Hari baru bagi Damian dimulai. Senin pagi itu ia mulai bekerja sebagai Direktur Operasional di Wiratama Group. Meski hidupnya di Australia bak Tuan Muda dari keluarga bangsawan, ia tidak keberatan mendapatkan posisi di bawah Julian.Dan mulai pagi itu Damian memberikan tugas resmi pada Nayra. Sebagai seorang istri, Nayra harus menyiapkan pakaian Damian dan bahkan memasangkan dasi untuk sang suami. Meski penasaran, Nayra tak ingin bertanya kenapa Damian menerima jabatan itu karena ia tak ingin insiden lima menit terulang kembali."Kamu cari kandidat untuk menjadi ART," ujar Damian ketika Nayra sibuk memasangkan dasi."Tinggal ambil dari makelar," sahut Nayra yang tengah fokus pada satu hal."Saya tidak ingin ada orang luar yang tinggal di sini. Pastikan dia bekerja saat siang dan pulang saat malam."Nayra sekilas menatap sinis. Dalam hati ia menggerutu betapa rewelnya Damian."Kamu cari kandidat, saya yang akan memilih."Nayra sudah cukup kesal karena ia tak kunjung berhasil mengikat d
Salim Group.Nadine memasuki ruang kerjanya setelah menyelesaikan pekerjaan di luar. Nayra yang sudah cukup lama menunggu pun bangkit untuk menyambut kedatangan sang ibu."Ma.""Kamu udah lama?"Nayra menggeleng. Ia kemudian memindahkan beberapa camilan ringan yang ia belikan untuk sang ibu."Ini tadi aku beliin buat Mama."Keduanya kemudian duduk berdampingan dan Nadine menyentuh perut Nayra."Kandungan kamu bagaimana?""Sehat, Ma.""Udah tahu cowok apa cewek?""Cowok, Ma."Nadine tersenyum tipis, tampak sudah benar-benar menerima pernikahan putrinya dengan orang dari keluarga Sylvester."Suami kamu?""Mulai hari ini dia kerja di perusahaan papa sebagai Direktur Operasional."Nadine menghela napas, terlihat kecewa. "Padahal mama bisa kasih jabatan yang lebih layak. Tapi dia justru memilih pergi ke Wiratama Group dan menjadi Direktur Operasional."Nayra tersenyum tipis. "Itu yang dia mau, Ma. Jadi biarin aja.""Hubungan kalian baik-baik aja, kan?"Nayra mengangguk meski tiada hari tan
Sore itu Nadine hendak meninggalkan kantor ketika seseorang tiba-tiba datang dan menegurnya."Mbak Nadine."Nadine menoleh ke sumber suara dan tertegun."Roni?"Pria yang tidak lain adalah saudara dari suami Nadine itu mendekat. Dia adalah ayah dari Evelyn yang baru saja keluar dari penjara karena kasus penggelapan uang perusahaan."Apa kabar, Mbak? Masih ingat saya, kan?"Nadine kemudian membawa Roni ke salah satu kafe terdekat untuk berbicara."Kapan kamu keluar?" Nadine membuka pembicaraan."Belum lama, Mbak. Saya dengar Nayra sudah menikah.""Bagaimana kabar kamu?""Seperti yang Mbak Nadine lihat. Saya melihat di berita tentang perusahaan.""Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi," Nadine menyela. "Lagi pula sekarang Evelyn juga sudah menikah dengan Julian."Roni tersenyum simpul."Kamu ada perlu apa mengunjungi saya?""Saya ingin kembali ke perusahaan."Nadine terdiam dengan penuh pertimbangan sebelum menyahut. "Saya tidak bisa menerima kamu kembali ke perusahaan.""Kenapa tidak, M
