Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu.
Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik.Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan.Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya.“Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan.Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya.Nicko pun segera membalikkan badan.“Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko.Tatapan gelisah kini terpancar di kedua bola mata kecokelatan milik Nada. Ternyata walau sudah enam tahun berlalu, Nada masih belum bisa bersikap santai dengan pamannya. Bayangan yang telah samar, perlahan muncul, meminta Nada untuk kembali mengingatnya.“Ayo kembali ke kamar. Apa perlu aku antar kamu?”Nicko tahu betul dengan perubahan sikap Nada yang tiba-tiba. Pria itu tentu masih mengingat betapa hancurnya perempuan ini saat tragedi enam tahun lalu.“Tarik napas, buang pelan-pelan. Lupakan, jangan kamu coba untuk mengingatnya lagi. Selama ini kamu sudah berjuang dan berusaha untuk tetap bertahan. Jangan biarkan enam tahun pelarianmu jadi sia-sia,” bisik Nicko mencoba menguatkan perempuan yang ada di hadapannya.Perlahan Nada melakukan apa yang diinstruksikan oleh Nicko.“Kamu baik-baik saja, Nada,” batin Nada mencoba memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri.“Kenapa? Apa Nada sedang tidak enak badan?” tanya Adrian menyela.Sedari tadi Adrian memperhatikan Nada dan juga Nicko. Dia tahu kalau sebenarnya mereka sekarang sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi. Namun, dari sikap mereka, Adrian tak yakin kalau sebenarnya mereka sama sekali tidak memiliki hubungan.“Ah, iya, Om. Tadi di mobil Nada bilang sedikit pusing. Mungkin efek dari penerbangan yang lebih dari sehari,” jawab Nicko cepat.Merasa khawatir dengan kondisi Nada, Adrian pun mendekat. Namun, dalam momen yang sama, Nada langsung memundurkan langkahnya.“Aku akan kembali ke kamar dan beristirahat,” ucap Nada cepat.“Iya, kembalilah ke kamar.” Nicko mempersilakan Nada. Dengan cepat Nada berbalik dan langsung pergi ke kamarnya.Sedangkan Adrian, masih mematung dengan beberapa pertanyaan yang kini muncul di benaknya.“Kalau begitu saya pamit, Om,” kata Nicko meminta izin.Adrian pun hanya mengangguk. Membiarkan laki-laki itu pergi. Sedangkan dirinya langsung melangkah menuju dapur.Alasan dia terbangun, karena merasa tenggorokannya kering. Kemudian dia sedikit terkejut ternyata keponakannya sudah pulang.Saat Adrian melihat Nada untuk pertama kali setelah enam tahun. Dia merasa keponakannya benar-benar berbeda. Tidak ada wajah lugu dan polos terpancar dari perempuan itu.“Wajarlah, dia sudah dewasa,” gumam Adrian.Entah kenapa, ada sisi di mana Adrian merindukan Nada yang selalu bersikap manja padanya. Sepertinya Nada sudah tidak akan bersikap seperti itu lagi pada Adrian.Bahkan respon keponakannya tadi terlihat seperti menghindar dari Adrian.“Ah, kenapa sampai sekarang sikapnya sangat dingin padaku?” ucap Adrian sambil memijit kening.Selama enam tahun, Adrian terus memiliki pertanyaan yang sama. Selama enam tahun juga dia terus mencari jawaban, tapi tak kunjung menemukannya.Akhirnya setelah Adrian menghabiskan segelas air mineral. Pria yang saat ini sudah berumur 39 tahun itu langsung kembali menuju kamarnya.***Pagi hari, Nada sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan neneknya. Sejujurnya, Nada sendiri tidak bisa tidur, karena terus merasa gelisah.Untung saja sekarang ada Deven. Hanya dengan menatap dan memeluk malaikat kecil itu, hati dan perasaan Nada bisa lebih tenang.“Mama,” panggil Deven dengan suara parau.