Beranda / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Bab. 8. Masa Nyosor Duluan

Share

Bab. 8. Masa Nyosor Duluan

Penulis: AlphQueen
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-23 16:51:16

"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."


*** 


‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.

Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.

Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”

“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.

“Iya, sih. Tapi, kan harusnya jangan gitu,” sungut Nafisa dengan bibir yang seketika mengerucut. Kesal walau Arzan tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.

Hening.

Melihat Nafisa dengan begitu dekat, ternyata tak sehoror yang Arzan pikir. Terlebih saat mendengar Nafisa bicara banyak dengan ekspresi tak dibuat-buat, ingin rasanya Arzan mendekap dan mengecup selengkung tipis kemerahan wanitanya itu.

Namun, entah kenapa, Arzan tak seberani apa yang diinginkannya. Dia hanya mampu menelan ludah, menahan hasrat yang tiba-tiba menggelitik hati seperti kemarin, sebelum tahu kalau Nafisa memiliki rambut kribo.

“Oh, iya!” seru Nafisa begitu sadar akan sesuatu yang mungkin bisa memancing lebih banyak perhatian Arzan terhadapnya. “Neng mau pakai KB, nggak apa-apa?”

“Pil KB?” Arzan yang sedari tadi menatap wajah Nafisa mengernyit, mencipta lipatan-lipatan kecil di keningnya. Nafisa mengangguk. “Kenapa?”

“Buat jaga-jaga aja, sih. Siapa tahu, kalau nanti tiba-tiba Aa udah siap menggauli Neng,” tutur Nafisa dengan bibir tersungging getir.

Ada rasa sakit setiap kali Nafisa ingat, kalau Arzan mungkin memang tak mau menyentuhnya. Tak tahan menahan air yang seketika menggumpal, ia menunduk dan menyapunya cepat. Lalu tersenyum getir saat kembali mengangkat wajah.

“Tapi, kalau Aa mau cepat-cepat punya anak, Neng bakal buang pilnya,” lanjut Nafisa sambil mengalihkan wajah dari tatapan Arzan. Ia melihat ke sisi kiri, menatap kosong rak sepatu di samping pintu.

'Kode, nih!” pikir Arzan sebelum akhirnya benar-benar menyadari keresahan hati Nafisa. Dia lantas beringsut, sedikit lebih maju sampai hanya berjarak sejengkal tangan lelaki dengan istrinya itu.

Namun, belum sempat Arzan menjawab, Nafisa kembali menoleh. “Kenapa diam? Aa nggak mau punya anak dari Neng, ya?” tuduhnya, kadung merasa kesal karena reaksi Arzan yang seperti tak peduli.

“Eh, bukan gitu, Neng. Kok, mikirnya sampe sejauh itu?” Refleks, tangan Arzan meraih jemari lentik Nafisa yang dikata panjang olehnya. Menggenggamnya erat dengan kedua tangan berkeringat dingin.

“Entah! Yang jelas Neng kecewa,” jelas Nafisa sambil menarik sebelah tangannya dari genggaman Arzan. Ternyata, membahas KB yang sebenarnya tak pernah ia beli tidak membuat Arzan bersikap seperti yang dia ingin. ‘Dasar nggak peka! Ngomong apa, kek. Bukannya malah diam! Masa iya setuju-setuju aja kalau aku pakai KB?’

                                                                  ***

Matahari sudah sejak tadi tenggelam, berganti bulan dengan ribuan bintang di langit malam. Hening, suasana di kampung Jati memang tak seramai di kampung Neglasari. Tidak ada suara motor atau pun mobil melaju saat jam mencapai pukul sepuluh. Akan tetapi ramai oleh suara binatang kecil seperti jangkrik, katak dan burung hantu.

Namun, suara seirama yang berasal dari jangkrik tak membuat sepasang pengantin baru di dalam kamar itu terganggu. Keduanya diam membisu sejak berakhirnya obrolan sore tadi. Di ranjang super jumbo Nafisa meringkuk, memeluk guling ke arah sebelah kanannya dengan tatapan kosong. Sedangkan Arzan, dia tidur telentang dengan kedua tangan sebagai bantal di kasur lantai, sebelah kiri ranjang. Sorot matanya pun kosong saat menatap langit-langit kamar.

‘Bukan ini yang kubayangkan sebelum pernikahan. Tapi kenapa, cinta yang semula kumiliki seolah sirna hanya karena kekurangan yang dimiliki Nafisa?’ Arzan bergumam dalam hati, tanpa mengubah posisi tidur. ‘Aku, sepertinya terlalu egois dan menuntut. Sampai tak mampu menerima kenyataan, saat apa yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan.’

Entah kali ke berapa ia mengucap hal yang sama pada diri sendiri. Mencari alasan pas tentang perasaannya yang tiba-tiba berubah, untuk kemudian kembali menata hati. Seperti kata ibunya, tak mungkin jika Arzan harus memutus pernikahan yang baru seumur jagung. Terlebih, hanya karena merasa geli dengan kondisi fisik Nafisa.

Lalu Nafisa, wanita yang baru saja selesai salat Isya itu menyusupkan wajahnya di antara guling dan bantal. Dia berusaha menahan tangis, walau akhirnya tetap berderai. Tangisnya pecah tanpa suara sampai kantuk menguasai matanya. Dia terlelap bersama gundah, mencipta mimpi yang tak berbekas ketika bangun.

Nafisa mengerjap pelan begitu suara azan Subuh terdengar. Lantas berbalik badan dengan mulut ditungkup saat menguap lebar. Sembari duduk, dilihatnya kasur lantai yang sudah kosong. Rupa-rupanya, Arzan yang semalam tidak begitu lelap sudah lebih dulu terbangun.

Tahu kalau sudah pasti Arzan pergi ke masjid, Nafisa pun beranjak turun dari ranjang. Ia melangkah gontai ke luar kamar, menyusuri setiap ruang untuk sampai di kamar mandi. Namun, begitu sampai di dapur, Laksmi mengejutkannya dengan pertanyaan yang selalu sama.

“Masih haid?”

“Masih, Bu.” Setengah bergumam, Nafisa menjawab pelan tanpa gairah atau semangat. Tidak ingin mendengar pertanyaan lain dari ibunya yang super kepo, ia pun melangkah masuk ke kamar mandi.

Namun, belum sempat Nafisa menutup pintu, ibunya kembali berseru.

“Bohong, ah! Masa haid, kamu salat terus?” Laksmi memancing emosi. Ingin tahu, reaksi apa yang akan ditunjukkan anaknya. Nafisa pun akhirnya menghela napas kasar. Malas, jika dia harus membahas sesuatu yang sebenarnya mencipta luka. Namun, ia tahu betul, Laksmi bukan tipe orang yang mudah puas.

“Neng beneran lagi haid, Bu.”

“Yakin?” todong Laksmi, tak bosan-bosan memastikan hubungan intim anaknya setiap hari. Bukan mengapa, sebagai seorang ibu dia hanya ingin memastikan kebahagiaan anaknya. Nafisa mengangguk sambil menutup pintu rapat-rapat.

Di dalam, alih-alih langsung mandi, Nafisa justru bersandar sambil menengadahkan wajah, mengatur napas sejenak. Barulah setelah dirasa tenang, ia segera membuka baju. Dingin seketika menyergap begitu guyuran demi guyuran air membasuh seluruh tubuhnya. Membuat Nafisa merasa segar, bahkan hilang rasa kesal yang semula menguasai hati juga pikiran. Terlebih setelah ia selesai wudu, musnah sudah amarah yang sejak semalam menggebu-gebu di relung kalbu.

Kagetnya, begitu Nafisa keluar dari kamar mandi, ia melihat Laksmi yang hendak mengetuk pintu. Ibunya itu menyengir, lalu kembali menurunkan sebelah tangan.

“Ibu pikir masih lama,” kata Laksmi.

“Nggak. Kenapa gitu, Bu?” tanya Nafisa, sedikit malas karena enggan jika harus membahas soal haid dan tidak dirinya itu.

“Pagi-pagi sekali ibu mau keluar. Kamu terusin masak, ya?”

“Mau ke mana memang?”

“Mau nagih utang. Paling bentaran doang,” timpal Laksmi sambil melangkah mundur, memberi jalan pada Nafisa.

“Kalau hasil, pulang beli es cendol, ya?” Nafisa menyeringai. Sudah lama ia tidak menikmati minuman segar dan manis itu. Walau sebenarnya, itu hanya candaan untuk menghibur diri saja.

“Cendol aja yang dipikirin! Taklukan dulu suamimu, baru es cendol,” celetuk Laksmi sambil menahan tawa. Namun, lagi-lagi Nafisa kurang suka dengan apa yang dikatakan ibunya, sekalipun itu hanya bercanda.

‘Dih, Ibu!’ rutuk Nafisa di dalam hati. Bibirnya seketika mengerucut bak bibir celurut. ‘Aku harus gimana coba, kalau Aa-nya nggak mau. Masa mau menyosor duluan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
ci panda
wkwkwk spertinya harus siap2 nabung soalnya ceritanya bagus bangeeet! eh kak author ada sosmed engga? aku pingin follow kakak~
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 81. Akhir Dari Sebuah Cerita Cinta

    Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 80. Akhir Dari Sebuah Pertemuan

    “Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 79. Melepas Pergi

    SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 78. Meringis Kesakitan

    Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 76. Permainan yang Menantang

    BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.

  • Malam Pertama yang Tertunda   Bab. 75. Sama-Sama Kaku

    Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status