanan terlebih dulu untuk memastikan tidak adanya orang lain yang akan menguping. “A-aku nggak yakin kalau harus melanjutkan pernikahan, Bu.”

“Loh, loh?” Mariam terperanjat kaget. Tubuhnya yang semula duduk rileks berubah tegang. “Jangan ngaco kamu. Istigfar! Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Sekali seumur hidup. Bukan permainan yang bisa kamu sudahi di tengah jalan.”

Arzan menunduk, menyembunyikan kesedihan sekaligus menghindari tatapan tajam ibunya. Apa yang dipikirkannya memang salah, tapi itulah yang sebenar-benarnya tengah terjadi. Jangankan membuat Nafisa bahagia setiap waktu, menyentuhnya pun butuh waktu untuk melawan rasa geli dan ilfil terlebih dulu.

“Nak?” Mariam memanggilnya kembali. Membuat Arzan seketika mengangkat wajah dan membalas dengan tatapan nanar. Air mukanya berubah sayu, kacau seperti benang kusut.

“Entahlah, Bu. Aku juga bingung.” Arzan mendesah seraya menyandarkan pundaknya di sandaran kursi. “Tapi yang pasti, tiba-tiba aku merasa geli kalau berhadapan dengan Nafisa.”

“Loh, kenapa bisa bingung? Kenapa pula merasa geli?” Mariam sama sekali tak merasa puas dengan jawaban Arzan. Ia bicara lagi. “Coba bicara yang jelas. Siapa tahu ibu bisa bantu.”

Arzan menghela napas kasar sambil mengusap wajah. Ia berkata ragu, “Aku, bahkan belum berani untuk menyentuhnya, Bu.”

“Ya, Allah.” Mariam menepuk kening sendiri, ingin marah tapi merasa lucu karena ekspresi Arzan yang terlihat malu-malu. “Kenapa bisa begitu? Nafisanya nggak mau, atau gimana?”

“Nah, loh!” seru Fitri yang tiba-tiba membuka mulut setelah sedari tadi menguping di ruang tengah. Ia beranjak bangkit dari duduknya, siap-siap berlari untuk menghindari amukan Arzan.

“Anak kecil ngapain nguping? Sana, nonton kartun lagi!” Arzan meledek, berlagak songong seperti biasa, saat adik-adiknya mengolok-olok.

“Dih!” Fitri berseru sambil mendelik. “Udah gede gini dibilang masih kecil?”

“Mana ada udah gede masih suka nonton kartun yang botak dari Malaysia, tuh?” Arzan semakin merasa puas, walau ejekannya hanya seputar kartun

“Sudah, sudah. Malah berantem kalian mah.” Mariam menyela keduanya. Membuat Arzan dan Fitri bergeming di ruang yang berbeda. “Lagian betul kata kakakmu, Fit. Selain karena menguping itu pamali, kamu pun belum cukup umur untuk mendengar masalah rumah tangga.”

“Ibu mah, malah belain Kak Arzan,” rutuk Fitri tak terima. Namun, ia masih saja berdiri dan bersandar di dinding ruang tamu sambil memutar-mutar ponsel di tangan. “Kak Arzan, kan, aneh. Masa—“

“Sudah, sudah. Ngeyel kamu, tuh.” Mariam buru-buru menyela sebelum sempat Fitri menyelesaikan pendapatnya. “Sana, jangan nguping!”

“Nah!” seru Arzan setuju sambil menertawakan Fitri yang seolah tidak mendapat dukungan dari ibunya.

“Iya, iya!” Akhirnya Fitri mengalah, kembali duduk dan bermain ponsel. Dalam hati, ia ingin mendengar dan menyimak apa saja yang dikatakan Arzan buat pengalamannya nanti, kalau udah berkeluarga.

“Kamu juga! Cengar-cengir aja dari tadi. Ayo, cerita.” Mariam menegur Arzan saking merasa heran.

“Gimana, ya? Hm.”

“Iya, gimana?” Mariam mulai tak sabar. “Malah nanya.”

“Itu, aku tuh nggak suka sama rambutnya yang keriting, kribo. Bahkan, masa betisnya itu kecil, Bu. Nafisa kurus banget, bikin jemarinya terlihat panjang-panjang.”

Sekejap, suara tawa pecah dari ruang tengah. Fitri terbahak sebelum akhirnya kabur ke kamar karena takut kalau sampai Arzan menghampiri dan memarahinya. Pun dengan Mariam, ibu dari tiga anak itu tak kuat menahan tawa. Bukan karena bagaimana fisik Nafisa, tapi justru karena merasa lucu terhadap sikap Arzan. Mereka pikir karena masalah serius. Tahinya hanya karena rambut dan bentuk tubuh.

