Share

Hari Pernikahan

"Saya terima nikah dan kawinnya Naomi Diajeng Ayu dengan mas kawin tersebut tunai."

Begitu kalimat sakral itu meluncur mulus dari bibir Adrian, lalu kata 'sah' sebagai tanda pengesahan oleh kedua saksi, detik itu pula Naomi resmi menjadi istri dari seorang Adrian Kelana. Untuk pertama kalinya juga dia mencium telapak tangan pria lain selain ayahnya.

Hati Naomi porak-poranda tatkala bertentang mata dengan sang ayah tadi. Raut kesedihan jelas terpancar. Ayah mana yang ingin menjual putrinya demi menebus hutang. Akan tetapi, pada siapa pula Naomi bisa meminta pertolongan saat ayahnya mendadak masuk rumah sakit dan harus operasi pencangkokan ginjal yang biayanya sangat mahal.

Asal ayah sembuh, apapun akan Naomi lakukan, termasuk menikah dengan tuan Adrian.

"Naomi, tamu undangan sudah berdatangan, ayo aku bantu kamu menuju pelaminan. Suamimu sudah menunggu di sana. Astaga! Kenapa kau tidak bilang, kalau dia duda yang tampan sekali." Desy muncul dari balik pintu lalu berseru dengan mata berbinar. Gadis itu berekspresi seperti baru pertama kali melihat pria tampan.

Desy belum tahu saja, dibalik ketampanannya, Adrian adalah seorang yang keras. Naomi hampir menyerah saat memohon bantuan pria itu beberapa hari lalu. Kalau bukan karena operasi ayahnya yang harus segera dilakukan, Naomi akan berpikir dua kali berlutut di depannya.

Oh ya, Naomi memang meminta izin Adrian untuk mengajak sahabatnya sebagai pendamping agar ada yang membantunya dengan gaun pengantin yang ribet.

Desy juga tampil cantik hari ini.

"Des, apa kamu melihat Gema datang?" Naomi mengalihkan pembicaraan, membuat Desy sontak terdiam.

Desy yakin Naomi akan menanyakan soal Gema. Tapi, dia sudah berjanji dengan pria itu untuk tak mengatakan kalau Gema tak akan datang.

Bagaimana mungkin Gema datang ke pesta pernikahan pacarnya?

"Gema? Aku belum melihatnya."

Helaan nafas panjang lolos dari mulut Naomi bersamaan dengan bibirnya yang ditekuk. "Aku jahat banget ya, Des." Naomi bicara sambil menunduk, cairan beningnya hampir menetes ketika ia menengadahkan wajahnya, berusaha menahan jatuhnya air mata. Ia tidak ingin menangis, tapi hatinya terluka, perih.

"Siapa bilang? Nggak kok, kamu adalah sahabatku yang paling baik sedunia." Desy menenangkan, mengelus lembut punggung serta kedua belah pipi Naomi.

"Tapi, aku berpacaran dengan Gema lalu menikah dengan pria lain."

"Itu artinya Gema bukan jodoh kamu. Dia harus berlapang dada atas keputusan ini." Pandangan Desy lurus ke manik mata Naomi, seolah sedang berbicara dari hati ke hati, menenangkan, agar Naomi tak melulu menyalahkan dirinya atas apa yang berlaku hari ini dan selanjutnya. Namanya juga takdir. Siapa yang tahu, kan?

"Udah deh, jangan nangis, nanti riasan kamu luntur. Kamu udah di dandanin cetar begini." Desy membantu menghapus air mata di wajah Naomi dengan tisu. Nggak lucu kan kalau make up pengantin luntur karena menangis? Eh, tapi make up mahal, masa luntur, hehe.

"Makasih ya Des. Kamu selalu nenangin aku."

"Iya, sebagai bayarannya, kamu harus menemani aku juga saat aku menikah nanti."

Naomi mengangguk saja walau dia tak yakin akan diperbolehkan bertemu sahabatnya selalu setelah ini.

"Yuk, kita keluar. Suami duda kamu itu kayaknya udah nggak tahan beberapa menit saja nggak melihat wajah kamu." Desy terus berbicara soal Adrian.

