Share

Bab. 8. Masa Nyosor Duluan

"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."


*** 


‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.

Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.

Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”

“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.

“Iya, sih. Tapi, kan harusnya jangan gitu,” sungut Nafisa dengan bibir yang seketika mengerucut. Kesal walau Arzan tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

Hening.

Melihat Nafisa dengan begitu dekat, ternyata tak sehoror yang Arzan pikir. Terlebih saat mendengar Nafisa bicara banyak dengan ekspresi tak dibuat-buat, ingin rasanya Arzan mendekap dan mengecup selengkung tipis kemerahan wanitanya itu.

Namun, entah kenapa, Arzan tak seberani apa yang diinginkannya. Dia hanya mampu menelan ludah, menahan hasrat yang tiba-tiba menggelitik hati seperti kemarin, sebelum tahu kalau Nafisa memiliki rambut kribo.

“Oh, iya!” seru Nafisa begitu sadar akan sesuatu yang mungkin bisa memancing lebih banyak perhatian Arzan terhadapnya. “Neng mau pakai KB, nggak apa-apa?”

“Pil KB?” Arzan yang sedari tadi menatap wajah Nafisa mengernyit, mencipta lipatan-lipatan kecil di keningnya. Nafisa mengangguk. “Kenapa?”

“Buat jaga-jaga aja, sih. Siapa tahu, kalau nanti tiba-tiba Aa udah siap menggauli Neng,” tutur Nafisa dengan bibir tersungging getir.

Ada rasa sakit setiap kali Nafisa ingat, kalau Arzan mungkin memang tak mau menyentuhnya. Tak tahan menahan air yang seketika menggumpal, ia menunduk dan menyapunya cepat. Lalu tersenyum getir saat kembali mengangkat wajah.

“Tapi, kalau Aa mau cepat-cepat punya anak, Neng bakal buang pilnya,” lanjut Nafisa sambil mengalihkan wajah dari tatapan Arzan. Ia melihat ke sisi kiri, menatap kosong rak sepatu di samping pintu.

'Kode, nih!” pikir Arzan sebelum akhirnya benar-benar menyadari keresahan hati Nafisa. Dia lantas beringsut, sedikit lebih maju sampai hanya berjarak sejengkal tangan lelaki dengan istrinya itu.

Namun, belum sempat Arzan menjawab, Nafisa kembali menoleh. “Kenapa diam? Aa nggak mau punya anak dari Neng, ya?” tuduhnya, kadung merasa kesal karena reaksi Arzan yang seperti tak peduli.

“Eh, bukan gitu, Neng. Kok, mikirnya sampe sejauh itu?” Refleks, tangan Arzan meraih jemari lentik Nafisa yang dikata panjang olehnya. Menggenggamnya erat dengan kedua tangan berkeringat dingin.

“Entah! Yang jelas Neng kecewa,” jelas Nafisa sambil menarik sebelah tangannya dari genggaman Arzan. Ternyata, membahas KB yang sebenarnya tak pernah ia beli tidak membuat Arzan bersikap seperti yang dia ingin. ‘Dasar nggak peka! Ngomong apa, kek. Bukannya malah diam! Masa iya setuju-setuju aja kalau aku pakai KB?’

                                                                  ***

Matahari sudah sejak tadi tenggelam, berganti bulan dengan ribuan bintang di langit malam. Hening, suasana di kampung Jati memang tak seramai di kampung Neglasari. Tidak ada suara motor atau pun mobil melaju saat jam mencapai pukul sepuluh. Akan tetapi ramai oleh suara binatang kecil seperti jangkrik, katak dan burung hantu.

Namun, suara seirama yang berasal dari jangkrik tak membuat sepasang pengantin baru di dalam kamar itu terganggu. Keduanya diam membisu sejak berakhirnya obrolan sore tadi. Di ranjang super jumbo Nafisa meringkuk, memeluk guling ke arah sebelah kanannya dengan tatapan kosong. Sedangkan Arzan, dia tidur telentang dengan kedua tangan sebagai bantal di kasur lantai, sebelah kiri ranjang. Sorot matanya pun kosong saat menatap langit-langit kamar.

‘Bukan ini yang kubayangkan sebelum pernikahan. Tapi kenapa, cinta yang semula kumiliki seolah sirna hanya karena kekurangan yang dimiliki Nafisa?’ Arzan bergumam dalam hati, tanpa mengubah posisi tidur. ‘Aku, sepertinya terlalu egois dan menuntut. Sampai tak mampu menerima kenyataan, saat apa yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan.’

