Rania berdecak kesal, ia kemudian menelpon kembali Aldi tapi tidak di angkat. Namun, saat wanita itu ingin berbalik, ia melihat Aldi baru turun dari mobil bersama dengan seorang perempuan.
Melihat itu Rania diam-diam memperhatikan perempuan yang bersama dengan Aldi. Mungkinkah itu adalah kekasihnya? "Aku gak bisa nungguin sampai kamu pulang," kata Rania, saat Aldi sudah berada di hadapannya. "Ayo!" Pria itu menarik lembut tangan sang istri menuju ruangannya. Sedangkan para pekerja di sana saling berbisik, mereka tidak tau jika Rania adalah istri dari Sang CEO, karena Aldi dan Rania menikah sama sekali tidak dirayakan. Begitu juga dengan Siska, sang sekretaris Aldi pun tak tau jika bosnya itu telah menikah. Tapi yang ia tau, dia sangat mencintai Aldi, yang sudah tiga tahun menemaninya bekerja. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Tak ingin lama-lama, wanita itu langsung menodong Aldi dengan pertanyaan saat mereka sudah masuk ruangan. Sedangkan Aldi bersikap santai, ia meminta sang istri untuk duduk lebih dulu, ia juga mengambilkan segelas air mineral untuk istrinya minum. "Andika sebenarnya bukan satu tahun ia sakit-sakitan, tapi sudah dua tahun. Satu tahun sebelumnya ia diam-diam periksa diri ke rumah sakit tanpa sepengetahuan siapa pun. Tapi pada saat itu, kebetulan aku ingin mengambil laporan adikku, ternyata dia di rumah sakit yang sama. Kami berbincang, sampai pada akhirnya aku tau bahwa dia sering bulak-balik rumah sakit untuk memeriksa jantungnya yang bermasalah. Sebenarnya toko yang Andika dirikan sudah lama ia jadikan jaminan ke bank, ia juga sudah satu setengah tahun itu tidak bekerja." "Tidak bekerja, lalu selama ini aku dihidupi oleh uang yang Mas Andika ambil dari Bank?" Aldi menggeleng. "Bukan, Ran. Itu uang yang aku berikan padanya. Uang bulananmu, dan semuanya. Nisa juga tau ini sejak lama, makanya aku tadi meminta dia untuk datang ke toko karena kamu juga akan datang ke sana." "Kenapa kamu gak bilang, Mas. Aku bisa melanjutkan semuanya, kenapa kalian tega sembunyikan ini semua dari aku!" "Maaf. Tapi Andika yang meminta ini semua. Aku juga bukan tak mau membiayai rumah sakitnya, tapi ia yang menolak, Ran. Sudah aku bujuk agar hutang di Bank ku batu untuk melunasi, tapi seperti yang kamu tau, Andika bersikeras tidak ingin merepotkan orang lain. Sekarang toko itu sudah di sita, kemungkinan besar tidak akan kembali lagi padamu, Ran." Rania menangis histeris, betapa berat sekali perjuangan sang suami untuk menghidupi dirinya dan sang anak. Aldi yang melihat itu ikut sedih, ia menggesernya tubuhnya lebih dekat pada Rania, kemudian merangkul wanita itu lembut, membuat Rania semakin kencang menangis sambil meremas dada Aldi karena merasa menjadi istri yang tidak berguna. "Pak Aldi laporannya—" Siska terkejut saat masuk dan melihat Aldi dengan Rania tengah berpelukan. Ia langsung meminta maaf saat Aldi menatapnya dan meminta dia untuk keluar. Saat pintu sudah di tutup, perempuan itu mengepalkan tangan dengan rahang yang mengeras. Ia cemburu. *** "Terus sekarang gimana, dari mana aku bisa menghidupi Azka kalau toko itu sudah tutup." Aldi mengusap tangan wanita itu lembut, sampai Rania menatapnya dengan mata yang sembab. "Kamu lupa kalau aku ini adalah ayahnya juga. Amanah Andika bukan hanya meminta untuk menikahimu saja, tapi semua tanggung jawabnya dulu, sekarang menjadi tanggung jawabku." Rania mengalihkan pandangan, ia sedikit bergeser agar lebih jauh dari Aldi. "Tapi aku tidak mau terlalu membebani kamu, Mas. Apalagi kamu hanya...." "Ayah sambung?" Rania mengangguk pelan. "Begini, deh. Kebetulan di kantor ini ada lowongan, bagaimana kalau kamu jadi sekretaris bos. Gajinya lumayan, dan kamu bisa memberikan apa yang kamu inginkan pada Azka." "Sekretaris?" tanya Rania. Aldi mengangguk, ia mengambil berkas yang ada di mejanya. Kemudian memberikan itu pada sang istri. "Besok jam sepuluh wawancara dengan bosnya langsung, aku yakin kamu pasti diterima." "Tapi...."*Pagi menyapa, Rania yang tertidur di kursi tunggu rumah sakit, ia dibangunkan oleh suster karena Aldi sudah siuman, dan orang yang pertama ia panggil adalah Rania. Wanita itu dengan cepat mengikuti suster untuk masuk. Ia duduk di samping sang suami sembari menggenggam tangannya. "Mas... kamu udah sadar.""Rania....""Aku di sini, Mas.""Kamu baik-baik aja, kan?" Suara Aldi masih pelan dan serak. Wanita itu mengangguk, air mata kembali luruh begitu saja. Ia mencium tangan sang suami dan memeluk tangannya. Rasa takut kehilangan tiba-tiba muncul, ia tidak mau kehilangan suami untuk yang kedua kalinya. "Harusnya yang berbaring di sini sekarang itu aku, Mas. Kenapa kamu malah ngalangin aku.""Karna aku takut kamu kenapa-napa.""Bodoh kamu, Mas!" ujar Rania, ia merasa sangat bersalah karena selama ini selalu menganggap Aldi tidak ada.Sedangkan pria itu hanya tersenyum menanggapi perkataan istrinya. Hari-hari berlalu, wanita itu dengan cekatan membantu sang suami. Dari menyuapinya ma
Rania turun dari mobil dengan wajah yang cemberut. Ia melangkah masuk kembali ke kantor tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Aldi.Sedangkan pria itu hanya menggeleng pelan, kemudian ia menelpon seseorang untuk menyelidiki siapa pria yang tadi bersama Rania. Aldi rasa, mereka akrab sekali. Pria itu memutuskan untuk pergi, ia ada janji dengan seseorang yang akan ditemui sore ini. Sesampainya di hotel, pria itu langsung datang ke jamuan makan bersama yang sudah disediakan. Obrolan tentang bisnis dan kerja sama di dalamnya. Namun, ada satu perempuan yang sedari tadi menatap Aldi tak berkedip. Dia juga iseng mengambil minuman dan duduk di samping Aldi saat orang lain sebagian sudah pergi. "Kamu Aldi, kan?" tanyanya. "Hmm," jawab pria itu dingin. Perempuan itu tersenyum menggoda, ia mengibaskan rambutnya, kemudian menatap pria itu. "Kamu pasti sudah tau kan siapa aku?"Malas sekali Aldi rasa, harus meladeni perempuan yang sama sekali tidak menarik hatinya. Hanya buang-buang waktu s
"Mmm, kita mau ke mana?""Ayo tebak. Mau ke mana?"Wanita itu menggeleng pelan."Nanti kamu juga tau."Rania mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan ia tak banyak mengobrol. Mereka pun telah sampai di tempat yang dituju. Rania turun dengan tatapan penuh kerinduan pada tempat itu. Ia melirik pria di sampingnya yang sedang tersenyum, memberikan kode untuk ia menggandeng tangannya. Rania pun menerima tawaran itu, ia menggandengnya dan mereka memasuki area cafe yang banyak sekali kenangan di dalamnya. Mereka duduk, pria itu memesan makanan legend yang dulu selalu mereka pesan.Tak lama, pesanan itu pun datang."Nih, banana milk dengan steak ayam saus jamur. Kentangnya setengah matang, kesukaan kamu.""Kamu masih ingat?" tanya Rania. "Mana mungkin aku lupa makanan kesukaan kekasihku."Rania berdehem mendengar itu. Ia tak membenarkan apa yang dikatakan oleh pria bernama Irfan itu. "Oh, maaf. Maksudku, mantan kekasih."Rania mencoba tersenyum, ia kemudian menikmati makanan itu saat Irfan
