"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."
***
Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam.
Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.
“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya untuk masuk ke rumah.
Namun, insting seorang ibu yang mengandung, menyusui serta mengurus anaknya tak begitu saja bisa dibohongi. Mariam yakin betul dari riak dan air muka Arzan bahwa, sesuatu tengah terjadi dan disembunyikan anak sulungnya itu.
“Katakan. Ibu tahu kalau kamu sedang berbohong,” katanya begitu mereka masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Membuat Arzan seketika menghela napas, berpikir, kata apa yang pas untuk menceritakan semuanya dari awal.
“Begini.” Arzan menjeda, menoleh ke sisi kiri dan kanan terlebih dulu untuk memastikan tidak adanya orang lain yang akan menguping. “A-aku nggak yakin kalau harus melanjutkan pernikahan, Bu.”
“Loh, loh?” Mariam terperanjat kaget. Tubuhnya yang semula duduk rileks berubah tegang. “Jangan ngaco kamu. Istigfar! Pernikahan itu sesuatu yang sakral. Sekali seumur hidup. Bukan permainan yang bisa kamu sudahi di tengah jalan.”
Arzan menunduk, menyembunyikan kesedihan sekaligus menghindari tatapan tajam ibunya. Apa yang dipikirkannya memang salah, tapi itulah yang sebenar-benarnya tengah terjadi. Jangankan membuat Nafisa bahagia setiap waktu, menyentuhnya pun butuh waktu untuk melawan rasa geli dan ilfil terlebih dulu.
“Nak?” Mariam memanggilnya kembali. Membuat Arzan seketika mengangkat wajah dan membalas dengan tatapan nanar. Air mukanya berubah sayu, kacau seperti benang kusut.
“Entahlah, Bu. Aku juga bingung.” Arzan mendesah seraya menyandarkan pundaknya di sandaran kursi. “Tapi yang pasti, tiba-tiba aku merasa geli kalau berhadapan dengan Nafisa.”
“Loh, kenapa bisa bingung? Kenapa pula merasa geli?” Mariam sama sekali tak merasa puas dengan jawaban Arzan. Ia bicara lagi. “Coba bicara yang jelas. Siapa tahu ibu bisa bantu.”
Arzan menghela napas kasar sambil mengusap wajah. Ia berkata ragu, “Aku, bahkan belum berani untuk menyentuhnya, Bu.”
“Ya, Allah.” Mariam menepuk kening sendiri, ingin marah tapi merasa lucu karena ekspresi Arzan yang terlihat malu-malu. “Kenapa bisa begitu? Nafisanya nggak mau, atau gimana?”
“Nah, loh!” seru Fitri yang tiba-tiba membuka mulut setelah sedari tadi menguping di ruang tengah. Ia beranjak bangkit dari duduknya, siap-siap berlari untuk menghindari amukan Arzan.
“Anak kecil ngapain nguping? Sana, nonton kartun lagi!” Arzan meledek, berlagak songong seperti biasa, saat adik-adiknya mengolok-olok.
“Dih!” Fitri berseru sambil mendelik. “Udah gede gini dibilang masih kecil?”
“Mana ada udah gede masih suka nonton kartun yang botak dari Malaysia, tuh?” Arzan semakin merasa puas, walau ejekannya hanya seputar kartun
“Sudah, sudah. Malah berantem kalian mah.” Mariam menyela keduanya. Membuat Arzan dan Fitri bergeming di ruang yang berbeda. “Lagian betul kata kakakmu, Fit. Selain karena menguping itu pamali, kamu pun belum cukup umur untuk mendengar masalah rumah tangga.”
“Ibu mah, malah belain Kak Arzan,” rutuk Fitri tak terima. Namun, ia masih saja berdiri dan bersandar di dinding ruang tamu sambil memutar-mutar ponsel di tangan. “Kak Arzan, kan, aneh. Masa—“
“Sudah, sudah. Ngeyel kamu, tuh.” Mariam buru-buru menyela sebelum sempat Fitri menyelesaikan pendapatnya. “Sana, jangan nguping!”
“Nah!” seru Arzan setuju sambil menertawakan Fitri yang seolah tidak mendapat dukungan dari ibunya.
“Iya, iya!” Akhirnya Fitri mengalah, kembali duduk dan bermain ponsel. Dalam hati, ia ingin mendengar dan menyimak apa saja yang dikatakan Arzan buat pengalamannya nanti, kalau udah berkeluarga.
“Kamu juga! Cengar-cengir aja dari tadi. Ayo, cerita.” Mariam menegur Arzan saking merasa heran.
“Gimana, ya? Hm.”
“Iya, gimana?” Mariam mulai tak sabar. “Malah nanya.”
“Itu, aku tuh nggak suka sama rambutnya yang keriting, kribo. Bahkan, masa betisnya itu kecil, Bu. Nafisa kurus banget, bikin jemarinya terlihat panjang-panjang.”
