Senja perlahan tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan semburat jingga yang membakar langit Jakarta. Dari balik jendela apartemen, Nadia berdiri terpaku, menatap tanpa fokus. Bayangan Reza masih melekat di pelupuk mata—tatapannya, suaranya, dan sentuhannya yang masih terasa nyata di kulitnya.
Namun kedekatan itu kini dibayangi sesuatu yang lebih besar: kenyataan pahit bahwa cinta mereka tidak berdiri sendiri. Ada keluarga. Ada dendam. Ada masa lalu yang belum selesai.Reza melangkah masuk ke ruang tengah, membawakan dua cangkir teh hangat. Ia tahu, malam ini akan berat. Pembicaraan yang mereka tunda selama berhari-hari akhirnya harus dihadapi. Tidak bisa lagi mereka saling bersembunyi di balik kehangatan semu.“Kau belum bicara sepatah kata pun sejak kita sampai,” kata Reza pelan, menyodorkan cangkir ke arah Nadia. “Kalau ini tentang Ibu dan semua omong kosong masa lalu itu... aku bisa jelaskan.”Nadia menerima cangkir itu, tapi tak langsung meLangit Jakarta tampak kelabu, seolah merasakan amarah yang selama ini tertahan dalam dada Nadia. Di balik kaca jendela ruang kerjanya, ia berdiri dengan tangan bersedekap, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat. Pikiran Nadia melayang ke malam itu—malam saat Reza berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapan lelaki itu dipenuhi luka yang tak sempat diucapkan.Sejak pertemuan mereka yang terakhir, Nadia belum membalas satu pun pesan Reza. Ia membaca semuanya—panjang, penuh penyesalan, dan meminta waktu. Tapi hatinya yang remuk tak cukup siap untuk mengulurkan tangan lagi. Ia terlalu takut, terlalu waspada pada kebiasaan Reza yang datang dan pergi seenaknya seperti badai musiman.“Nad,” suara Intan membuyarkan lamunannya. “Kamu mau makan siang dulu? Aku baru pesan makanan dari bawah.”Nadia menggeleng pelan. “Kepalaku masih berat. Kamu duluan aja ya.”Intan menatapnya dengan khawatir. “Masalah Reza?”Nadia tersenyum tipis. Ia sudah terlalu lelah untuk menyangkal. “Masalah yang tak pern
Pagi datang dengan pelan, menyeret sisa-sisa malam yang panjang. Aroma kopi memenuhi dapur Reinald, namun bukan itu yang membuat Alya terdiam di meja makan. Tatapan matanya tertuju pada secarik kertas yang terlipat rapi di hadapannya.Surat dari Clarissa.Alya membuka surat itu lagi, membacanya untuk ketiga kalinya. Tulisan tangan Clarissa begitu rapi, tapi kata-katanya menyiratkan kehancuran yang tenang."Aku memilih pergi. Bukan karena kalah, tapi karena aku sadar tidak bisa terus bertarung di medan yang bukan untukku. Aku mencintainya, Alya. Tapi kalian saling memiliki dengan cara yang tidak bisa kupecahkan. Jagalah dia... kalau kau masih sanggup."Alya menutup surat itu pelan. Ada rasa lega, tapi juga ganjalan yang sulit dijelaskan. Kepergian Clarissa membuat segalanya menjadi lebih jelas, namun tidak serta-merta menyembuhkan luka yang telah ada.Reinald masuk ke dapur dengan langkah pelan. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, rambutnya masih basah setelah mandi. Ia membawa dua
Langit Jakarta malam itu muram, mendung menggantung seakan menyimpan rahasia besar yang tak pernah tersampaikan. Di dalam kediaman Reinald, sunyi menyelimuti seperti jeda panjang sebelum badai.Alya berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah taman belakang yang mulai diliputi kabut tipis. Bayangan pertemuannya dengan Reinald siang tadi masih membekas kuat. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi juga tatapan mata pria itu—tajam, penuh kemarahan, namun ada luka yang bersembunyi di balik sorotnya.“Kenapa kau tidak bisa jujur padaku, Reinald…” gumam Alya lirih, suara hatinya nyaris tak terdengar di tengah bunyi hujan yang mulai turun perlahan.Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar dari pintu. Alya menghela napas, menghapus air mata yang tak ia sadari telah membasahi pipinya. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Clarissa."Maaf mengganggu," ucap Clarissa dengan nada tenang namun penuh beban. Ia tampak berbeda malam itu—tidak lagi angkuh dan menantang seperti biasanya. Wajah