Naomi saja enggan untuk memandang Adrian berlama-lama.

"Apaan sih Des. Kamu ngaco deh."

"Beneran. Ngapain ih aku bohong? Dia tu ya, kelihatan banget dari mukanya, mungkin kelamaan menduda kali ya, jadi pas dapat bini muda kinclong jadi bahagia gimana gitu."

"Ish, diam deh. Kamu ngomong terus."

Setibanya di pelaminan, Naomi disambut mesra oleh Adrian. Pria yang mengakhiri masa dudanya setelah lima tahun itu mengulurkan tangannya untuk menyambut lembut dan mesra tangan Naomi. Tentu saja Naomi tak serta merta menerima uluran tangan suaminya, dia menatap lekat Adrian, mencermati air muka dari pria yang sok baik manis di hadapan semua orang.

Pandai sekali dia berakting. Kenapa tidak menyambi jadi aktor saja?

"Sayang!" Panggilan dari Adrian menyentak lamunan Naomi, dengan sedikit gelagapan ia pun menyambut uluran tangan sang suami.

Seolah tahu Naomi tengah gugup, Adrian mengedipkan sebelah matanya menggoda sang gadis.

Apa-apaan sih dia? Naomi menggerutu dalam hati.

Naomi dan Adrian duduk manis di singgasananya tempat ia menjadi raja dan ratu sehari. Layaknya pernikahan yang diidam-idamkan oleh semua pasangan, mereka menggelar pernikahan besar-besaran, menggelontorkan dana yang tak terhitung banyaknya. Dan itu semua atas keinginan Adrian.

Di atas pelaminan, Naomi menebar senyum pada setiap tamu undangan yang kebanyakan tidak dikenalnya. Di sebelahnya, Adrian juga melakukan hal serupa.

Hingga waktu salam-salaman tiba, beberapa orang lebih tepatnya 3 orang yang terdiri dari dua pria dan seorang wanita, yang tidak lain tidak bukan ialah Marvin, Adriana dan Donny naik ke pelaminan untuk menyapa dan memberi selamat.

"Cieee yang pengantin baru." Tanpa rasa malu, Marvin bersorak-sorai membuat mereka jadi pusat perhatian. Meskipun sejak awal memang mereka adalah raja ratunya, tapi tak seperti ini juga.

Lalu dengan tak tahu dirinya, pipi Naomi malah bersemu merah ketika satu kedipan mata lagi ditujukan Adrian untuknya.

Seketika itu juga, Naomi mengalihkan pandangan dari Adrian. Tidak ingin wajah memerahnya dilihat oleh pria itu.

Memang sih, gadis mana yang tak ingin menikah dengan seorang pria seperti Adrian, yah walaupun statusnya seorang duda, namun visualnya sangat tampan dan kaya raya. Apa Naomi bisa dikatakan gadis yang beruntung?

Oh ayolah. Naomi paham betul Adrian menikahinya bukan karena cinta, tapi karena keluarganya memiliki hutang yang sangat besar pada Adrian.

"Hei, Nyonya Adrian, selamat ya, kenalkan aku Adriana, adik kembar ketemu gede-nya suami kamu." Mendengar suara wanita, Naomi menoleh dan mendapati Adriana tersenyum lebar padanya.

Apaan tadi? Adik kembar ketemu gede? Apa karena nama mereka yang mirip? Ada-ada saja. Tck! Entahlah, tapi Naomi berdecak karenanya.

"Selamat ya bro, akhirnya ketemu jodoh juga, semoga cepat dapat momongan ya."

Waduh. Ini lagi sahabat Adrian yang satunya. Pakai mendoakan cepat dapat momongan pula. Membayangkan malam pertama saja Naomi tidak bisa. Aish, semoga dia tidak memintanya dariku malam ini lalu malam-malam selanjutnya, doa Naomi.

Waktu berlalu, para tamu undangan sudah pada pulang yang kini menyisakan Naomi, Adrian, Desy, Ayah Naomi dan keluarga tirinya. Tampak Marsya, Ricko dan mamanya melempar tatapan iri sekaligus kemarahan pada Naomi.

Naomi ingin pergi, keluar dari ruangan mewah ini, lelah harus berpura-pura tersenyum manis padahal hati teriris. Namun, Naomi tidak bisa karena Adrian selalu memperhatikannya.

"Naomi, ayah dan yang lainnya harus pulang. Mulai sekarang, kamu harus ikut dengan suamimu ya. Ayah telah mempercayakan Adrian untuk menjagamu. Berbaktilah padanya, jadilah istri sesungguhnya." Arya Satya, ayah Naomi memberi nasehat walau terpaksa berbohong soal perasaannya. Mana mungkin secepat dan semudah itu dia mempercayakan bungsunya pada Adrian. Beliau juga was-was jika pernikahan putrinya tidak bahagia, tapi harus bagaimana lagi? Toh, Adrian sudah menyelamatkan nyawanya.

"Ayah, kenapa cepat sekali? Ayah kan bisa menginap semalam di hotel." Naomi memandang Adrian, pura-pura mengernyit alis, meminta persetujuan.

"Tidak apa-apa, ayah pulang saja." Sang ayah membuat keputusan.

"Oh, baiklah." Naomi tak lagi menghalang karena itu adalah keputusan ayahnya.

"Oh ya, pa, nanti akan ada supir yang mengantar kalian pulang. Tunggu saja di lobi ya," ucap Adrian pada Arya Satya.

"Terima kasih, nak."

Naomi mengantarkan kepergian ayahnya dari ruangan mewah yang merupakan ballroom hotel itu. Dia juga ingin kembali ke kamar, karena selain ayah dan keluarga tirinya, Desy juga pamit pulang tadi. Namun sebelumnya, Naomi ingin minta izin dari Adrian dulu. Tapi, begitu dia menoleh, tidak ada Adrian bersamanya.

Di mana dia?

Mata Naomi sempat memutar berkeliling ruangan mencari keberadaan Adrian, tapi tidak menemukan sosok pria itu. Ah, pergi saja, tak perlu minta izin, hati kecil Naomi berkata.

Dia pun melangkah meninggalkan ruangan menuju kamar riasnya tadi yang sekaligus kamar menginapnya malam ini. Naomi ingin segera melepas gaun pengantinnya dan terus tidur.

Namun, keberadaan seseorang beberapa meter di hadapan menghentikan langkah Naomi. Sepertinya, seseorang itu memang telah menunggunya sedari tadi.

Gema!

Naomi memperpendek jarak mereka, hingga dia bisa melihat mata bulat milik Gema nyaris bengkak. Ah, jangan bilang Gema telah menangis semalaman. Naomi merasa bersalah banget.

"Gema—"

"Naomi, apa salahku? Kenapa nasibku buruk begini?" Gema sudah pula berurai air mata, dia menunduk berusaha menutupi wajahnya.

Astaga! Baru pertama Naomi melihat Gema menangis, dan rasanya menyakitkan sekali. Dada Naomi sesak, dia ingin pergi saja, tapi dia harus meminta maaf dulu sama Gema.

"Gema—"

"Kenapa, Naomi? Kenapa begitu cepat kamu melupakan aku dan menikah dengan pria lain? Kamu selalu bilang, aku pria baik, tapi kenapa bukan dengan pria baik ini kamu menikah?" Gema menangis sampai sesegukan.

"Gema—"

"Apa salahku, Naomi? Kemarin, aku masih mengantar kamu pulang, hubungan kita masih baik-baik saja, lalu sekarang kamu menikah dengan pria lain."

"Gema, maafkan aku." Akhirnya Naomi pergi begitu saja dari hadapan Gema. Ia ingin minta maaf dan mengatakan alasan disebaliknya, tapi buat apa? Tetap saja dia membuat Gema menangis, tetap saja dia membuat Gema terluka.

Naomi menerobos masuk kamarnya, lalu menghempas tubuh ke kasur, kakinya yang lelah tak mampu lagi berdiri, ditambah perasaan bersalah pada Gema. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Jadi, kamu punya pacar ya?" Suara pria tiba-tiba bertanya pada Naomi.

Suara Adrian.

                                  ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status