Share

Part. 5. Lelaki yang Tak Peka

“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan."

*** 

Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.

Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.

“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”

Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak turun dan duduk berjongkok di samping Arzan. Ia diam sejenak, memperhatikan seraya menilik dari ujung rambut sampai kaki. “Tampan. Sempurna,” gumamnya pelan. Membuat ia semakin merasa tak percaya diri.

Belum sempat Nafisa membangunkannya, Arzan menggeliat pelan seraya membuka mata. “Neng, udah bangun?” tanyanya seketika sambil beranjak bangun, duduk bersila menghadap Nafisa yang kebingungan.

“Iya. Kan, udah subuh, A.” Nafisa menelan ludah, dan memberanikan diri untuk bertanya. “Tapi, kok, Aa tidur di bawah?”

“Eh, itu. Semalam panas, Neng.” Arzan berdalih dari apa yang sebenarnya terjadi semalam. Tentu, karena tidak ingin membuat Nafisa sedih di hari pertama pernikahan mereka. Walau mendadak ilfil, ia masih mempunyai rasa kasihan . “Ya, sudah. Aa siap-siap ke masjid dulu, deh.”

“Loh! kok, kenapa, sih?” Nafisa terperangah, mendongak melihat Arzan yang tiba-tiba berdiri.

“Kenapa apa Neng? Aa mau salat. Neng juga, kan?”

“Oh. Iya, sih.” Nafisa menyusul bangkit, berdiri dan lalu duduk di sisi ranjang.

“Eh, pakaian aa di mana, Neng?” tanya Arzan, begitu tak mendapati tas berisi baju yang kemarin ia bawa dari rumahnya.

“Udah neng masukin ke lemari, A.”

“Oh.” Arzan pun bergegas menghampiri lemari dan langsung mengambil baju ganti. “Aa ke kamar mandi dulu. Habis itu mau langsung ke masjid, ya,” pamitnya setelah mendapati satu kemeja dan kain sarung. Tak lupa, Arzan meraih peci yang semalam ia taruh di paku belakang pintu.

Nafisa mengangguk tanpa kata. Heran dengan perubahan Arzan yang terlihat jelas dari setiap gerakan tubuh yang terkesan menghindar dengan tatapan risi. Jauh berbeda dengan sikap Arzan yang dulu saat hanya berkomunikasi lewat pesan dan telepon. Hangat.

'Apa karena semalam aku tidur duluan, ya?’ pikirnya dalam hati begitu Arzan menghilang di balik pintu. ‘Lah, kan, dia yang nyuruh?’

Tidak ingin berprasangka buruk, Nafisa memilih untuk membereskan tempat tidur yang berantakan bekas tidur semalam. Lantas mengikat kain tipis yang menutupi sekeliling ranjang ditiang, tetapi tidak dengan melepas bunga melati yang menjuntai di sekelilingnya. Ia masih ingin menikmati hiasan khas kamar pengantin di kamarnya, juga menghirup aroma dari bunga tersebut.

Barulah setelah dirasa Arzan selesai, Nafisa bergegas hendak pergi ke kamar mandi. Seluruh keluarganya ternyata sudah bangun, mereka sibuk membereskan rumah yang berantakan, termasuk menata kursi kembali setelah sempat diungsikan ke gudang.

“Duh, pengantin anyar baru bangun,” celetuk Kartika, begitu melihat Nafisa keluar dari kamarnya. Ia tersenyum-senyum tanpa mengalihkan pandangan dari lantai yang disapunya.

“Ish, Kakak!” Nafisa mengerucutkan bibirnya sembari buru-buru pergi ke kamar mandi sebelum anggota keluarga yang lain datang untuk menggodanya juga. Ia sedang merasa kesal. Tak ingin diganggu walau hanya dengan candaan.

 ***                                       

Tiga hari berlalu setelah acara pernikahan selesai, rumah yang kemarin ramai oleh sanak-saudara Nafisa kembali sepi. Kakak-kakaknya sudah kembali pulang kemarin pagi. Tinggallah Asep dan Laksmi, Nafisa dan juga Arzan yang memutuskan untuk tinggal di sana sebelum membangun rumah impian.