Suara detak jarum jam terdengar begitu nyaring di antara keheningan kamar Reza. Langit di luar sudah memudar menjadi semburat jingga, pertanda sore menjelang malam. Tapi waktu terasa tak bergerak bagi Reza. Pandangannya kosong mengarah ke jendela, sementara tangannya meremas kertas foto lama yang ia temukan di dalam laci—foto dirinya dan Nadia, di hari ulang tahun wanita itu, dua tahun lalu.Sudah berapa hari sejak Nadia kembali?Entah. Yang pasti sejak perempuan itu hadir kembali dalam hidupnya, dunia Reza seolah dilempar kembali ke masa lalu. Rasa bersalah, rindu, dan amarah saling berdesakan dalam dadanya. Ia tahu Nadia mencoba bersikap tenang, mencoba menjadi perempuan yang kuat. Tapi ia bisa melihat jelas luka itu di balik sorot mata perempuan yang masih dicintainya sampai sekarang.Reza berdiri. Tubuhnya terasa berat. Tapi ada satu hal yang harus ia lakukan.---Nadia berdiri di balkon kamar penginapan kecil tempatnya tinggal sejak kembali ke Jakarta. Angin malam menyentuh pipin
Malam baru saja menurunkan tirainya ketika Nadia berdiri di balkon apartemennya, memandangi kelap-kelip lampu kota yang tak mampu menyamai gemuruh pikirannya. Hembusan angin menerpa rambut panjangnya, namun tak mampu mendinginkan panas yang membakar dadanya. Di balik segala kepura-puraan dan logika yang terus ia bangun untuk menjauh dari Reza, kini hatinya kembali ditarik—pelan tapi pasti.Pertemuan mereka beberapa hari lalu di kantor pengacara Armand menjadi titik balik yang tak bisa dihindari. Bukan hanya karena Reza membelanya dengan berani di hadapan Dimas dan Armand, tapi karena sorot mata pria itu—sorot yang sama seperti saat dulu ia memeluknya di bawah hujan pertama mereka sebagai pasangan.Tak ada yang bisa membantah bahwa Reza berubah. Tapi apakah perubahan itu cukup untuk mengobati luka masa lalu? Atau semua ini hanya permainan ilusi, kembali mengulang luka yang tak pernah benar-benar sembuh?Pintu apartemennya berbunyi pelan. Nadia menoleh. Ia tak menunggu siapa pun malam i
Senja menyelimuti Jakarta dalam warna jingga yang temaram. Jalanan yang ramai mulai dipenuhi lampu kendaraan, dan suara klakson bersahutan seperti irama tak beraturan dari sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di salah satu apartemen mewah di kawasan pusat, Nadia berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit. Tangan kirinya menggenggam secangkir teh yang sudah mendingin, sedangkan matanya menerawang jauh, menatap kekosongan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terluka.Sudah tiga hari sejak pertengkaran hebat itu. Tiga hari sejak Reza menggebrak meja, meninggalkan apartemen dengan wajah penuh amarah—dan mata yang merah karena air mata yang ditahan. Nadia tak menyangka ucapannya waktu itu akan melukai sebesar itu. Ia hanya ingin jujur, hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan boneka dalam cerita cinta Reza.Namun cinta tak pernah sesederhana itu.Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Nama “Reza” menyala di layar, membuat dadanya berdesir