Ia bergerak menuju minibar minimalis di sudut ruangan, mengambil sebotol air mineral dingin. Desisan halus tutup yang dibuka memecah kesunyian, mengalirkan suara minor ke atmosfer yang tegang. Bima menuangkan air ke dalam gelas kristal elegan, lalu membawanya kembali ke sisi ranjang. Jemarinya bersentuhan lembut dengan tangan Lidia saat ia menyerahkan minuman sejuk itu, sebuah sentuhan yang ambigu.
"Kau terlihat tegang, Lidia," Bima memulai, suaranya tenang, namun mengandung ketegasan tak terbantahkan. Tatapannya menelisik, seolah menembus lapisan-lapisan kedalaman jiwa Lidia. "Kupikir, kau tak perlu merasa bersalah padanya hanya karena kau tidur denganku. Itu adalah asumsi keliru dan tak berdasar. Lagipula, bukankah jelas bukan kau yang memulai keintiman ini? Beban etis itu seharusnya bukan milikmu seorang diri."
Lidia hanya bisa menatap Bima, merasakan getaran aneh menjalar di seluruh tubuhnya. Sensasi ketidakberdayaan yang mendalam bercampur dengan daya tarik kuat m
Di dalam ruang kerja Dokter Raditya yang tertata rapi namun kini terasa berat oleh ketegangan yang pekat, Dokter Raditya menatap Kevin dengan tatapan tajam, menguak kebenaran yang selama ini terkubur dalam-dalam. Kevin duduk membeku di hadapannya, aura ketidakpercayaan menyelimutinya seiring setiap kata yang terucap. Dokter Surya, yang turut hadir dalam pertemuan krusial ini, hanya mengamati, membiarkan Raditya menyampaikan rentetan fakta yang siap mengguncang fondasi pemahaman Kevin."Jadi, ibumu tak pernah memberitahumu kalau kau memiliki hak atas Rumah Sakit Cendikia Medika ini, Kevin?"Dokter Raditya bertanyaPertanyaan itu melayang di udara, membawa bobot realitas yang baru bagi Kevin. Ia menggelengkan kepalanya perlahan, ekspresi kebingungan terpahat jelas di wajahnya, seolah menolak untuk menerima fakta sepenting itu secara tiba-tiba."Tidak, Dokter. Saya tidak pernah menerima informasi semacam itu. Tapi bagaimana mungkin itu terjadi? Ini... ini benar-benar di luar dugaan dan pe
Aroma masakan rumahan yang kaya bumbu menguar lembut dari dapur dr. Asri, ibunda Bima. Di meja makan bundar, cahaya mentari sore menerobos masuk, menyelimuti Lidia yang terlihat sedikit lelah, sisa-sisa energi terkuras usai shift jaga yang panjang di Cendikia Medika. Ia sedang menata peralatan makan di samping Bima yang baru saja tiba di rumah dengan raut wajah serupa."Lidia..." panggil Asri lembut, tatapan sayangnya tak lepas dari menantu barunya. Wajah dan tuturnya yang lembut, kecerdasannya yang tak diragukan telah memikat Asri sejak Bima mengenalkannya lebih dekat, jauh sebelum putranya akhirnya nekat mengikat janji suci secara rahasia. Perasaan itu diperkuat dengan fakta bahwa Bima kini tampak jauh lebih tenang, meskipun terkadang masih bengal dalam urusan di luar pekerjaannya. Untuk saat ini, Asri hanya ingin putranya—Bima—bahagia, tak perlu khawatir soal jodoh lagi. Terutama Bima. Dia yakin Lidia adalah sosok yang tepat untuk 'mengkhatamkan' Bima.
Senja mulai redup, membiaskan cahaya jingga pucat di lapangan basket Cendikia Medika yang lengang. Udara terasa lebih sejuk, tapi wajah Kevin masih terlihat 'leleh' —lesu, sisa-sisa energi habis setelah tugas jaga maraton. Botol lemonadenya tinggal seperempat, sama seperti semangatnya yang mau-tak-mau harus nongkrong bareng Kaiden yang masih sibuk mengetuk-nuk bola basket di tepian lapangan, Vito dengan bungkus bakwan kosong di tangannya, Gerald yang sibuk nyemilin keripik singkong, dan Franda yang tadi dari tadi sibuk mengamati teman-temannya yang kusut masai itu."Gila, jadwal ini bikin kepala gue pengen pecah," keluh Vito, menyenderkan punggungnya ke tiang basket. "Bima ini kenapa sih, bikin pusing kepala tujuh keliling.""Dokter Bima kan nggak suka dengan orang yang pacaran atau punya hubungan pribadi-lah sama sejawat," timpal Gerald lagi, mengangkat plastik bakwannya seolah itu bukti konklusif.Kaiden menangkap bola yang tadi didribelnya. "Tapi masa s
Bola basket oranye memantul dengan suara duk-duk-duk di tangan kanan Gerald, ritmis mengikuti embusan napasnya yang masih memburu.Aroma tanah basah setelah disiram air untuk mengurangi debu bercampur samar dengan keringat dan gairah laki-laki lelah yang baru saja menuntaskan dendam pribadi pada si bola bundar. Kaiden meregangkan ototnya, jangkung dan atletis seperti patung Yunani yang lupa kalau ini era modern. Vito, seleranya tak jauh dari keranjang gorengan yang baru saja tiba, dengan khidmat mengunyah bakwan kawi, sausnya teroles sempurna di sudut bibirnya, seolah-olah bakwan itu adalah perjamuan terakhirnya di muka bumi."Kudengar dokter Bima menikah," Gerald melontarkan bom atom kecil di tengah kedamaian sore mereka, suaranya lebih seperti gerutuan ketimbang obrolan santai. Ia melempar bola ke keranjang, dan dengan tak terduga melesak masuk, menciptakan suara sring tipis dari jaring. Gerald biasanya tidak seakurat itu.Vito hampir tersedak bakwannya. "Dengan siapa?" tanyanya, sua
Kevin menggosok matanya lagi. Bukan sekali dua kali dia mengecek jadwalnya bertugas minggu ini, tapi berkali-kali. Jidatnya berkerut. Mustahil. Sejak kapan jadwalnya yang tadinya hampir selalu bareng Lidia, sekarang tiba-tiba jadi benar-benar kosong? Tidak ada satu pun harinya dia bisa satu tim dengan Lidia. Sama sekali tidak ada. Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang sengaja mengacak-acak jadwalnya, memastikan mereka berdua terpisah. Kevin mendesah, pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benaknya. Siapa sih yang sejahat itu mau memisahkan kami?Dia buru-buru menyambar ponselnya. “Vis, ini kenapa jadwal tugas kok gini banget sih? Aku sama Lidia bener-bener gak ada satu hari pun tugas bareng. Ini ngaco apa gimana?” tanya Kevin, nadanya terdengar jelas tak suka. Dia sudah jalan sambil mendekat ke meja kerja Viska di luar ruangan perawat, seolah Viska itu sumber jawaban segala masalah rumah sakit.Viska, yang lagi sibuk mengecek status pasien di komputernya, mengangkat kepalanya.
"Lidia? Kau serius, dr. Leo Bima Adnyana?" Alvin mengerjap beberapa kali, matanya masih tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Ia mencoba mencerna ulang kalimat Bima, sahabatnya sendiri yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penyesalan mendalam. "Lidia... mahasiswa koas kita? Junior kamu?"Bima hanya mengangguk pendek, menundukkan kepalanya, lalu mengangkat tatapan resah. "Ya.""Tapi Bim..." Alvin tak bisa menahan diri untuk tidak terus mendesak. "Kamu itu… Leo Bima Adnyana! Perfectionis sejati. Anti sama hubungan pribadi apalagi pacaran sama orang sejawat atau bawahanmu sendiri. Aturan emasmu selama ini... Kamu kan tak pernah melanggar aturannya sendiri secantik apapun mahasiswimu atau siapapun yang bekerja di bawah kamu. Kamu... kamu menikah dengan Lidia?" Nada Alvin meninggi, penuh keterkejutan.Bima menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan seolah membuang beban berat dari dadanya. Ia memejamkan mata sebentar, menyentuh keningnya d