“Kan, aku dah ngira bakal diketawain!” Arzan kembali bersandar sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, dari wajah ibunya. “Tapi memang itu yang sebenarnya. Dan aku nggak tahu harus gimana.”

“Lah, gimana nggak ketawa? Kamu itu, loh, lucu. Aneh juga. Kenapa coba sampai nggak suka sama rambut Nafisa? Dia, kan, biasa pakai kerudung, rambutnya pasti nggak bakal kelihatan. Kakinya juga, karena dia selalu memakai gamis.”

“Ya, kan, kalau mau tidur mah kerudungnya dibuka.”

Mariam menangkup mulut, menahan tawanya lagi sebelum kembali berkomentar, “Bawa ke salon. Biar dilurusin sama pakarnya, Nak. Gitu aja, kok, repot.”

“Iya, kalau soal rambut. Terus kaki? Aku geli lihatnya, Bu. Sumpah!” Arzan ikut tertawa pelan, merasa lucu pada sendiri.

“Pakai selimut!” celetuk Fitri sambil membuka pintu kamarnya sedikit, lalu kembali menutup dan mengurung diri di sana sambil tergelak. Dia benar-benar tak habis pikir dengan kakaknya sendiri.

“Itu anak, ya!” rutuk Arzan sebelum kembali fokus pada apa yang dipermasalahkan. “Jadi gimana?”

“Gimana apanya?” Mariam balas bertanya sambil sesekali berdeham, lalu minum karena tenggorokannya terasa kering

“Soal pernikahanku, Bu.”

“Sudah. Biar nanti Nafisa ibu ajak ke salon. Terus ibu suruh makan yang banyak biar tubuh sama kakinya berisi.”

“Aku serius, Bu.” Arzan memprotes.

“Kamu pikir ibu bercanda, Nak?” Mariam menegaskan walau dengan sisa-sisa tawa di bibirnya yang merah. “Usiamu itu udah dua puluh enam. Coba pikir, masa gara-gara rambut kribo sama kaki yang kurus kerontang mau mengakhiri pernikahan yang baru seumur jagung?”

Hening.

“Sekarang, mending kamu pikirin masalah toko yang kemarin ayahmu bicarakan. Jangan malah ngurusin rambut kribo!”

“Iya, deh, Bu.” Arzan mengangguk, mengiyakan. “Jadi, maksud ayah gimana?”

“Begini, toko ayahmu itu kan awalnya dua tempat. Cuma, karena biar nggak kagok dan sempit, tokonya dijadiin satu ruangan. Nah, sekarang. Berhubung kamu sudah berumah tangga, nggak mungkin dong kalau kerjamu cuma bantuin ayah jagain toko?” tanya Mariam, terlihat jauh lebih serius dan semangat. “Jadi, ayahmu bilang, toko itu dibagi dua lagi saja. Biar yang satu kamu yang urus. Atau, kalau kamu nggak nyaman, kamu bisa pakai gudang buat jualan.”

Arzan mengangguk, menyetujui perihal toko yang akan menjadi miliknya. Pun dengan nasihat yang dikatakan Mariam tentang Nafisa. Dia harus bisa bersikap lebih dewasa, terlebih dalam menyikapi setiap apa yang terjadi.

Terlalu asyik mengobrol, sampai tak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Sebentar lagi azan Zuhur, Arzan harus segera pulang ke rumah Laksmi. Namun, setelah dipikir-pikir, ia memilih untuk pergi ke pasar. Menemui dan membantu ayahnya terlebih dulu rasanya jauh lebih baik dari pada harus berdiam diri di rumah Laksmi.

“Nggak nunggu adzan dulu, Nak?” tanya Mariam setelah Arzan mengucap pamit.

“Nggak. Biar nanti langsung salat di masjid dekat pasar aja, Bu.” timpal Arzan sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Setelah mencium punggung tangan ibunya itu, ia berdiri seraya mengibas-ngibaskan celana juga kemeja bagian belakang yang kusut.

“Ya, sudah. Hati-hati kamu. Jangan banyak pikiran,” kata Laksmi sebelum Arzan melengos pergi, meninggalkan rumah yang memiliki halaman luas itu.

Alih-alih merasa tenang, Arzan justru kembali dilanda resah karena bayangan tentang bagaimana kondisi fisik Nafisa mengelebat begitu ia melajukan motornya dari halaman. Nafisa yang ia pikir berambut lurus dan panjang ternyata salah. Pun dengan postur tubuh yang dikiranya langsing ternyata kurus kerontang.

Namun, begitu Arzan ingat saat Nafisa menangis Subuh tadi, hatinya seketika terenyuh. Ada sedikit rasa iba, juga tak enak hati kalau harus terus-menerus bersikap dingin. Membuat dia yang semula hendak pergi ke pasar, tiba-tiba berhenti dan kemudian berbalik arah.

Ia pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status