"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"
***
Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua, membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.
Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongkok. Belum lagi bibirnya yang tipis, lengkap dengan tahi lalat di ujung sebelah kanan atas. Ia tersenyum tipis, merasa lucu mengingat obrolannya bersama Mariam tadi.
Tiba-tiba Arzan mengerjap kaget begitu Nafisa memergoki tatapannya. Ia langsung berdeham, mengusap rambut cepaknya sambil menggeser pantat barang sedikit. Selain karena merasa malu, ia pun merasa kikuk.
“Kenapa?” tanya Nafisa sambil melihat bagian tubuhnya, mulai dari depan sampai menoleh melihat ke bagian belakang. “Ada yang salah?”
“Nggak. Itu, anu.”
“Anu apa?” sela Nafisa, kembali melipat baju yang masih menumpuk.
“Mau Aa bantu?” Arzan menyengir, mengalihkan pikiran aneh yang mungkin dipikirkan Nafisa, sebelum akhirnya turun dan duduk di lantai keramik putih tanpa alas.
“Emang bisa?”
“Hm ... bisa,” timpal Arzan, tak begitu yakin. Akan tetapi, selama bertahun-tahun di pesantren, ia terbiasa mencuci dan melipat pakaiannya sendiri.
“Ya, sudah. Dari pada bengong, 'kan?” Nafisa tersenyum simpul. “Sekalian, ada yang mau Neng tanyain.”
Tanpa menoleh Arzan mengangguk. Tangannya sibuk melipat celana dan baju yang dikiranya adalah pakaian Asep. Sesekali, matanya menoleh melihat acara yang menyiarkan berita sekilas info di televisi
“Apa yang salah dengan Neng?”
“Hah?” Arzan melihat ke arah Nafisa. Keningnya mengernyit, alisnya pun bertaut.
“Apa yang salah dengan Neng, A? Masa nggak denger?” ulang Nafisa, balas menatap kedua mata Arzan. Berharap, ia akan mendapat jawaban pasti dari apa yang dikira-kiranya sejak menjadi seorang istri.
“Bukan nggak denger, tapi kenapa Neng nanya gitu?”
“Karena sejak malam pertama kita, Aa bersikap aneh. Dingin, cuek, bahkan terkesan jijik kalau melihat neng.”
‘Ya, Rabb.’ Arzan bergumam dalam hati. Ternyata, perasaan perempuan bisa sepeka itu, pikirnya.
Hening. Yang terdengar kemudian hanya suara televisi.
“A?” Nafisa melambai-lambaikan tangan, tepat di depan wajah Arzan yang seketika langsung mengerjapkan matanya.
“Itu, ya? Nggak apa-apa, sih. Kan, semalam Aa bilang butuh waktu. Aa juga takut kalau Neng belum siap.”
“Nggak bohong, kan?” Nafisa masih melihat Arzan, menyelidik dengan tatapan nanar. “Neng nggak mau kalau sampai ada sesuatu yang Aa sembunyikan. Apalagi soal apa yang Aa nggak suka dari Neng.”
“Iya,” timpal Arzan sambil menelan ludah. Bingung, karena tidak mungkin kalau dia harus menceritakan soal rasa gelinya terhadap rambut juga kedua kaki Nafisa yang jangkung dan kurus itu. “Tapi ngomong-ngomong, ayah sama ibu, kok, belum pulang, ya? Udah mau Ashar loh ini.”
Nafisa langsung melirik jam yang menggantung di dinding, tepat di atas televisi. Waktu sudah menunjukkan pukul dua lebih empat puluh tiga menit. “Iya, ya.”
“Ladangnya jauh nggak?” Arzan yang tengah menumpuk lipatannya menoleh sekejap ke arah Nafisa. Berharap, kesedihan istrinya itu teralihkan.
“Lumayan. Aa mau tahu? Biar nanti Neng ajak Aa ke sana.” Nafisa terlihat antusias. Ia pikir, mungkin apa yang Arzan katakan memang benar. Suaminya itu butuh waktu untuk melakukannya.
“Boleh.” Arzan mengangguk antusias. Lega sudah hatinya dari rasa bersalah, karena setidaknya, ia bisa berbincang dan membuat Nafisa tersenyum lagi.
