Malam itu Julian memasuki sebuah restoran ternama karena undangan dari Suganda. Namun, langkah pincang Julian terhenti ketika ia menemukan bahwa bukan hanya Suganda yang ada di sana, melainkan juga Damian."Julian, kamu sudah datang," tegur Suganda.Julian mendekat dan langsung melayangkan protes. "Papa nggak bilang kalau Papa ngundang orang lain.""Kamu duduk dulu.""Perjalanan dari sini ke area parkir cukup jauh, jangan sia-siakan perjuangan kaki cacat kamu untuk bisa sampai di sini," sarkas Damian dengan tenang.Julian menatap tajam, tapi Suganda segera menengahi."Kalian di sini untuk makan malam, papa tidak ingin ada pertengkaran. Julian, kamu duduk."Dengan wajah terpaksa, Julian pun pada akhirnya duduk berhadapan dengan Damian. Meski Damian terus menatapnya, ia enggan untuk membalas dan lebih memilih untuk berpaling."Papa ngapain ngajak makan malam, aku udah biasa makan sendirian," ujar Julian."Damian yang meminta papa mengundang kamu."Dengan begitu pandangan keduanya kembal
Damian memasuki kamar jenazah di mana terdapat dua petugas di sana. Pandangannya tertuju pada sosok yang berada di atas ranjang dan ditutup oleh kain putih. Tanpa keraguan, Damian berjalan mendekat. Akan tetapi jerit tangis seseorang langsung menghentikan langkahnya.Seorang wanita berlari masuk sembari menangis dan sempat menabrak Damian. Wanita itu langsung menghampiri jenazah yang ingin dipastikan oleh Damian dan seorang pria paruh baya menyusul. Kala itu ada sedikit perasaan lega di hati Damian.Haedar kemudian datang dan menepuk bahu Damian."Kita bicara di luar."Keduanya kemudian berbicara di area parkir rumah sakit."Gue udah dapat lokasi Veronica, dia tinggal di Batam sekarang.""Sendirian?"Haedar mengangguk."Di mana satu orang lagi?"Haedar menggeleng. "Belum ada informasi apapun. Lo yakin mereka ada hubungannya dengan ini?""Siapa yang lebih pantas untuk dicurigai? Saya sudah menghancurkan hidup mereka, mereka pasti sangat ingin menghancurkan hidup saya.""Evelyn," celetu
Zizan mengecek jam tangan mahalnya, hadiah yang ia dapatkan atas kontribusi yang ia berikan pada Damian selama satu tahun terakhir. Ia kemudian memasang sabuk pengaman dan menghidupkan mesin mobil. Namun, ia seperti tengah menunggu sesuatu.Selang beberapa menit, sebuah mobil keluar dari area parkir bawah tanah gedung Wiratama Group. Zizan kemudian mengikuti mobil tersebut, seperti hari-hari sebelumnya. Setelah Nayra menghilang dan ia pulih, Damian menugaskannya untuk mengawasi Julian. Dan karena sudah terbiasa, Zizan bisa tahu kapan tepatnya Julian meninggalkan kantor dan apa saja yang dilakukan oleh Julian setelahnya.Zizan berhenti di depan swalayan, ia tak perlu turun karena Julian akan keluar beberapa saat kemudian. Bahkan Zizan tahu jika Julian sudah menjadi langganan tetap di sana.Dari swalayan, Julian langsung pulang dan seperti itu seterusnya hingga Zizan merasa bosan. Helaan napas itu kembali keluar dari mulutnya."Bu Bos sebenarnya pergi ke mana sih? Harus sampai kapan gue
Veronica mendobrak pintu rumah Damian. Datang dengan amarah yang membuncah. Mengabaikan Suganda yang ada di sana, pandangan Veronica hanya tertuju pada Damian yang kemudian beranjak berdiri dengan tenang."Keparat kamu!"Veronica berniat menampar wajah Damian, tapi Damian tak memberi izin."Kamu membuat anak saya cacat! Kamu pikir saya akan membiarkan kamu begitu saja! Kamu harus berakhir lebih buruk dari anak saya!"Veronica menepis tangan Damian dan hendak kembali melayangkan tamparan. Tapi Suganda menarik bahunya dan justru menamparnya, membuatnya terperangah untuk sesaat."Mas! Kamu malah mukul aku? Julian anak kita, anak kamu! Sekarang dia di rumah sakit. Dokter mengatakan dia akan cacat seumur hidupnya dan itu karena bajingan ini!""Tutup mulut kamu!" hardik Suganda.Veronica kembali terperangah hingga suaranya melemah."Mas?""Kamu wanita iblis! Saya kehilangan semuanya akibat jatuh hati pada wanita iblis seperti kamu!"Veronica tampak bingung, tapi sesaat kemudian ia memahami
Tengah malam itu Damian dan Haedar tiba di rumah yang sempat didatangi oleh Nayra sebelum menghilang. Akan tetapi rumah itu dalam keadaan gelap gulita."Rumah kosong," gumam 0 listrik di sana masih terhubung.Prang!!!Haedar buru-buru kembali ke depan setelah mendengar suara pecahan kaca. Ia menatap tak percaya saat menemukan Damian merusak rumah orang sesuka hatinya."Orang gila," gumam Haedar.Damian masuk melalui jendela dan Haedar pun menyusul. Damian mengeluarkan ponselnya dan menghidupkan senter, sesaat kemudian lampu menyala dan Haedar mendekati Damian."Ini ilegal," ujar Haedar."Saya tidak meminta kamu untuk masuk," sahut Damian tak acuh.Haedar langsung membuang muka.Damian kemudian mengambil langkah, berniat memeriksa lantai dua. Sementara Haedar menyusuri lantai satu. Seolah yakin bahwa tak ada siapapun yang menghuni rumah itu. Ketika Damian memeriksa setiap ruangan di lantai dua, langkah Haedar terhenti di dapur. Ia memeriksa perabotan yang ada di rumah itu dan menemukan