Menjelang siang hari Nayra tiba di gedung Wiratama Group. Tapi kali ini dia datang bukan atas keinginannya sendiri melainkan diminta oleh Damian membawakan makan siang.Zizan hanya mengantarkan sampai di depan gedung dan Nayra berjalan masuk sendirian. Karena hanya karyawan yang memiliki akses untuk masuk lebih jauh, Nayra menghampiri seorang petugas keamanan yang berjaga di dekat pintu."Permisi, Mas." Nayra menegur dengan ramah."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?""Bisa tolong buka pintunya?"Pria yang terlihat tak lebih tua dari Nayra itu terdiam sejenak dengan penuh pertimbangan. Sepertinya ia mengenali siapa Nayra."Ibu ada keperluan apa?""Saya ingin bertemu dengan Pak Damian, Direktur Operasional di sini. Saya juga udah buat janji dengan beliau."Sebuah panggilan tiba-tiba mengalihkan perhatian Nayra."Sebentar, Mas."Nayra sedikit menjauh untuk menerima panggilan dari ibunya. Dan kala itu Evelyn tiba. Wanita itu langsung menyadari keberadaan Nayra, tapi lebih memilih untuk me
"Bagaimana kandungan kamu?" Suganda membuka pembicaraan. Terdengar lebih akrab."Baik, Pa. Bayinya sehat," sahut Nayra."Papa minta maaf atas insiden di bawah tadi. Beberapa orang mungkin belum mengenal Damian.""Mustahil," gumam Damian, tampak tak acuh seperti biasa. Meski Suganda terlihat mencoba untuk berdamai, seperti Damian tak peduli tentang hal itu."Papa dengar Grandpa ada di Jakarta? Apa mungkin kalian tahu di mana Grandpa tinggal sekarang?""Grandpa—" Ucapan Nayra terhenti ketika Damian langsung menahan tangannya dan menggantikannya berbicara."Jika Grandpa tidak bisa dihubungi, itu berarti Grandpa tidak ingin bertemu dengan Papa. Kenapa harus memaksakan diri?"Nayra menatap tak percaya. Ia berharap bisa berhubungan baik kembali dengan mertuanya, tapi Damian justru berdiri seperti penghalang."Karena sudah lama tidak bertemu, papa ingin bertemu dengan Grandpa. Kamu keberatan dengan hal itu, Damian?""Lebih tepatnya Papa ingin menanyakan alasan Grandpa membantu Salim Group,"
Damian tiba di rumah dan menemukan Nayra tidur dengan seluruh tubuh yang ditutupi oleh selimut, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Damian mendekati ranjang dan menarik selimut Nayra, membuat ia tahu jika Nayra tak benar-benar tidur.Mengabaikan Damian, Nayra menarik selimutnya kembali, tapi Damian melakukan hal yang sama begitupun dengan Nayra dan itu terjadi beberapa kali hingga membuat Nayra geram. Nayra bangkit dan langsung berteriak."Dasar asu! Bisa diam nggak!"Damian tertegun. Ucapan Nayra seperti pernah ia dengar sebelumnya, tapi ia tidak yakin di mana ia pernah mendengarnya."Asu? Saya?"Nayra mengingatnya, apa yang sore tadi diajarkan oleh Zizan padanya.'Kalau Bu Bos sebel sama Big Bos, langsung aja katain asu!"Nayra benar-benar mempraktekannya dan tentu saja Nayra tahu betul apa yang ia katakan barusan."Asu itu apa?" tegur Damian meminta penjelasan. "Kenapa kamu memanggil saya dengan nama itu?"Nayra berpaling dan menjawab dengan ketus. "Panggilan khusus dari saya.""M
Akhir pekan tiba. Damian benar-benar menepati ucapannya untuk membawa Nayra keluar. Dan hari itu Zizan harus bekerja meski akhir pekan, menggantikan Pak Diddy yang selalu menjadi kaki-tangan Damian. Damian keluar lebih dulu. Ia melihat Zizan berdiri di gerbang dan tengah menggoda anak gadis di komplek itu. "Suit...suitt... ck, ck. Sini-sini." Anak gadis berkaki empat primadona komplek itu tampak mengabaikan Zizan. Memandang dengan was-was sebelum pergi. "Dasar asu! Jual mahal banget. Padahal cuma asu." Dahi Damian mengernyit. Bagaimana bisa Zizan menggunakan panggilan sayang dari Nayra untuknya ketika pemuda itu jelas-jelas tengah menggoda seekor anjing. "Zizan," tegur Damian. "Oh? Udah keluar." Zizan langsung berlari menghampiri Damian. "Berangkat sekarang, Big Bos?" "Tunggu istri saya. Kamu tadi bicara apa?" Zizan tampak bingung. "Yang mana, Big Bos?" Damian tampak ragu tapi ia cukup penasaran. "Kamu tadi bilang... asu?" "Oh... itu. Memangnya kenapa, Big Bos?" "Siapa y
Damian tiba di kafe dan justru mengabaikan Zizan yang tengah menunggu dengan panik."Big Bos—"Pak Diddy yang berjalan di belakang Damian langsung mengangkat tangannya sebagai teguran pada Zizan. Keduanya kemudian mengikuti Damian memasuki kafe. Di dalam, Damian langsung ke meja kasir."Saya perlu berbicara dengan manager kafe. Saya harus melihat rekaman CCTV tempat ini," ujar Damian tanpa basa-basi."Maaf, Pak. Sebelumnya ada masalah apa ya?""Mbak, ini suami bos saya yang tadi," Zizan menyela. "Bos saya hilang terus handphone-nya ketemu di toilet.""Oh, kalau begitu sebentar, Mas. Saya panggil manager dulu."Setelah mendapatkan persetujuan dari manager kafe, Damian langsung melihat rekaman CCTV dari mulai Nayra datang hingga apa yang terjadi di depan pintu toilet. Memang benar jika Nayra pergi ke toilet. Tapi tak lama setelah itu seorang pria bermasker terlihat memasuki toilet dan sesaat kemudian pria itu keluar sembari menggendong Nayra dengan kedua tangannya. Dari sudut rekaman CC
Nayra memasuki ruang kerja Damian saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon."Saya mengerti." Kalimat terakhir yang bisa didengar oleh Nayra sebelum Damian mengakhiri pembicaraan.Nayra mendekat, menarik atensi Damian."Perlu bicara sesuatu?" tegur Damian.Nayra mengangguk, tampak ragu."Kamu bisa bicara sekarang.""Kamu udah tahu soal Haedar Ibrahim." Nayra memberikan jeda yang cukup panjang guna menekan perasaan gugupnya."Tapi kamu justru nggak pernah mengatakan apapun tentang orang itu," lanjut Nayra."Saya mendengar itu dari mama."Nayra mengangguk. "Tadi... saya menemui Haedar."Damian tak kaget, ia bisa menduga setelah mendapatkan kabar dari sang ibu mertua bahwa Nayra sudah tahu masa lalu si Agen 1."Lalu?""Semua kenangan saya, semua ingatan saya tentang orang itu nggak tersisa sedikitpun. Tapi ucapan saya tadi seperti agak kasar. Kalau kamu kasih izin, saya ingin menemui Haedar sekali lagi."Damian mendekat, berdiri tepat di hadapan Nayra. "Se
Nadine kembali ke ruangannya setelah melakukan aktivitas di luar kantor. Tapi saat ia kembali, sudah ada Nayra yang menunggunya."Nayra, kamu di sini?"Nayra bergeming, wajahnya terlihat tak ramah."Kamu ada perlu sama mama?""Mama duduk dulu," sahut Nayra, terdengar dingin.Nadine lantas duduk berhadapan dengan putrinya. Hanya melihat wajah Nayra, Nadine merasa bahwa ada masalah yang cukup serius."Kamu mau bicara apa?""Haedar Ibrahim, jelasin semuanya ke aku, Ma."Nadine langsung memalingkan wajah, terlihat tak nyaman untuk melanjutkan pembicaraan."Aku udah ketemu dengan orang itu, dia mengaku sebagai anak dari orang yang udah bunuh papa. Tapi aku nggak punya ingatan apapun tentang orang itu. Karena sekarang aku udah tahu, nggak ada yang perlu mama tutupi dari aku. Aku minta ke Mama, tolong jujur. Aku berhak tahu."Nadine mengambil napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan. "Nayra... sekarang kamu sudah berkeluarga, mama rasa akan lebih baik kamu nggak tahu lebih banyak lagi.
Zizan menyambut Nayra dengan senyuman lebarnya yang secerah langit pagi itu."Halo, Bu Bos. Sehat? Udah tiga hari saya dianggurin.""Memang kerjaan kamu cuma ngintilin saya?" Nayra sedikit mencibir."Ya, kan memang saya dibayar buat ngintilin Bu Bos. Kalau Bu Bos nggak kemana-mana, saya jadi pengangguran."Nayra tersenyum tipis. "Ketahuan banget kalau jomblo."Zizan memberikan tatapan sinis dan berucap, "jomblo gini-gini juga banyak yang ngantri.""Terserah kamu aja."Zizan tersenyum simpul dan langsung membukakan pintu untuk Nayra."Langsung ngantor, kan, Bu Bos?""Iya.""Siappp!"Zizan bergegas membawa ke tempat tujuan. Terlihat suasana hati Nayra yang sangat baik hingga Zizan kerap ikut tersenyum kecil."Kayaknya Bu Bos lagi seneng banget, udah baikan sama Big Bos ya?"Nayra menatap penuh selidik. "Memangnya kapan saya sama suami saya berantem?""Big Bos kalau lagi marah itu jelas banget. Nggak usah banyak omong, dari matanya aja udah kelihatan kayak mau makan orang."Nayra mengang
Tiga hari berlalu, baik Nayra maupun Damian belum ada yang meninggalkan rumah. Dan selama tiga hari pula, tak ada pembicaraan di antara mereka. Damian hanya akan berbicara untuk menyuruh atau melarang Nayra, sedangkan Nayra tetap bertahan dengan hubungan dingin mereka tanpa ada niatan untuk menjelaskan situasi yang terjadi.Nayra berpikir Damian akan menegurnya dengan keras, tapi laki-laki itu justru diam dan bersikap dingin. Malam itu sebuah panggilan datang dari Nadine ketika Nayra tengah berada di kamar."Halo, Ma.""Nayra, kamu sama suami kamu nggak ke kantor lagi?"Nayra terdiam sejenak, ia bahkan tak bisa memberitahu ibunya tentang situasinya saat ini."Nggak, Ma. Aku ada di rumah.""Kalian... bertengkar?" Nadine terdengar berhati-hati."Aku juga nggak tahu," gumam Nayra sembari sekilas menggaruk keningnya."Maksud kamu apa, Nayra? Bicara yang jelas."Nayra bingung harus menyebut situasinya bagaimana, pada nyatanya tidak ada pertengkaran di antara mereka."Udah tiga hari aku die
Pagi itu Nadine mengunjungi Sukma di penjara untuk kali pertama semenjak Sukma menjadi penghuni rutan."Mbak Nadine."Nadine bergeming, tetap duduk di tempat ia menunggu. Sempat merasa prihatin dan percaya jika Sukma tidak bersalah, kini pandangan Nadine berbeda setelah bertemu dengan Ibrahim."Saya datang ke sini hanya untuk menanyakan sesuatu pada kamu." Nadine membuka pembicaraan tanpa basa-basi."Mbak Nadine mau tanya soal apa?""Kemarin saya bertemu dengan Ibrahim."Sukma tampak kaget. "Ibrahim? Supir Mbak Nadine yang waktu itu?""Dia sudah bebas dan kamu tahu apa yang saya dengar dari orang itu?"Sukma terlihat was-was. "Dia bilang sesuatu ke Mbak Nadine?""Apa kamu terlibat dengan kecelakaan yang menimpa Mas Adi?"Sukma tertegun sesaat. "M-maksud Mbak Nadine apa?""Ibrahim mengatakan jika kamu yang menyuruh dia untuk mencelakai Mas Adi. Tolong kamu jangan berbohong.""Itu nggak masuk akal, Mbak. Mana mungkin aku mau mencelakai Mas Adi.""Itu cukup masuk akal. Bahkan suami kamu
"Damian?"Nayra mematung saat menemukan Damian sudah berdiri di hadapannya. Tentu saja ia bingung, bagaimana Damian bisa tahu jika dia ada di sana. Dalam kebingungan Nayra, Damian mendekat. Menarik tangan Nayra sedikit kasar hingga dompet milik Haedar terjatuh dari tangannya. Tak ada suara, hanya tatapan tajam yang sangat dingin menghakimi Nayra.Terlalu terkejut sekaligus takut, Nayra hanya berdiam diri ketika Damian menarik tangannya. Ia bahkan tak bisa mengkhawatirkan Haedar ketika ia menemukan sisi bengis Damian yang tiba-tiba kembali.Hening, tak ada yang berbicara di sepanjang perjalanan. Sikap dingin Damian dan diamnya kini menjadi hal yang lebih menakutkan dibandingkan dengan ucapan kasar pria itu. Bahkan sesampainya di rumah, tak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulut Damian.Genggam pada pergelangan tangan Nayra sedikit menyakitkan, seolah datang sebagai peringatan. Dan ketika Damian membawa Nayra ke kamar, kala itu dari lantai bawah Julian memperhatikan keduanya."Mere
