“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Riuh tepuk tangan terdengar di sebuah aula hotel bintang lima. Bersamaan dengan itu, seorang pria berumur 33 tahun turun dari podium. Ia baru saja didapuk menjadi CEO baru di Victory Group. “Sekali lagi selamat, Mas Adrian,” ucap seorang pria paruh baya menjabat tangannya. “Terima kasih, Pak. Mohon bimbingan dan kerja samanya,” balas Adrian sambil tersenyum bangga. “Kami, para komisaris, percaya kalau kamu bisa melanjutkan pucuk kepemimpinan almarhum Andre, kakakmu.” Adrian mengangguk sambil menaruh tangan kanannya di dada. Suatu kehormatan baginya yang masih terbilang muda, bisa menjabat sebagai pimpinan di Victory Group. Perusahaan yang bergerak di sektor perhotelan dan transportasi udara itu didirikan oleh Victor Galih Hartanto, ayah angkat Adrian. Selama 40 tahun, Victory Group berkembang pesat, bahkan di tangan anak pertamanya, Andre Raymond Hartanto. Sayangnya, Andre meninggal dunia enam bulan lalu akibat kecelakaan, sehingga jabatan tersebut diberikan pada dirinya yang no
Setelah permainan panas berakhir, Adrian tertidur begitu saja–meninggalkan Nada termenung. Beberapa saat, ia menangis. Bahkan, saat pergi dari ruang kerja Adrian, ia masih bercururan air mata. Dipanggilnya taxi dan megurung diri di kamar.Padahal, Nada sangat menyayangi dan menghormati Adrian. Saat sedang kesal atau kecewa, pamannya itu akan menjadi tempat pelarian Nada. Adrianlah yang terus menjaga dan menguatkan Nada selama ini.“Kenapa Om? Kenapa Om melakukan hal itu pada Nada?” lirihnya.***“Shit.” Adrian mengaduh, ketika kepalanya terasa sangat berat.Perlahan, dia memindai sekelilingnya.Pria berumur 33 tahun itu bangkit dari sofa. Ia memikirkan kenapa dirinya bisa terbangun di ruang kerjanya? Semalam, Adrian sedang mengobrol bersama Sindy sembari minum berdua karena sudah hampir tiga bulan tak bertemu. Hanya saja, tak ada yang dia ingat selepas wanita itu meminta izin untuk pulang karena mendapatkan panggilan dari manajernya.Adrian pun memutuskan pulang dan meraih ponseln
Sementara itu, Nada masih menangis di dalam kamar. Bayangan kejadian semalam bersama dengan pamannya terus berputar di benak gadis berusia 22 tahun itu. Nada merasa dirinya hina sekarang karena sudah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan layaknya keluarga—walau faktanya Adrian hanyalah keluarga angkat.“Menjijikan!” ringis Nada yang memukul dirinya sendiri.Untungnya, psikiater yang menangani Nada datang. Meski awalnya memberontak, tetapi ia berhasil ditenangkan.Hari demi hari berlalu.Perlahan, gadis itu pun bisa memulihkan diri.Hanya dalam waktu satu bulan, ia sudah bisa kembali mengontrol emosinya. Namun, Nada masih enggan bercerita pada siapa pun tentang insiden itu.“Nenek, aku ingin melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucapnya mendadak di waktu makan malam mereka.Eva terkesiap mendengar ucapan dari cucunya itu, “Nenek tidak salah dengar, kan?” Dia mencoba mengkonfirmasi.Nada segera mengangguk.Wajar jika Neneknya berkata seperti itu. Karena sebelumnya Nada menolak den
Tubuh Nada bergetar hebat, tatkala sepasang mata cokelatnya mendapati sosok Adrian. Bayangan kejadian malam itu kembali memaksa berputar di benaknya.“Lupakan, Nada,” mohonnya pada diri sendiri.Tangan Nada kini sedang memukul kepalanya, berusaha menghentikan setiap momen mengerikan yang yang terjadi malam itu.Dua bulan ini Nada berpikir dalam keheningan. Dia paham betul, kalau pamannya saat itu sedang dalam kondisi mabuk. Apalagi melihat sikap pamannya sekarang, yang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Nada sedikit yakin kalau pamannya itu memang menganggap kejadian itu hanya bunga tidurnya.Namun, tetap saja, hati Nada berdenyut ketika harus mengakui, bahwa faktanya sang pamanlah yang merenggut hal paling berharga dalam hidup Nada.“Nada.”Suara itu, suara laki-laki yang barusan memanggilnya, membuat jiwa Nada kembali terguncang. Dia langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.Sedangkan di luar, Adrian berdiam diri tepat di pintu kamar sang keponakannya.Mendengar per