Mobil Damian memasuki halaman rumah, tapi kala itu ia menyadari jika mobil Nayra tidak ada. Pak Diddy membuka pintu, Damian keluar dari mobil seraya menghubungi ponsel Zizan. Panggilan berdering, tapi hingga peringatan dari operator terdengar, tak ada yang menerima panggilan itu."Zizan di mana?" tegur Damian pada Pak Diddy."Terakhir saya bertemu Zizan itu tadi pagi, Tuan."Damian kemudian berganti menghubungi Nayra, tapi ponsel Nayra mati. Damian lantas kembali menghubungi Zizan, tapi ponselnya sudah dimatikan. Hal itu tentunya memicu kecurigaan Damian. Kembali menghubungi seseorang, kali ini Damian menghubungi Haedar. Kala itu sebuah panggilan masuk ke ponsel Pak Diddy."Cari tahu di mana istri saya!""Tuan," tegur Pak Diddy."Zizan ada di rumah sakit," lanjut Pak Diddy.Tanpa pikir panjang, Damian kembali ke mobil. Begitupun dengan Pak Diddy.•••••Pak Diddy menghampiri Damian yang kala itu berada di ruang tunggu di depan ruang ICU di mana Zizan mendapatkan perawatan."Apa yang me
Haedar memasuki ruangan Damian setelah sebelumnya mendapatkan perintah untuk datang ke kantor. Satu hal yang ada dalam pikiran Haedar saat ini, dia mungkin akan dipukuli lagi dan masuk rumah sakit lagi. Akan tetapi keberadaan Nayra di sana cukup mengejutkan bagi Haedar. "Dia mau lihat gue mati digebukin suaminya?" ujar Haedar dalam hati, ia tersenyum tak percaya. Berpikir jika Nayra mengadu dan Damian akan membantainya hari ini. "Kamu ingin duduk atau berdiri, lakukan sesuka kamu," tegur Damian yang duduk dengan angkuh di samping Nayra. "Ada perlu apa?" sahut Haedar, terlihat tak acuh. Karena Haedar tak ingin duduk, Nayra lantas berdiri dan berbicara. "Saya yang memiliki keperluan dengan kamu." Sebelah alis Haedar terangkat. "Kamu mau apa lagi?" gumamnya dalam hati. "Saya ingin minta maaf," ujar Nayra. Haedar tertegun, terpaku memandang Nayra. Merasa telinganya tak berfungsi dengan baik. "Sikap saya kemarin sangat keterlaluan, saya minta maaf." Haedar menjatuhkan pandanganny
Nayra memasuki ruang kerja Damian saat pria itu tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon."Saya mengerti." Kalimat terakhir yang bisa didengar oleh Nayra sebelum Damian mengakhiri pembicaraan.Nayra mendekat, menarik atensi Damian."Perlu bicara sesuatu?" tegur Damian.Nayra mengangguk, tampak ragu."Kamu bisa bicara sekarang.""Kamu udah tahu soal Haedar Ibrahim." Nayra memberikan jeda yang cukup panjang guna menekan perasaan gugupnya."Tapi kamu justru nggak pernah mengatakan apapun tentang orang itu," lanjut Nayra."Saya mendengar itu dari mama."Nayra mengangguk. "Tadi... saya menemui Haedar."Damian tak kaget, ia bisa menduga setelah mendapatkan kabar dari sang ibu mertua bahwa Nayra sudah tahu masa lalu si Agen 1."Lalu?""Semua kenangan saya, semua ingatan saya tentang orang itu nggak tersisa sedikitpun. Tapi ucapan saya tadi seperti agak kasar. Kalau kamu kasih izin, saya ingin menemui Haedar sekali lagi."Damian mendekat, berdiri tepat di hadapan Nayra. "Se
Nadine kembali ke ruangannya setelah melakukan aktivitas di luar kantor. Tapi saat ia kembali, sudah ada Nayra yang menunggunya."Nayra, kamu di sini?"Nayra bergeming, wajahnya terlihat tak ramah."Kamu ada perlu sama mama?""Mama duduk dulu," sahut Nayra, terdengar dingin.Nadine lantas duduk berhadapan dengan putrinya. Hanya melihat wajah Nayra, Nadine merasa bahwa ada masalah yang cukup serius."Kamu mau bicara apa?""Haedar Ibrahim, jelasin semuanya ke aku, Ma."Nadine langsung memalingkan wajah, terlihat tak nyaman untuk melanjutkan pembicaraan."Aku udah ketemu dengan orang itu, dia mengaku sebagai anak dari orang yang udah bunuh papa. Tapi aku nggak punya ingatan apapun tentang orang itu. Karena sekarang aku udah tahu, nggak ada yang perlu mama tutupi dari aku. Aku minta ke Mama, tolong jujur. Aku berhak tahu."Nadine mengambil napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan. "Nayra... sekarang kamu sudah berkeluarga, mama rasa akan lebih baik kamu nggak tahu lebih banyak lagi.