"Mau apa kamu datang kemari?!" Nadine langsung menghardik, ia baru ingat jika bulan ini hukuman Ibrahim berakhir."Saya datang ke sini karena ada hal yang harus kita bicarakan, Bu Nadine," ujar Ibrahim tanpa rasa malu."Tidak ada hal yang perlu saya bicarakan dengan kamu! Setelah apa yang kamu lakukan pada suami dan anak saya, kamu masih berani datang ke sini!"Ibrahim tersenyum tipis. "Saya minta maaf atas semua yang saya lakukan, Bu Nadine. Tapi Bu Nadine juga harus tahu cerita sebenarnya di balik kejadian itu.""Jika kamu ingin mengaku, seharusnya kamu lakukan dulu di pengadilan. Kamu hanya ingin mencari pembelaan yang terlambat, Ibrahim. Keluarga saya baik ke kamu, bahkan saya juga merestui hubungan Nayra dengan anak kamu. Tapi tega-teganya kamu melakukan hal sekeji itu. Apa alasan kamu? Bukan hanya menghancurkan keluarga saya, kamu juga sampai hati menghancurkan hidup anak kamu sendiri.""Saya mengakuinya, Bu Nadine. Itu adalah tindakan bodoh yang pernah saya lakukan. Tapi saya m
Damian turun ke bawah untuk mengambil sesuatu di mobilnya. Namun, kala itu ia tidak sengaja melihat Zizan."Nayra ada di sini?" gumam Damian yang lantas menghampiri Zizan yang kala itu tengah mengobrol dengan resepsionis."Wih, Big Bos." Zizan langsung menegur begitu melihat kedatangan Damian."Pagi menjelang siang, Big Bos.""Di mana istri saya?"Zizan menatap heran. "Loh? Kok tanya ke saya?""Maksud kamu?""Saya ke sini disuruh sama Bu Bos. Tadi Bu Bos telepon nggak usah dijemput, katanya ketemu di kantornya Big Bos aja. Saya kirain Bu Bos udah di sini."Mendengar penuturan Zizan, Damian pun mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Nayra. Tapi setelah beberapa saat, panggilan Damian tak mendapatkan respon."Kamu ambilkan berkas di mobil saya," ujar Damian pada Zizan."Siap, Big Bos." Pemuda itu langsung melenggang pergi.Damian kemudian menghubungi rumah dan pekerja harian yang ada di sana menjawab panggilan Damian."Bu, ini saya. Istri saya ada di rumah?""Nyonya udah pergi, Tuan. Ta
Pagi itu Nayra hendak pergi menyusul Nayra ke kantor karena hari itu ia ingin membuat kejutan untuk Damian. Baru saja keluar dari pekarangan rumah, Nayra menghentikan mobilnya saat melihat si Agen 1 berdiri bersandar pada pagar rumahnya. Melihat hal itu, si Agen 1 pun mendekat dan langsung masuk ke mobil Nayra, duduk tepat di samping Nayra."Mau apa kamu?" tegur Nayra."Jalan," gumam si Agen 1, terkesan menghindari kontak mata dengan Nayra."Semalam Haedar Ibrahim datang ke rumah saya," celetuk Nayra.Refleks si Agen 1, orang yang dibicarakan Nayra langsung memandangnya."Lo—""Saya tahu dari Julian, adik suami saya."Haedar tampak lega, ia pikir jika Nayra sudah tahu bahwa orang yang sedang dibicarakan berada tepat di sampingnya."Melihat dia berani datang ke rumah saya, itu berarti dia tahu jika saya sedang mencari tahu tentang dia. Itu berarti dia memang terlibat. Saya mau kamu—""Gue kerja buat suami lo, bukan buat lo." Haedar menyela. "Kalau lo butuh apa-apa, bilang ke suami lo."