"Ini malam pertama kita, aku harap kamu senang padaku."
Rania yang sedang duduk di depan cermin menatap pria itu lewat pantulan cermin di hadapannya. "Ingat, Mas. Kita menikah karena wasiat suamiku." "Iya, aku tau. Aku gak akan macam-macam padamu." Rania memilih bangkit dan tidur di sofa. Sebelumnya ia sudah menyiapkan bantal dan selimut untuk dirinya tidur. Empat bulan sudah berlalu, wasiat sang suami ia lakukan karena cintanya ia pada Andika, Azka juga sangat menyukai Aldi yang sekarang telah menjadi ayah sambungnya. Tapi tangis itu masih ada, rasa rindu itu semakin terasa kuat jika mengingat bayang demi bayang saat-saat bersama dulu. Malam ini, wanita itu kembali menangis mengingat sang suami. Malam yang hening hanya terdengar suara isakannya. Aldi yang sedari tadi ternyata belum tidur, ia hanya diam mendengar isakan sang istri. Ingin sekali rasanya menghampiri dan menenangkan, tapi urung ia lakukan. *** Malam berlalu, pagi sekali wanita itu sudah bangun untuk menyiapkan sarapan Aldi dan sang anak. Ia juga harus pergi ke toko yang sudah Andika dirikan selama enam tahun itu. "Selamat pagi!" seru Aldi, sambil mengecup gemas pipi Azka ke merah-merahan. "Pagi, Om!" "Wahh, makannya banyak. Pinter nih anak Ayah." Meskipun Azka masih memanggilnya dengan sebutan 'Om', tapi sebisa mungkin Aldi akan berusaha sampai anak itu memanggilnya dengan sebutan ayah. "Iya, Om juga makan yang banyak, ya. Biar kuat kaya aku!" "Iya, Sayang." "Mas, makanannya." Rania menyodorkan sepiring nasi goreng di hadapan Aldi. Pria itu mengambilnya dengan senyuman. "Makasih, Bunda. Udah bilang makasih belum?" Pria itu mencolek dagu sang anak. "Makasih, Bunda, karena udah bikinin aku sarapan." "Pinter!" Aldi mengusap lembut kepala Azka, sedangkan Rania hanya tersenyum tipis di hadapan sang anak. Ia tak sengaja menatap Aldi, yang ternyata tengah menatapnya juga sambil tersenyum. Sontak Rania memalingkan wajah, ia ikut duduk di kursi dan menikmati sepiring nasi goreng buatannya. Selepas sarapan, wanita itu bersiap untuk pergi ke toko. Aldi yang kebetulan belum berangkat, ia menghampiri sang istri yang sedang memakai hijab. "Mau aku antar, sekalian berangkat?" "Gak usah, Mas. Makasih." "Gak papa, Mas antar aja, ya." Rania berbalik menghadap pria itu sambil menatapnya. "Aku bisa sendiri. Makasih atas tawarannya." Kemudian ia menyambar tas dan keluar dari kamar. Sedangkan Aldi hanya tersenyum, betapa sabarnya ia menghadapi Rania yang di mana tidak pernah menerima apa pun tawarannya. Bahkan cenderung dingin padanya. Pria itu memilih untuk bersiap menuju kantor, ia berpamitan dengan Azka sebelum berangkat. Sedangkan Rania, ia melihat motor wanita itu sudah tidak ada. *** "Pagi, Bu!" "Loh, kok ada tulisan di sita, Nis?" Rania yang baru saja sampai di tempat toko kue sang suami, ia terkejut melihat toko itu telah di sita oleh Bank. "Aku juga gak tau, Bu. Pas sampai tadi toko udah begini. Gimana ini, Bu." "Bentar, aku telpon orang dulu ya, Nis." Wanita itu berogoh ponsel dan menelpon seseorang. Di kantor, Aldi tersenyum saat mendapati telpon dari istrinya itu. "Halo, Mas. Maaf ganggu, toko kue Mas Andika kok di sita, ya? Masalahnya ini gak ada nelpon ke aku orangnya. Ini gimana." "Nanti aku jelasin di rumah, ya. Tapi untuk sementara, toko itu di sita karena Andika meminjam uang pada Bank." "Apa? Meminjam uang untuk apa, Mas?" "Nanti aku jelasin di rumah, ya." Telpon terputus, membuat Rania kesal dan meminta Nisa untuk pulang lebih dulu. Sedangkan dia menyusul ke kantor Aldi karena penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Ia tak tahan jika harus menunggu sampai suaminya itu pulang. Sampai di sana, Rania melihat-lihat, gedung mana yang ditempati oleh Aldi, ia mengingat nama perusahaan itu, kemudian melaju lagi dan masuk ke parkiran. Namun, saat ingin memasuki area kantor, ia dicegat security di mintai keterangan. "Saya mau ketemu Pak Aldi." "Maaf, apa sudah ada janji sebelumnya?" "Pak, saya itu—" Rania menutup mulutnya, sangat tidak ingin ia mengakui bahwa dirinya adalah istri dari Aldi. "Maaf, Bu. Kalau belum ada janji, Ibu tidak bisa masuk."*Pagi menyapa, Rania yang tertidur di kursi tunggu rumah sakit, ia dibangunkan oleh suster karena Aldi sudah siuman, dan orang yang pertama ia panggil adalah Rania. Wanita itu dengan cepat mengikuti suster untuk masuk. Ia duduk di samping sang suami sembari menggenggam tangannya. "Mas... kamu udah sadar.""Rania....""Aku di sini, Mas.""Kamu baik-baik aja, kan?" Suara Aldi masih pelan dan serak. Wanita itu mengangguk, air mata kembali luruh begitu saja. Ia mencium tangan sang suami dan memeluk tangannya. Rasa takut kehilangan tiba-tiba muncul, ia tidak mau kehilangan suami untuk yang kedua kalinya. "Harusnya yang berbaring di sini sekarang itu aku, Mas. Kenapa kamu malah ngalangin aku.""Karna aku takut kamu kenapa-napa.""Bodoh kamu, Mas!" ujar Rania, ia merasa sangat bersalah karena selama ini selalu menganggap Aldi tidak ada.Sedangkan pria itu hanya tersenyum menanggapi perkataan istrinya. Hari-hari berlalu, wanita itu dengan cekatan membantu sang suami. Dari menyuapinya ma
Rania turun dari mobil dengan wajah yang cemberut. Ia melangkah masuk kembali ke kantor tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Aldi.Sedangkan pria itu hanya menggeleng pelan, kemudian ia menelpon seseorang untuk menyelidiki siapa pria yang tadi bersama Rania. Aldi rasa, mereka akrab sekali. Pria itu memutuskan untuk pergi, ia ada janji dengan seseorang yang akan ditemui sore ini. Sesampainya di hotel, pria itu langsung datang ke jamuan makan bersama yang sudah disediakan. Obrolan tentang bisnis dan kerja sama di dalamnya. Namun, ada satu perempuan yang sedari tadi menatap Aldi tak berkedip. Dia juga iseng mengambil minuman dan duduk di samping Aldi saat orang lain sebagian sudah pergi. "Kamu Aldi, kan?" tanyanya. "Hmm," jawab pria itu dingin. Perempuan itu tersenyum menggoda, ia mengibaskan rambutnya, kemudian menatap pria itu. "Kamu pasti sudah tau kan siapa aku?"Malas sekali Aldi rasa, harus meladeni perempuan yang sama sekali tidak menarik hatinya. Hanya buang-buang waktu s
"Mmm, kita mau ke mana?""Ayo tebak. Mau ke mana?"Wanita itu menggeleng pelan."Nanti kamu juga tau."Rania mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan ia tak banyak mengobrol. Mereka pun telah sampai di tempat yang dituju. Rania turun dengan tatapan penuh kerinduan pada tempat itu. Ia melirik pria di sampingnya yang sedang tersenyum, memberikan kode untuk ia menggandeng tangannya. Rania pun menerima tawaran itu, ia menggandengnya dan mereka memasuki area cafe yang banyak sekali kenangan di dalamnya. Mereka duduk, pria itu memesan makanan legend yang dulu selalu mereka pesan.Tak lama, pesanan itu pun datang."Nih, banana milk dengan steak ayam saus jamur. Kentangnya setengah matang, kesukaan kamu.""Kamu masih ingat?" tanya Rania. "Mana mungkin aku lupa makanan kesukaan kekasihku."Rania berdehem mendengar itu. Ia tak membenarkan apa yang dikatakan oleh pria bernama Irfan itu. "Oh, maaf. Maksudku, mantan kekasih."Rania mencoba tersenyum, ia kemudian menikmati makanan itu saat Irfan