Sekejap, suara tawa pecah dari ruang tengah. Fitri terbahak sebelum akhirnya kabur ke kamar karena takut kalau sampai Arzan menghampiri dan memarahinya. Pun dengan Mariam, ibu dari tiga anak itu tak kuat menahan tawa. Bukan karena bagaimana fisik Nafisa, tapi justru karena merasa lucu terhadap sikap Arzan. Mereka pikir karena masalah serius. Tahinya hanya karena rambut dan bentuk tubuh.
“Kan, aku dah ngira bakal diketawain!” Arzan kembali bersandar sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, dari wajah ibunya. “Tapi memang itu yang sebenarnya. Dan aku nggak tahu harus gimana.”
“Lah, gimana nggak ketawa? Kamu itu, loh, lucu. Aneh juga. Kenapa coba sampai nggak suka sama rambut Nafisa? Dia, kan, biasa pakai kerudung, rambutnya pasti nggak bakal kelihatan. Kakinya juga, karena dia selalu memakai gamis.”
“Ya, kan, kalau mau tidur mah kerudungnya dibuka.”
Mariam menangkup mulut, menahan tawanya lagi sebelum kembali berkomentar, “Bawa ke salon. Biar dilurusin sama pakarnya, Nak. Gitu aja, kok, repot.”
“Iya, kalau soal rambut. Terus kaki? Aku geli lihatnya, Bu. Sumpah!” Arzan ikut tertawa pelan, merasa lucu pada sendiri.
“Pakai selimut!” celetuk Fitri sambil membuka pintu kamarnya sedikit, lalu kembali menutup dan mengurung diri di sana sambil tergelak. Dia benar-benar tak habis pikir dengan kakaknya sendiri.
“Itu anak, ya!” rutuk Arzan sebelum kembali fokus pada apa yang dipermasalahkan. “Jadi gimana?”
“Gimana apanya?” Mariam balas bertanya sambil sesekali berdeham, lalu minum karena tenggorokannya terasa kering
“Soal pernikahanku, Bu.”
“Sudah. Biar nanti Nafisa ibu ajak ke salon. Terus ibu suruh makan yang banyak biar tubuh sama kakinya berisi.”
“Aku serius, Bu.” Arzan memprotes.
“Kamu pikir ibu bercanda, Nak?” Mariam menegaskan walau dengan sisa-sisa tawa di bibirnya yang merah. “Usiamu itu udah dua puluh enam. Coba pikir, masa gara-gara rambut kribo sama kaki yang kurus kerontang mau mengakhiri pernikahan yang baru seumur jagung?”
Hening.
“Sekarang, mending kamu pikirin masalah toko yang kemarin ayahmu bicarakan. Jangan malah ngurusin rambut kribo!”
“Iya, deh, Bu.” Arzan mengangguk, mengiyakan. “Jadi, maksud ayah gimana?”
“Begini, toko ayahmu itu kan awalnya dua tempat. Cuma, karena biar nggak kagok dan sempit, tokonya dijadiin satu ruangan. Nah, sekarang. Berhubung kamu sudah berumah tangga, nggak mungkin dong kalau kerjamu cuma bantuin ayah jagain toko?” tanya Mariam, terlihat jauh lebih serius dan semangat. “Jadi, ayahmu bilang, toko itu dibagi dua lagi saja. Biar yang satu kamu yang urus. Atau, kalau kamu nggak nyaman, kamu bisa pakai gudang buat jualan.”
Arzan mengangguk, menyetujui perihal toko yang akan menjadi miliknya. Pun dengan nasihat yang dikatakan Mariam tentang Nafisa. Dia harus bisa bersikap lebih dewasa, terlebih dalam menyikapi setiap apa yang terjadi.
Terlalu asyik mengobrol, sampai tak sadar kalau waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Sebentar lagi azan Zuhur, Arzan harus segera pulang ke rumah Laksmi. Namun, setelah dipikir-pikir, ia memilih untuk pergi ke pasar. Menemui dan membantu ayahnya terlebih dulu rasanya jauh lebih baik dari pada harus berdiam diri di rumah Laksmi.
“Nggak nunggu adzan dulu, Nak?” tanya Mariam setelah Arzan mengucap pamit.
“Nggak. Biar nanti langsung salat di masjid dekat pasar aja, Bu.” timpal Arzan sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Setelah mencium punggung tangan ibunya itu, ia berdiri seraya mengibas-ngibaskan celana juga kemeja bagian belakang yang kusut.
“Ya, sudah. Hati-hati kamu. Jangan banyak pikiran,” kata Laksmi sebelum Arzan melengos pergi, meninggalkan rumah yang memiliki halaman luas itu.
Alih-alih merasa tenang, Arzan justru kembali dilanda resah karena bayangan tentang bagaimana kondisi fisik Nafisa mengelebat begitu ia melajukan motornya dari halaman. Nafisa yang ia pikir berambut lurus dan panjang ternyata salah. Pun dengan postur tubuh yang dikiranya langsing ternyata kurus kerontang.
Namun, begitu Arzan ingat saat Nafisa menangis Subuh tadi, hatinya seketika terenyuh. Ada sedikit rasa iba, juga tak enak hati kalau harus terus-menerus bersikap dingin. Membuat dia yang semula hendak pergi ke pasar, tiba-tiba berhenti dan kemudian berbalik arah.
Ia pulang.
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga