Suara detak jarum jam terdengar begitu nyaring di antara keheningan kamar Reza. Langit di luar sudah memudar menjadi semburat jingga, pertanda sore menjelang malam. Tapi waktu terasa tak bergerak bagi Reza. Pandangannya kosong mengarah ke jendela, sementara tangannya meremas kertas foto lama yang ia temukan di dalam laci—foto dirinya dan Nadia, di hari ulang tahun wanita itu, dua tahun lalu.Sudah berapa hari sejak Nadia kembali?Entah. Yang pasti sejak perempuan itu hadir kembali dalam hidupnya, dunia Reza seolah dilempar kembali ke masa lalu. Rasa bersalah, rindu, dan amarah saling berdesakan dalam dadanya. Ia tahu Nadia mencoba bersikap tenang, mencoba menjadi perempuan yang kuat. Tapi ia bisa melihat jelas luka itu di balik sorot mata perempuan yang masih dicintainya sampai sekarang.Reza berdiri. Tubuhnya terasa berat. Tapi ada satu hal yang harus ia lakukan.---Nadia berdiri di balkon kamar penginapan kecil tempatnya tinggal sejak kembali ke Jakarta. Angin malam menyentuh pipin
Malam baru saja menurunkan tirainya ketika Nadia berdiri di balkon apartemennya, memandangi kelap-kelip lampu kota yang tak mampu menyamai gemuruh pikirannya. Hembusan angin menerpa rambut panjangnya, namun tak mampu mendinginkan panas yang membakar dadanya. Di balik segala kepura-puraan dan logika yang terus ia bangun untuk menjauh dari Reza, kini hatinya kembali ditarik—pelan tapi pasti.Pertemuan mereka beberapa hari lalu di kantor pengacara Armand menjadi titik balik yang tak bisa dihindari. Bukan hanya karena Reza membelanya dengan berani di hadapan Dimas dan Armand, tapi karena sorot mata pria itu—sorot yang sama seperti saat dulu ia memeluknya di bawah hujan pertama mereka sebagai pasangan.Tak ada yang bisa membantah bahwa Reza berubah. Tapi apakah perubahan itu cukup untuk mengobati luka masa lalu? Atau semua ini hanya permainan ilusi, kembali mengulang luka yang tak pernah benar-benar sembuh?Pintu apartemennya berbunyi pelan. Nadia menoleh. Ia tak menunggu siapa pun malam i
Senja menyelimuti Jakarta dalam warna jingga yang temaram. Jalanan yang ramai mulai dipenuhi lampu kendaraan, dan suara klakson bersahutan seperti irama tak beraturan dari sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di salah satu apartemen mewah di kawasan pusat, Nadia berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit. Tangan kirinya menggenggam secangkir teh yang sudah mendingin, sedangkan matanya menerawang jauh, menatap kekosongan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terluka.Sudah tiga hari sejak pertengkaran hebat itu. Tiga hari sejak Reza menggebrak meja, meninggalkan apartemen dengan wajah penuh amarah—dan mata yang merah karena air mata yang ditahan. Nadia tak menyangka ucapannya waktu itu akan melukai sebesar itu. Ia hanya ingin jujur, hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan boneka dalam cerita cinta Reza.Namun cinta tak pernah sesederhana itu.Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Nama “Reza” menyala di layar, membuat dadanya berdesir
Senja belum benar-benar tenggelam saat Reza berdiri di tepi balkon apartemen Nadia. Angin sore mengusik kerah kemejanya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau dari udara yang berembus pelan. Di dalam, Nadia sedang menuangkan teh ke dalam dua cangkir, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di antara mereka sejak sore tadi."Aku tahu kamu belum sepenuhnya memaafkan aku," ucap Reza pelan saat Nadia menyusulnya dengan dua cangkir teh hangat.Nadia tak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding balkon, menatap langit yang perlahan berubah biru kehitaman. "Maaf bukan soal kata-kata, Reza. Ini tentang rasa yang luka, dan waktu yang belum bisa menyembuhkan segalanya."Reza menunduk, tangannya menggenggam cangkir seolah itu jangkar agar ia tetap kuat berdiri. "Tapi aku ada di sini sekarang, berjuang untuk memperbaiki semuanya. Haruskah masa lalu terus membayangi kita?"Nadia menghela napas. "Bukan tentang masa lalu yang mengejar, Reza. Ini tentang ketakutan masa depan. Aku t
Malam itu, langit di atas Jakarta tampak pekat, seolah turut menampung segala beban yang belum sempat diucapkan. Di dalam apartemen Reza yang berada di lantai atas, suara hujan yang menghantam jendela besar mengiringi keheningan antara dua insan yang saling mencinta namun tak tahu harus bagaimana melangkah.Nadia duduk di tepi ranjang, menatap jendela dengan sorot mata yang jauh. Rambutnya masih basah karena hujan yang sempat membasahi tubuhnya saat ia nekat datang ke tempat ini. Reza berdiri tak jauh darinya, memunggungi wanita yang begitu ia rindukan namun juga telah begitu banyak ia lukai.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Nadia lirih, hampir tak terdengar jika bukan karena kesunyian yang menggantung di antara mereka.Reza menarik napas panjang. “Karena aku tak tahu harus mulai dari mana.”Nadia menoleh, sorot matanya tajam, namun juga penuh luka. “Dari awal pun kamu tak pernah tahu harus mulai dari mana, Reza. Tapi kamu selalu tahu bagaimana cara mengakhirinya.”Kata-kata itu seperti
Malam itu langit Jakarta mendung. Awan gelap menggantung seakan mencerminkan gumpalan emosi yang tak kunjung reda di dada Reza. Ia berdiri di depan jendela apartemennya, menatap lampu kota yang berpendar temaram. Di balik pantulan kaca, wajahnya terlihat lelah—bukan karena kurang tidur, tapi karena hati yang tak pernah benar-benar tenang sejak Nadia kembali.Telepon genggamnya diam, tak ada notifikasi darinya sejak siang tadi. Sejak Nadia pergi setelah pertengkaran kecil yang tak seharusnya membesar. Reza menghela napas berat. Ia tahu, luka lama mereka masih berdenyut, meski dibungkus dengan kata-kata manis dan pelukan hangat. Tapi cinta mereka juga belum padam. Justru karena cinta itu masih ada, konflik terus meletup.Di sisi lain kota, Nadia berdiri di depan cermin besar di kamar hotel tempat ia menginap malam itu. Matanya sembab. Ia baru selesai menangis, lagi. Dalam pelukannya, bantal terasa dingin dan asing. Tapi bukan itu yang membuat dadanya sesak. Ia b