Namun, alih-alih bahagia karena sudah melepas masa lajangnya, pertanyaan demi pertanyaan justru tak lagi dapat ditahan. Nafisa benar-benar tak tahu, apa gerangan yang membuat Arzan bersikap dingin, bahkan tidur di kasur lantai setiap malam tanpa banyak bicara. Seperti saat ini. Nafisa yang baru saja terbangun beringsut pelan ke sisi ranjang. Lalu melihat dengan heran ke arah lelakinya yang meringkuk dengan hanya berselimutkan kain sarung.

“A,” panggilnya parau. Nafisa beringsut turun dari ranjang empuknya yang tak lagi dihiasi bunga melati. “Bangun, A. Bentar lagi Subuh.”

Seketika Arzan mengerjap, terkejut sampai terbangun dan langsung beranjak duduk. “Neng, mau diantar pipis?”

“Loh, kok, pipis? Bukan.” Nafisa menggeleng pelan, dengan raut wajah cemberut. “Sebentar lagi Subuh, A. Barang kali Aa mau salat di masjid bareng ayah lagi.”

“Subuh? Oh. Udah terlambat belum?” Arzan memalingkan wajahnya, melihat jam di dinding yang ternyata baru pukul empat dini hari. “Syukurlah masih lama. Jadi, Aa bisa mandi dulu nanti.”

Hening sejenak.

Arzan merasa kikuk saat mendapati Nafisa bergeming tanpa kata di sampingnya. Merasa bersalah pula karena belum berani untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami. Ia masih merasa ilfil setiap kali melihat istrinya itu. Geli karena tiba-tiba bayangan rambut menyerupai sarang tawon memenuhi isi kepalanya.

“N-Neng?” Arzan memberanikan diri menyapa, memecah keheningan di antaranya. “Neng nggak apa-apa, kan?”

Nafisa menghela napas, menunduk sebelum akhirnya kembali mengangkat wajah. Namun, kali ini matanya telah basah oleh genangan air kesedihan. Ia berkata parau, “Bagaimana mungkin perasaan seorang istri akan baik-baik saja, saat suaminya sendiri enggan untuk bicara, menatap, bahkan menyentuh? Aku, benar-benar merasa seperti sampah.”

“Ya, Allah. Bukan begitu, Neng.” Air mukanya meredup. Ia semakin merasa bersalah.

“Lalu, apa yang membuat Aa tidur di lantai?” Kali ini ucapannya diselingi isak tangis. Namun, buru-buru ia menyeka hidung dan kedua matanya. Tak ingin terlihat lemah, walau rapuh adalah kata yang pas untuk hatinya.

Arzan bergeming, tak mampu berkata-kata.

“Apa Aa nggak suka dengan penampilan Neng? Atau, Aa memang nggak punya rasa sama Neng? Lalu kenapa, kenapa Aa mau menikahi Neng?”

“B-bukan begitu, Neng.” Arzan menelan ludah, membuat jakunnya naik-turun dengan begitu cepat. Namun, apa yang dikatakan Nafisa memanglah benar. Ia tak bisa mengelak, apalagi menyangkal.

“Lalu apa?” Nafisa bertanya parau, sedih kalau-kalau Arzan memang tidak mencintainya.

Tak tega melihat reaksi wanita di hadapannya, Arzan bergeser maju tanpa sepatah kata. Ditatapnya mata sipit Nafisa yang terus mengeluarkan cairan bening mengkristal. Ia mengusapnya perlahan, menyapu cairan demi cairan itu sampai tak lagi membuat basah kedua pipi Nafisa. Untuk pertama kali setelah sah menjadi suami istri, ia menarik dan memeluk tubuh istrinya itu dengan canggung.

“Maafin Aa, Neng,” tuturnya pelan.

Nafisa diam mematung, menikmati sentuhan dari pelukan Arzan walau kenyataannya ia tetap merasa takut kalau-kalau Arzan memang tidak mencintainya. Bukan hanya hati, pernikahannya pun sudah pasti hancur jika itu benar adanya.