"Pagi yang indah, istriku.""Hmm.""Gak mau bangun nih? Kayaknya enak banget ya tidur di pelukan aku.""Hmm?" Rania yang baru membuka mata itu mendongak, mengucek matanya dan kini terlihat jelas siapa yang berbicara. Aldi tersenyum menatap sang istri. Tangannya digenggam oleh tangan Rania yang sebelah kiri, sedangkan wajah wanita itu masih menempel di dadanya. "Apa aku bilang. Nyaman kan tidur di pelukan suamimu ini."Rania yang menyadari itu langsung menarik diri, ia merasa malu, kejadian itu terulang kembali. "Dasar modus!" umpatnya."Aku?" Aldi yang mendengar itu langsung duduk, ia mencondongkan tubuhnya kepada Rania, membuat wanita itu memundurkan tubuhnya."Kan kamu yang deketin aku duluan. Emangnya semalam gak ingat, apa yang kamu lakuin ke aku? Bahkan, seumur hidup pun aku tidak akan bisa melupakannya.""Memangnya apa yang aku lakuin?" tanya Rania cemas, sembari mengingat apa yang semalam ia lakukan. Perasaan dia tertidur pulas tanpa bangun sama sekali. "Kamu lupa atau pur
"Ya... takut aja. Kalau kayak waktu itu lagi, aku kan kalau tidur orangnya gak bisa diem. Di sofa aja sering jatoh kadang-kadang.""Hah, yang bener? Tuh kan... Udah, mulai sekarang, kamu tidur sama aku di ranjang. Jangan di sofa lagi.""Tapi—""Masih mau nolak?"Wanita itu mau tak mau mengalah. Ia akan pikirkan caranya nanti, biar tidak satu ranjang dengan sang suami tapi dia masih bisa tidur dengan pulas. ***Selepas bekerja, mereka kembali ke rumah. Azka sudah menunggu walaupun malam mulai larut. Anak kecil itu ingin mengobrol dulu dengan sang ayah. Ia berteriak gembira saat keduanya masuk ke rumah. Mbok Nem meminta maaf karena tidak menidurkan Azka seperti biasa, ia mengeluh bahwa Azka selalu ingin menunggu keduanya untuk pulang.Rania memaklumi, ia meminta Mbok Nem untuk istirahat lebih dulu. Malam ini ia yang akan menemani Azka tidur. Makan malam sudah tersedia, karena dingin wanita itu memanaskannya kembali. Walupun Aldi berucap tidak perlu karena takut sang istri merasa lela
Sepanjang malam Rania tidur hanya sebentar-sebentar, setakut itu dia jika sampai kebablasan dan tidur dalam keadaan memeluk Aldi. Alhasil, pagi ini saat bekerja ia mengantuk, sesekali menguap dan berakhir tertidur dengan beralasan tangan di meja. Nita yang baru selesai mengambil air, ia melihat Rania yang sedang terlelap. Tanpa pikir panjang ia menyiramkan airnya, membuat wanita itu langsung terbangun. "Enak banget Lo ya tidur di kantor, yang lain pada kerja.""Aku....""Kerja. Jangan makan gaji buta!"Nita tersenyum miring melihat wanita itu yang basah kuyup, kemudian kembali ke mejanya. Bukan kerja, tapi malah memainkan ponselnya.Karena basah, wanita itu memutuskan untuk pergi ke toilet, ternyata di sana ada Aldi yang juga baru keluar dari kamar mandi. Pria itu memperhatikan sang istri, ia pun bertanya kenapa bisa seperti ini. "Siapa yang lakuin ini ke kamu?""Nita." Dia sangat ingin rasa memberikan pelajaran pada perempuan itu, jika dia memberikan kesedihan pada sang suami, Ra