MasukMalam telah meluruh, menaungi kemarahan yang membara di dalam diri Kevin. Kekalahan yang telak dan beruntun, pertama di meja makan dan kemudian di teras belakang, meninggalkan bekas luka pada harga dirinya. Rasa terhina itu menyesakkan dada, menuntut pelampiasan yang belum jua ditemukan. Ia memilih teras depan rumah sang nenek sebagai arena kontemplasi, berusaha menenangkan badai emosi dengan menyeruput kopi hitam yang pahit, uapnya berarak menyatu dengan udara malam yang dingin, dan menghisap rokok dalam-dalam. Asap kelabu mengepul perlahan dari bibirnya, membentuk lingkaran sesaat sebelum larut dalam kegelapan. Aroma tembakau memenuhi indra penciumannya, menawarkan pelipur lara semu dalam kehampaan batin.
Tidak lama kemudian, keheningan pecah oleh derit pintu geser yang terbuka. Siluet Dr. Bima terpampang di ambang pintu, langkahnya mantap menuju tempat Kevin berada. Ia hanya mengenakan kaos oblong putih yang dibiarkan terbuka, mengekspos dada bidangnya yang dominan, serta
Pikiran Lidya sudah kalut sejak telepon dari Alvin. Ada yang tidak beres, Bima pasti sedang menghadapi sesuatu yang besar di balik pintu kantornya yang selalu tertutup rapat itu. Desakan dari keluarga Wisesa? Lidya tidak bisa membayangkan sebesar apa tekanannya sampai seorang Bima Wardhana bisa sepanik itu – Alvin sendiri bilang kalau Bima tidak pernah begini.Bekal makan malam di tangannya terasa berat, bukan karena isinya, tapi karena beban pikiran yang ikut di dalamnya. Semangkuk sup iga kesukaan Bima dan sedikit nasi hangat. Sederhana, tapi Lidya berharap bisa memberikan sedikit kehangatan di tengah badai yang melanda suaminya. Gedung megah Paramitha Corp kini terasa sepi di jam kerja di luar normal ini, lampu-lampu di sebagian besar lantai sudah dimatikan, hanya menyisakan kerlip di beberapa ruangan. Lidya langsung menuju lift pribadi Bima, beruntung OB Rudi masih ada di bawah dan membantunya mengaktifkan akses."Bima?" panggil Lidya lembut, setelah pintu ruang direktur utama ter
Pukul 20.30 malam. Dapur Direksi Cendekia Medika mendadak sibuk—atau setidaknya, itulah yang coba ditampilkan Kaiden dan Vito saat memanggil Office Boy bernama Rudi. Kaiden memegangi bungkusan kopi bubuk premium beraroma kuat, sementara Vito berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius yang dibuat-buat."Rudi," ujar Vito, menyerahkan bungkusan itu ke tangan si OB. "Ini kopi Toraja spesial, langka banget. Dokter Alvin kepingin banget, katanya lagi pusing urusan di atas." Vito menunjuk ke arah lantai dua dengan dagunya, seolah Alvin baru saja menelepon mereka dengan permintaan darurat."Betul," Kaiden menyambung cepat, nadanya meyakinkan. "Titipan dari Dokter Alvin. Beliau masih ngebut kerja di ruangan Dokter Bima, belum balik ke ruangannya sendiri. Jadi, tolong siapin kopi ini untuk beliau. Pastikan kopinya pekat dan panas, ya!"Rudi mengangguk patuh. Ia sudah biasa melayani permintaan mendadak dari para petinggi, dan dokter Alvin adalah salah satu bos besar yang paling ia hormati. Rud