Namun, belum selesai lipatan baju yang mereka kerjakan, Laksmi berdecak di belakangnya dengan celana panjang kotor yang sedikit basah. “Pantas dipanggil-panggil nggak menyahut,” celetuknya sambil berjinjit melewati Arzan dan Nafisa.
“Astagfirullah, Bu. Kaget aku!” Nafisa berkomentar. Membuat Arzan seketika bergeser mundur dan melepas baju yang sedang dilipatnya.
“Loh, kenapa kaget?” Laksmi menoleh dengan bibir menyungging lebar, menggoda anak perempuan satu-satunya itu dengan mengangkat-angkat kedua alis. “Kayak lagi ngapain aja.”
“Emang nggak ngapa-ngapain, Bu. Tapi kan tetap aja, tiba-tiba muncul mah bikin kaget,” sungut Nafisa, masih di tempat duduknya dengan kain sarung di tangan yang baru saja selesai ia lipat. Sedangkan Arzan langsung pergi ke kamar, malu karena dikira lagi mesra-mesraan.
'Tuh, kan! Ibu, sih. Aa pasti malu,' gumam Nafisa sambil meraih setumpuk pakaiannya untuk disimpan. Ia lantas berdiri, lalu melangkah cepat ke kamar, menyusul Arzan.
‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.
Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.
Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”
“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.
“Iya, sih. Tapi, kan harusnya jangan gitu,” sungut Nafisa dengan bibir yang seketika mengerucut. Kesal walau Arzan tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.
Hening.
Melihat Nafisa dengan begitu dekat, ternyata tak sehoror yang Arzan pikir. Terlebih saat mendengar Nafisa bicara banyak dengan ekspresi tak dibuat-buat, ingin rasanya Arzan mendekap dan mengecup selengkung tipis kemerahan wanitanya itu.
Namun, entah kenapa, Arzan tak seberani apa yang diinginkannya. Dia hanya mampu menelan ludah, menahan hasrat yang tiba-tiba menggelitik hati seperti kemarin, sebelum tahu kalau Nafisa memiliki rambut kribo.
“Oh, iya!” seru Nafisa begitu sadar akan sesuatu yang mungkin bisa memancing lebih banyak perhatian Arzan terhadapnya. “Neng mau pakai KB, nggak apa-apa?”
“Pil KB?” Arzan yang sedari tadi menatap wajah Nafisa mengernyit, mencipta lipatan-lipatan kecil di keningnya. Nafisa mengangguk. “Kenapa?”
“Buat jaga-jaga aja, sih. Siapa tahu, kalau nanti tiba-tiba Aa udah siap menggauli Neng,” tutur Nafisa dengan bibir tersungging getir.
Ada rasa sakit setiap kali Nafisa ingat, kalau Arzan mungkin memang tak mau menyentuhnya. Tak tahan menahan air yang seketika menggumpal, ia menunduk dan menyapunya cepat. Lalu tersenyum getir saat kembali mengangkat wajah.
“Tapi, kalau Aa mau cepat-cepat punya anak, Neng bakal buang pilnya,” lanjut Nafisa sambil mengalihkan wajah dari tatapan Arzan. Ia melihat ke sisi kiri, menatap kosong rak sepatu di samping pintu.
'Kode, nih!” pikir Arzan sebelum akhirnya benar-benar menyadari keresahan hati Nafisa. Dia lantas beringsut, sedikit lebih maju sampai hanya berjarak sejengkal tangan lelaki dengan istrinya itu.
Namun, belum sempat Arzan menjawab, Nafisa kembali menoleh. “Kenapa diam? Aa nggak mau punya anak dari Neng, ya?” tuduhnya, kadung merasa kesal karena reaksi Arzan yang seperti tak peduli.
“Eh, bukan gitu, Neng. Kok, mikirnya sampe sejauh itu?” Refleks, tangan Arzan meraih jemari lentik Nafisa yang dikata panjang olehnya. Menggenggamnya erat dengan kedua tangan berkeringat dingin.
“Entah! Yang jelas Neng kecewa,” jelas Nafisa sambil menarik sebelah tangannya dari genggaman Arzan. Ternyata, membahas KB yang sebenarnya tak pernah ia beli tidak membuat Arzan bersikap seperti yang dia ingin. ‘Dasar nggak peka! Ngomong apa, kek. Bukannya malah diam! Masa iya setuju-setuju aja kalau aku pakai KB?’
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga