Share

Buka Gaun Pengantin

Adrian baru selesai telponan dengan Tristan yang ia tugaskan mengikuti Elang, ketika matanya menangkap siluet Naomi. Gadis yang sudah berganti berstatus menjadi wanitanya itu berlari keluar dari ballroom hotel tempat resepsi pernikahan mereka berlangsung tadi.

Naomi? Kenapa dia terburu-buru sekali?

Adrian tak ingin peduli soal Naomi yang berlari keluar dengan buru-buru, toh ia yakin wanitanya itu tak akan berani melarikan diri darinya.

Namun, sepersekian detik berikutnya, langkah Adrian malah bergerak membuntuti Naomi. Sungguh, cepat sekali berubah pikiran.

Langkah cepat dan panjang Adrian terhenti tepat di ujung lorong yang berbelok, menyandar punggungnya di tembok sembari sesekali mengintai karena di hadapan sana dia mendapati Naomi berdua dengan seorang pemuda. Dan anehnya lagi, pemuda tersebut tengah menangis.

Sekali lagi, Adrian tak mau penasaran hal yang menyangkut istri barunya itu, tapi perlakuannya malah sebaliknya. Adrian ketahuan menguping pembicaraan itu.

Apa mereka pacaran?

Ah, terserahlah. Yang penting sekarang, Naomi adalah istriku.

                                   ***

Naomi berbaring menelungkup di kamar hotel dengan gaun pengantin yang masih melekat indah di tubuhnya. Matanya sembab, bekas air mata masih basah di sekitar wajah mulusnya bahkan membasahi bantal hotel.

Ya, Naomi masih ingin berbaring, menangis, menghilangkan sesak di dadanya karena perasaan bersalah ketika suara bariton seorang pria menggema di dalam kamar, mengagetkannya.

"Jadi, kamu punya pacar?"

Naomi tak butuh waktu lama untuk menebak itu suara milik siapa.

Adrian? Kapan dia masuk?

Sontak, Naomi berbalik dan mengubah posisi menjadi duduk memeluk lutut. Oh Tuhan. Apa yang pria ini lakukan di kamarku? Ups, ralat, maksudnya kamar hotel. Bukankah seharusnya Adrian mengambil kamar yang berbeda dengannya? Kenapa Adrian malah di sini?

Tanpa Naomi sadari, dia menahan nafas dari beberapa detik tadi. Hanya dengan mendengar suara Adrian saja, aura dalam kamar seolah berubah, seperti ada awan hitam yang berarak hendak menyelimutinya.

Tuhan tolong!

"Pemuda yang nangis tadi itu, pacar kamu?" Adrian bertanya lagi.

Pemuda? Nangis? Naomi mencerna pertanyaan Adrian hingga beberapa detik selanjutnya bola matanya melebar. Jadi, Adrian melihat saat aku bertemu Gema tadi? Ah.

Naomi masih belum menjawab membuat Adrian kesal dan kembali bertanya. Padahal, dia nggak harus nanya juga, kan?

"Naomi, jangan pura-pura budeg apalagi hilang ingatan. Aku lagi ngomong sama kamu. Yang tadi itu beneran pacar kamu?" Adrian bertanya seraya melangkah mendekati ranjang. Suaranya meninggi.

"I—iya Tuan Adrian." Naomi sampai tergagap, dan berusaha lebih memundurkan tubuhnya pada pangkal ranjang, kalau bisa dia ingin menghilang saja dari kamar ini.

Hening beberapa saat hingga akhirnya Adrian kembali bersuara. 

"Jahat juga kamu ya. Berpacaran dengan dia, lalu menikah denganku. Tck!" Adrian sampai berdecak, matanya memicing tajam seolah perbuatan Naomi adalah perbuatan yang sangat tidak disukainya dan jahat.

Apa? Bisa-bisanya dia bilang aku jahat? Karena siapa aku terpaksa menikah, heh?

Tangan Naomi meremas kuat gaun pengantinnya seraya beranjak turun dari ranjang. Benar, dia memang jahat. Naomi telah menyebabkan seorang pemuda baik seperti Gema menangis. Tidak cuma itu, kemungkinan besar masalah yang menimpanya ini akan jadi trauma bagi Gema untuk kembali berpacaran. Ditinggal menikah, siapa yang mau, kan?