“Aa hanya butuh waktu. Tapi, itu bukan berarti Aa nggak punya perasaan,” katanya lagi seraya menarik diri. Diangkatnya wajah Nafisa perlahan-lahan. Membuat keduanya saling menatap dalam kebisuan. Mencipta hasrat sebagai lelaki normal begitu ia mengamati bibir kemerahan Nafisa.

Namun, begitu bayangan tentang rambut kribo dan kurusnya kaki Nafisa mengelebat melintasi pikiran, Arzan mengerjap dan mengalihkan pandangan. Ia melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima.

Arzan mengangkat wajah istrinya itu perlahan-lahan. Membuat keduanya kemudian saling menatap dalam kebisuan, mencipta hasrat begitu Arzan mengamati bibir kemerahan Nafisa. Namun, lagi-lagi rasa geli mengalahkan keinginannya.

“Sekarang, sebaiknya kita bersiap-siap. Sebentar lagi Subuh. As nggak mau ketinggalan salat seperti malam kemarin.” Arzan menyunggingkan bibirnya. “Aa dulu, atau Neng yang mau ke kamar mandi sekarang?”

“Aa aja. Neng mau beresin tempat tidur dulu,” jawabnya sambil berdiri, lalu duduk kembali di sisi ranjang sambil meraih selimut yang ia pakai semalam.

Detik kemudian Arzan ikut berdiri. Namun, ia langsung berjalan dan menyambar handuk yang menggantung di balik pintu, sebelum pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dulu. Di luar kamar Arzan tidak mendapati aktivitas apa pun karena ayah dan ibu mertuanya masih di dalam kamar.

Barulah setelah selesai mandi dan wudu, Arzan mendapati Laksmi sudah ada di dapur. Ia yang masih merasa kikuk walau sudah tiga hari tinggal di sana pun hanya mengangguk sambil menyapa. Dibalas anggukan pula oleh Laksmi yang hendak ke kamar mandi.

Begitu Arzan masuk ke kamar lagi, Nafisa sudah selesai dengan pekerjaannya. Kamar kembali rapi, termasuk kasur lantai yang tadi masih menggelar di lantai bersama bantal dan guling, menumpuk bersama selimut di kaki ranjang.

“Di kamar mandi ada ibu, Neng.”

Nafisa mengangguk, mengindahkan kata-kata lelakinya. Namun, ia tetap keluar kamar dan mendapati Laksmi baru saja keluar dari kamar mandi.

“Udah?” Tiba-tiba Laksmi bertanya, membuat Nafisa menautkan kedua alis lebatnya, terheran-heran.

“Apanya yang udah, Bu?”

“Itu, loh. Masa nggak paham?” Laksmi mengangkat-angkat sebelah alis, berharap Nafisa akan paham dengan maksudnya. Akan tetapi, Nafisa semakin merasa heran.

“Ya, emang nggak paham, Bu.”

Astagfirullah.” Laksmi berdecak sambil menggeleng. “Benar-benar kamu, tuh. Itu loh, malam pertama?”

“Oh ... eh, malam pertama?” tanyanya balik. “Kenapa nanya gitu? Dih, Ibu mah kepo!”

“Loh, loh. Bukan gitu. Ibu hanya khawatir. Kok, rambutmu nggak pernah basah, Neng? Pamali, loh, kalau belum melayani suami.”

“E-enggak, kok. Bukan gitu juga. Neng cuma  lagi haid, Bu.” Nafisa menjawab pelan, takut kalau tiba-tiba Arzan keluar dan mendengar percakapannya dengan Laksmi.

“Nggak bohong, 'kan?” Laksmi terdengar menyelidik. “Pamali, loh. Dosa kalau kamu nolak.”

“Iya, iya. Neng juga tahu, Bu,” jawabnya, “sudah. Neng mau mandi dulu. Gerah.”

“Subuh, kok, gerah!” Laksmi mengumpat pelan begitu Nafisa hilang di balik pintu kamar mandi, merasa lucu sekaligus aneh melihat reaksi anaknya barusan.

‘Gimana mau nolak? Aa-nya juga nggak mau!’ Nafisa bersungut-sungut begitu sampai di kamar mandi. Ia mendadak semakin kesal, merasa jengkel sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status