“Ya?” sahut Nada yang sedari tadi sedang menatap malaikat kecilnya itu.“Badanku masih terasa sakit,” keluhnya sambil beranjak dari tidur dan sekarang dalam posisi duduk.“Sebelah mana yang sakit? Sini Mama pijat,” tutur Nada yang kemudian duduk di belakang Deven.“Ini, Ma.” Anak itu menunjuk ke bagian pundaknya.Nada memijat pelan pundak anaknya. Dia berusaha untuk terlihat tenang, walau hatinya sudah tak karuhan.Apalagi di rumah ini ada Adrian. Pastilah—baik Eva ataupun Adrian—mereka akan mempertanyakan siapa Deven. Walau Nada sudah tahu akan menjawab apa, perasaan gelisah masih tetap mendominasi hatinya.“Nada,” panggil seorang perempuan dari luar sana.Dengan cepat Nada menoleh, itu adalah suara Ratna. Dia pun segera bangkit dan membukakan pintunya.“Tiga puluh menit lagi waktunya sarapan. Apa kamu dan Deven sudah siap? Nyonya dan Mas Adrian ingin sarapan pagi denganmu,” terang Ratna.Nada menelan ludahnya, lalu menarik kedua sudut bibitnya tipis. Nyonya yang Ratna maksud tentu saja Eva.“Baik, Mbak. Deven baru bangun, aku bersiap dulu. Nanti dalam tiga puluh menit kami sudah siap di ruang makan,” terang Nada.Setelah itu Ratna pergi, lalu Nada segera masuk kembali ke kamar. Meminta Deven untuk bersiap karena akan sarapan pagi.“Nanti di sana akan ada nenek Eva dan juga Om Adrian. Kamu jangan lupa untuk ucapkan salam, ya,” pesan Nada pada malaikat kecilnya.“Yes, Mama,” sahut Deven yang kini sudah mengenakan pakaian yang rapi. Walau wajahnya masih terlihat sangat lelah.“Ayok kita ke ruang makan,” ajaknya.Dengan perasaan gelisah yang hampir membuncah, Nada melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Dua hal yang sedang Nada khawatirkan. Pertama tentang keberadaan Adrian. Kedua tentang keberadaan Deven.Namun begitu, Nada berusaha untuk tetap tenang. Tidak ingin memperlihatkan titik terlemahnya.“Selamat pagi, Nenek,” sapa Nada sesaat dirinya sampai di ruang makan.Kedua mata cokelatnya itu bisa melihat sang nenek yang duduk di bagian depan tengah. Kemudian di sisi Eva, terdapat Adrian yang sedang sibuk menatap layar tabletnya. Akan tetapi, dia tidak ingin mempedulikan keberadaan Adrian.Mendengar suara Nada menyapa namanya, Eva pun segera menoleh. Kemudian seulas senyuman bahagia terukir di pipinya.“Selamat pagi Nada, Sayang,” sambut Eva dengan hangat, “kemarilah Nenek sangat merindukanmu,” pintanya.Nada pun segera menghampiri Eva, lalu menyambut pelukan dari neneknya itu.“Kamu nampak sangat sehat, Sayang,” ucap Eva sambil mengamati sosok cucunya.Nada pun tersenyum. Dia merasa perhatian Eva masih fokus padanya.“Iya, Nek. Nenek juga harus sehat seperti aku, ya.”Sedetik kemudian, fokus Eva pun teralihkan. Matanya itu mendapati seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di belakang Nada. Wajah Eva nampak bingung, mempertanyakan siapa sosok anak kecil itu.“Ah, iya.” Nada terkesiap, lalu melangkah mundur mendekat pada anaknya, “Sayang, ayo perkenalkan diri,” pinta Nada.Jangan ditanya bagaimana kondisi jantung Nada sekarang. Sudah tentu seperti tabuhan irama musik drum yang ditabuh tak kenal tempo.“Selamat pagi, Nenek dan Om. Perkenalkan aku Deven,” ucap anak kecil itu.Baik Eva maupun Adrian, mereka sama-sama memperhatikan Deven dengan tatapan bingung.“Dia siapa Nada?”Tanpa membalas sapaan dari Deven, Eva langsung mempertanyakan siapa gerangan anak kecil yang tampak lugu tersebut.“Deven ini anakku, Nek.”Bagaikan sambaran petir yang muncul di pagi hari. Eva dan Adrian sama-sama membulatkan matanya.“A-anakmu?” ucap Eva dengan mulut menganga.BERSAMBUNG ....Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.
Mobil SUV berwarna putih kini melaju kencang menuju kediaman Eva. Adrian; orang yang ada di dalam mobil tersebut, meminta supirnya untuk tidak menemaninya kali ini. Setelah bertemu dengan Kiki; jurnalis yang memang sering mencari celah kekurangan para pebisnis. Adrian merasa harus segera menyelesaikan masalah yang sempat tertunda dengan Nada. Butuh waktu sekitar sembilan puluh menit bagi Adrian untuk sampai di kediaman ibu angkatnya.“Nada di mana, Mbak Ratna?” tanya Adrian yang saat kedatangannya disambut hangat oleh Ratna. “Di kamarnya, Mas. Mau saya panggilkan?” Adrian langsung menggeleng, dia melesat menuju kamar keponakannya. Pintu jati berwarna putih diketuk dua kali oleh Adrian, “Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Di dalam kamar, Nada yang sedang fokus pada ponselnya langsung mengerejap. Matanya langsung menatap ke arah pintu kamar.“Nada, ini Om. Kita harus bicara sebentar.” Adrian kembali memanggil Nada. Kini terdengar nada bicaranya sedikit memaksa. “Ma, mau a
Dengan alis yang hampir bertaut, Nada menatap layar ponselnya. Biasanya Nada tidak pernah mengangkat telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Namun, entah kenapa sekarang dia merasa sedikit bimbang. “Siapa, Ma? Angkat saja,” ucap Deven. “Hah?” Nada menoleh pada anaknya, “oh, iya. Mama angkat telepon dulu sebentar, ya?” katanya meminta izin. Segera Nada mengusap layar ponselnya, lalu menempelkan tombol berwarna hijau. “Halo,” sapa Nada.“Halo, kamu Nada?” tanyanya dengan sedikit suara yang terdengar sewot.“Ya … tapi maaf ini dengan siapa?”“Aku Sisil. Kamu tahu, kan?” Nada mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Sisil.Terdengar suara desahan kasar dari seberang sana, “Huh, aku Sisil tunangan Nicko.”Seketika Nada mengerejap, lalu berkata, “Oh, iya. Ada apa?”Sebenarnya Nada belum pernah bertemu dengan tunangan Nicko ini. Namun, memang beberapa kali Nicko pernah menceritakan tentang tunangannya. “Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu kamu
Mana mungkin Deven tak paham dengan obrolan orang dewasa ini. Walau dirinya masih kecil, tapi Deven tahu kalau dia sedang dibicarakan.“Deven, itu cuman salah paham saja, Sa—“Belum juga Nada selesai mengucapkan kalimatnya. Nicko langsung menyela, “Iya.”Untuk ketiga kalinya; dalam waktu yang kurang dari satu jam, Nada kembali dibuat terkejut. “Nicko!”“Kalau Deven memang mau menganggap Om adalah papa Deven, tidak masalah. Om akan jadi papa Deven,” terang Nicko sambil tersenyum.Deven menarik kedua sudut bibirnya kaku, lalu dia hanya mengangguk.“Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang,” ucap Deven.Nicko mengangguk dan langsung menyalakan mobil. Sedangkan Nada, dia masih mematung, sembari memandang Nicko dan Deven bergantian.Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di rumah. Deven langsung turun dari mobil dan berlari menuju rumah besar itu. “Deven!” Nada memanggil anak laki-lakinya, tapi Deven tak menggubris. Dia tetap berlari memasuki rumah. Nada mendesah, dia bisa menduga ap
Nada berdiri di depan pintu apartemen milik Adrian. Sepanjang jalan, Nada mencoba untuk meneguhkan dan mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan Adrian, di tempat yang dulu hampir setiap hari dikunjunginya. Jari telunjuk Nada menekan tombol bel. Sedikit membutuhkan waktu lebih lama, sampai akhirnya pintu itu dibuka.“Nada, ada apa kamu malam-malam ke sini?” tanya Adrian yang membukakan pintu.“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om,” jawab Nada cepat. Namun, sedetik kemudian dia melihat sosok wanita di belakang Adrian. “Kenapa tidak kamu persilakan masuk dulu, Mas,” ucap Sindy, yang menghampiri Adrian, “halo, Nada sudah lama tidak berjumpa.” Sindy menyapa Nada dengan sebuah senyuman manis. Tentu saja Nada mengenal wanita yang kini sedang memeluk Adrian dari belakang. Ah, rasanya mual sekali melihat wanita itu bergelayut manja pada pamannya. “Aku tidak mau berbasa-basi. Lagi pula kalian tidak ingin aku ganggu lama-lama, bukan?” kata Nada, yang sama sekali tidak berniat untuk mem
“Jangan bercanda, Nada!”Kalimat itulah yang keluar dari mulut Adrian, tatkala mendengar ucapan Nada barusan. Adrian merasa yang dikatakan Nada hanya bualan semata.Nada mendengus, sambil tersenyum sinis, “Benar bukan? Om tidak akan percaya dengan ucapanku.”Nada bisa sedikit bernapas lega, setelah sebelumnya merasakan sesak. Namun, di satu sisi dia merasa sedih, karena memang pamannya ini tidak mengingat apa pun kejadian malam itu.“Jadi, rasanya akan percuma jika aku mengatakan; baik kebenaran atau kebohongan. Nyatanya Om tidak pernah mempercayai ucapanku.”Mata Nada kini sudah terasa panas, bahkan pandangannya sudah sedikit kabur. Dia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia dirasakan.“Om percaya padamu, Nada. Tapi ucapanmu barusan itu sangat keterlaluan sekali,” desah Adrian, lalu dia melanjutkan kalimatnya, “kamu adalah keponakan Om, walau kita hanyalah saudara angkat. Tapi, bagaimanapun juga kamu tetaplah keluarga Om. Om akan selalu melindungimu, kapan p