Entah kali ke berapa ia mengucap hal yang sama pada diri sendiri. Mencari alasan pas tentang perasaannya yang tiba-tiba berubah, untuk kemudian kembali menata hati. Seperti kata ibunya, tak mungkin jika Arzan harus memutus pernikahan yang baru seumur jagung. Terlebih, hanya karena merasa geli dengan kondisi fisik Nafisa.

Lalu Nafisa, wanita yang baru saja selesai salat Isya itu menyusupkan wajahnya di antara guling dan bantal. Dia berusaha menahan tangis, walau akhirnya tetap berderai. Tangisnya pecah tanpa suara sampai kantuk menguasai matanya. Dia terlelap bersama gundah, mencipta mimpi yang tak berbekas ketika bangun.

Nafisa mengerjap pelan begitu suara azan Subuh terdengar. Lantas berbalik badan dengan mulut ditungkup saat menguap lebar. Sembari duduk, dilihatnya kasur lantai yang sudah kosong. Rupa-rupanya, Arzan yang semalam tidak begitu lelap sudah lebih dulu terbangun.

Tahu kalau sudah pasti Arzan pergi ke masjid, Nafisa pun beranjak turun dari ranjang. Ia melangkah gontai ke luar kamar, menyusuri setiap ruang untuk sampai di kamar mandi. Namun, begitu sampai di dapur, Laksmi mengejutkannya dengan pertanyaan yang selalu sama.

“Masih haid?”

“Masih, Bu.” Setengah bergumam, Nafisa menjawab pelan tanpa gairah atau semangat. Tidak ingin mendengar pertanyaan lain dari ibunya yang super kepo, ia pun melangkah masuk ke kamar mandi.

Namun, belum sempat Nafisa menutup pintu, ibunya kembali berseru.

“Bohong, ah! Masa haid, kamu salat terus?” Laksmi memancing emosi. Ingin tahu, reaksi apa yang akan ditunjukkan anaknya. Nafisa pun akhirnya menghela napas kasar. Malas, jika dia harus membahas sesuatu yang sebenarnya mencipta luka. Namun, ia tahu betul, Laksmi bukan tipe orang yang mudah puas.

“Neng beneran lagi haid, Bu.”

“Yakin?” todong Laksmi, tak bosan-bosan memastikan hubungan intim anaknya setiap hari. Bukan mengapa, sebagai seorang ibu dia hanya ingin memastikan kebahagiaan anaknya. Nafisa mengangguk sambil menutup pintu rapat-rapat.

Di dalam, alih-alih langsung mandi, Nafisa justru bersandar sambil menengadahkan wajah, mengatur napas sejenak. Barulah setelah dirasa tenang, ia segera membuka baju. Dingin seketika menyergap begitu guyuran demi guyuran air membasuh seluruh tubuhnya. Membuat Nafisa merasa segar, bahkan hilang rasa kesal yang semula menguasai hati juga pikiran. Terlebih setelah ia selesai wudu, musnah sudah amarah yang sejak semalam menggebu-gebu di relung kalbu.

Kagetnya, begitu Nafisa keluar dari kamar mandi, ia melihat Laksmi yang hendak mengetuk pintu. Ibunya itu menyengir, lalu kembali menurunkan sebelah tangan.

“Ibu pikir masih lama,” kata Laksmi.

“Nggak. Kenapa gitu, Bu?” tanya Nafisa, sedikit malas karena enggan jika harus membahas soal haid dan tidak dirinya itu.

“Pagi-pagi sekali ibu mau keluar. Kamu terusin masak, ya?”

“Mau ke mana memang?”

“Mau nagih utang. Paling bentaran doang,” timpal Laksmi sambil melangkah mundur, memberi jalan pada Nafisa.

“Kalau hasil, pulang beli es cendol, ya?” Nafisa menyeringai. Sudah lama ia tidak menikmati minuman segar dan manis itu. Walau sebenarnya, itu hanya candaan untuk menghibur diri saja.

“Cendol aja yang dipikirin! Taklukan dulu suamimu, baru es cendol,” celetuk Laksmi sambil menahan tawa. Namun, lagi-lagi Nafisa kurang suka dengan apa yang dikatakan ibunya, sekalipun itu hanya bercanda.

‘Dih, Ibu!’ rutuk Nafisa di dalam hati. Bibirnya seketika mengerucut bak bibir celurut. ‘Aku harus gimana coba, kalau Aa-nya nggak mau. Masa mau menyosor duluan?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ci panda
wkwkwk spertinya harus siap2 nabung soalnya ceritanya bagus bangeeet! eh kak author ada sosmed engga? aku pingin follow kakak~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status