"Pagi yang indah, istriku.""Hmm.""Gak mau bangun nih? Kayaknya enak banget ya tidur di pelukan aku.""Hmm?" Rania yang baru membuka mata itu mendongak, mengucek matanya dan kini terlihat jelas siapa yang berbicara. Aldi tersenyum menatap sang istri. Tangannya digenggam oleh tangan Rania yang sebelah kiri, sedangkan wajah wanita itu masih menempel di dadanya. "Apa aku bilang. Nyaman kan tidur di pelukan suamimu ini."Rania yang menyadari itu langsung menarik diri, ia merasa malu, kejadian itu terulang kembali. "Dasar modus!" umpatnya."Aku?" Aldi yang mendengar itu langsung duduk, ia mencondongkan tubuhnya kepada Rania, membuat wanita itu memundurkan tubuhnya."Kan kamu yang deketin aku duluan. Emangnya semalam gak ingat, apa yang kamu lakuin ke aku? Bahkan, seumur hidup pun aku tidak akan bisa melupakannya.""Memangnya apa yang aku lakuin?" tanya Rania cemas, sembari mengingat apa yang semalam ia lakukan. Perasaan dia tertidur pulas tanpa bangun sama sekali. "Kamu lupa atau pur
"Ya... takut aja. Kalau kayak waktu itu lagi, aku kan kalau tidur orangnya gak bisa diem. Di sofa aja sering jatoh kadang-kadang.""Hah, yang bener? Tuh kan... Udah, mulai sekarang, kamu tidur sama aku di ranjang. Jangan di sofa lagi.""Tapi—""Masih mau nolak?"Wanita itu mau tak mau mengalah. Ia akan pikirkan caranya nanti, biar tidak satu ranjang dengan sang suami tapi dia masih bisa tidur dengan pulas. ***Selepas bekerja, mereka kembali ke rumah. Azka sudah menunggu walaupun malam mulai larut. Anak kecil itu ingin mengobrol dulu dengan sang ayah. Ia berteriak gembira saat keduanya masuk ke rumah. Mbok Nem meminta maaf karena tidak menidurkan Azka seperti biasa, ia mengeluh bahwa Azka selalu ingin menunggu keduanya untuk pulang.Rania memaklumi, ia meminta Mbok Nem untuk istirahat lebih dulu. Malam ini ia yang akan menemani Azka tidur. Makan malam sudah tersedia, karena dingin wanita itu memanaskannya kembali. Walupun Aldi berucap tidak perlu karena takut sang istri merasa lela
Sepanjang malam Rania tidur hanya sebentar-sebentar, setakut itu dia jika sampai kebablasan dan tidur dalam keadaan memeluk Aldi. Alhasil, pagi ini saat bekerja ia mengantuk, sesekali menguap dan berakhir tertidur dengan beralasan tangan di meja. Nita yang baru selesai mengambil air, ia melihat Rania yang sedang terlelap. Tanpa pikir panjang ia menyiramkan airnya, membuat wanita itu langsung terbangun. "Enak banget Lo ya tidur di kantor, yang lain pada kerja.""Aku....""Kerja. Jangan makan gaji buta!"Nita tersenyum miring melihat wanita itu yang basah kuyup, kemudian kembali ke mejanya. Bukan kerja, tapi malah memainkan ponselnya.Karena basah, wanita itu memutuskan untuk pergi ke toilet, ternyata di sana ada Aldi yang juga baru keluar dari kamar mandi. Pria itu memperhatikan sang istri, ia pun bertanya kenapa bisa seperti ini. "Siapa yang lakuin ini ke kamu?""Nita." Dia sangat ingin rasa memberikan pelajaran pada perempuan itu, jika dia memberikan kesedihan pada sang suami, Ra