Kafe 'Kopi Jomblo Berkabut' sungguh hidup sesuai namanya. Sudut-sudut remang yang cocok untuk pertemuan rahasia, diiringi alunan musik mellow yang entah kenapa selalu terasa menyalahkan nasib. Kevin Abimanyu Wisesa duduk tegap, tatapannya seolah ingin mengoreksi desain interior tempat itu. Di hadapannya, Vito sibuk memainkan sendok di cangkir kopinya, mencoba menciptakan suara simfoni paling datar di dunia. Sementara itu, Dian, mantan kekasih gelap Kevin, tampil dengan aura skeptis yang begitu kentara, seolah baru saja disuguhi lelucon paling hambar sepanjang abad. Matanya, dulu bersinar karena cinta yang (menurutnya) tulus, kini hanya memancarkan perhitungan akurat seorang akuntan pajak yang berhati batu. Dia sudah lama terasing dari sirkus bernama Cendekia Medika, dan nampaknya tidak terlalu tertarik untuk kembali menjadi badutnya."Aku tahu ini bukan yang kau harapkan dariku, Dian," Kevin memulai, suaranya dipoles rapi, terdengar seperti presentasi bisnis yang siap meruntuhkan ekon
Di dalam apartemen Kaiden, suasana frustrasi mencapai puncaknya. Setiap usaha mencari 'dosa' atau kelemahan Dr. Alvin Mahawira, Wakil Direktur Utama Cendekia Medika yang lurus bak tiang listrik, selalu nihil. Alvin bersih seperti seprai baru yang dicuci tujuh kali bilas. Kaiden, dengan logika dinginnya, kini merancang skenario “out of the box” yang sangat gelap, berisi jiwa-jiwa putus asa."Jika dia memang sangat bersih," Kaiden memulai, suaranya tetap tenang, tapi matanya memancarkan perhitungan dingin. Ia berhenti sejenak, melirik satu per satu wajah tegang teman-temannya. "maka kelemahan itu harus diciptakan. Kita harus menjebaknya untuk membuat kesalahan, dan kesalahan itu harus fatal, yang akan membuat Bima kehilangan kepercayaan."Gerald, yang terlihat lesu, mengerjapkan matanya. "Dijebak bagaimana? Kita bukan agen rahasia yang suka menyelundupkan mata-mata berambut pirang ke markas musuh, Kaiden."Kaiden menghela napas. "Kita permalukan dia," jawabnya singkat. "Kita hancurkan r
Setelah menetapkan Dr. Alvin Mahawira sebagai target utama mereka—yang lebih mirip menunjuk seekor kelinci percobaan di laboratorium ketimbang merencanakan kudeta—ruang rapat rahasia Kevin Abimanyu Wisesa menjadi arena sirkus empat pria bermuka kusut. Gerald, Vito, Kaiden, dan Kevin sendiri. Aroma kopi pahit bersaing sengit dengan aroma kekesalan."Baiklah, jadi Alvin Mahawira. Inti baja, kata Kaiden," Gerald memulai, menyilangkan tangan di dada seolah bersiap mendengarkan khotbah tentang dosa. "Yang seumur hidupnya bahkan mungkin belum pernah buang ingus sembarangan."Vito terkekeh getir. "Sulit dipercaya, tapi dokter seperfeksionis itu memang ada. Kurepormasi kalau tidak salah."Kevin menatap lurus ke arah Kaiden, tatapan mata yang sudah kehilangan kehangatan, digantikan oleh bara yang siap melahap apa saja. "Tugas ini... aku serahkan padamu dan Kaiden. Kau punya jaringan informasi Cendekia Medika. Kaiden, kau bahkan bisa menemukan alamat KTP cacing di kebun rumah Bima, jika dia pun
Apartemen mewah Kaiden membungkus keheningan malam Jakarta dengan atmosfer yang dingin dan penuh perhitungan. Aroma kopi espresso dan sedikit bau tembakau halus melayang tipis di udara, berpadu dengan ketegangan yang menyesakkan. Kevin Abimanyu Wisesa duduk di salah satu sofa kulit hitam, tatapan matanya tajam dan dipenuhi amarah yang membeku. Kekalahan di Cirebon, penipuan terang-terangan yang telah ia saksikan, serta tamparan tegas dari ayahnya, kini telah mengikis sisa-sisa idealismenya. Sosok Kevin yang dikenal kini lebih gelap, diselimuti dendam. Vito dan Gerald duduk di seberangnya, mendukungnya dalam keheningan yang penuh waspada. Sementara itu, Kaiden, yang selama ini memainkan peran pengamat netral yang dingin, kini perlahan menyingkapkan motif aslinya—ia bukan hanya sekutu, tetapi seorang manipulator cerdik yang setia kepada Surya Baskara Hardiwan."Kita tidak punya waktu untuk diliputi emosi sesaat, Kevin," ujar Kaiden, suaranya sedingin es yang mengiris, memecah keheningan