Tapi, seharusnya Adrian sadar diri untuk tak mengatai Naomi jahat. Karena siapa Naomi harus menikah muda? Naomi juga tidak ingin. Ketakutan akan Adrian dan kesedihan karena telah melukai perasaan Gema, seketika menguap ke udara berganti jadi sebal.

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku bahkan tak menginginkan pernikahan ini. Kamu sendiri tahu kan alasannya." Naomi berusaha kuat agar tak melulu bisa direndahkan oleh Adrian. Dia bahkan memberanikan diri mendekat dan menatap balik tepat ke manik mata pria itu.

"Jadi kamu menyesal menikah denganku?"

"Tentu saja."

"Oke, jadi bagaimana mau kamu? Apa mau bercerai? Aku sih baik-baik saja, menduda sekali lagi juga tidak masalah, tapi apa kamu sudah siap menjadi janda?" Adrian menekan suaranya pada kata janda, dengan muka menyeringai.

Apa? Janda?

Oke, begini. Naomi membuat Gema menangis karena ia terpaksa menikah dengan Adrian. Oke, Naomi bersalah. Anggap Naomi merelakan semuanya, masa depannya, cintanya untuk mengabdi menjadi istri dari seorang duda beranak satu, Adrian Kelana. Lalu Naomi akan menjalani hari-hari menyebalkan menghadapi tingkah laku dan sikap keras suaminya itu, rasanya lebih baik dan tidak apa-apa dibanding harus menyandang predikat janda bahkan di hari pertama menikah. Iya, kan?

Hei, siapa sih yang pertama berulah sampai keluarga mereka harus bertemu dan berhutang budi dengan orang bernama Adrian ini?

Marsya.

Harusnya kakak tirinya itu yang menjalani pernikahan menyebalkan ini, bukan Naomi.

Terlalu lama mendapat jawaban dari Naomi karena wanitanya itu terdiam dengan pikiran rumitnya, Adrian lalu mengulang bertanya.

"Bagaimana, sudah siap jadi janda?" Alisnya bergerak turun naik, benar-benar menguji emosi Naomi.

"Oke, aku nyerah." Naomi akhirnya mendesah berat. "Aku tidak ingin membuat ayah kecewa dan malu." Naomi membuat alasan yang masuk akal.

"Bagus. Rupanya kamu masih tahu diri juga."

"Aku cukup tahu diri kok."

"Good girl. Kalau begitu, mulai sekarang jangan panggil aku Tuan Adrian, tapi ... sayang."

Sayang? Nggak salah dengar? Naomi yang berpacaran dengan Gema saja, tak pernah saling memanggil dengan sebutan itu. Apalagi panggilan sayang ke Adrian? Uek. Mau muntah rasanya.

"I—iya sayang." Dengan malas Naomi mengiyakan juga memanggil sayang pada pria itu. Menyebalkan!

"Kok mukanya gitu? Nggak ikhlas ya?" cecar Adrian.

Memang nggak, sahut hati Naomi. 

"Ikhlas kok."

"Kalau ikhlas, panggilnya yang lembut dong, Mas Adrian sayang." Adrian mencontohkan dengan suaranya yang sengaja dibuat mendayu-dayu dan semerdu mungkin. Demi apa, Adrian sendiri pun muak mendengar suaranya. Sejak bila pula dia harus segitunya merayu seorang wanita.

"Iyaaa, Mas Adrian Sayang," ucap Naomi seraya memaksa senyuman.

"Nah, gitu dong. Kan enak dengarnya." Adrian menyeringai puas. "Ayah kamu kan juga udah menasehati agar kamu berbakti pada suami dan menjadi istri sesungguhnya."

Iya, kalau nikahnya atas dasar cinta, jerit hati Naomi.

Dan, jeritan dalam hatinya makin nyaring hingga tertelan ke dasar perut saat Adrian bergerak mendekat, mengikis jarak antara mereka. Apalagi begitu tangan kekar dihiasi bulu-bulu halus itu merambat naik menyentuh pipinya, Naomi ingin menjerit, tapi yang terjadi kerongkongannya tercekat, untuk menelan saliva saja susah.

Parahnya lagi, jantungnya malah berdebar kencang, deg deg ser. Iya, tahu, Adrian tampan, dan yah ... menggiurkan. Masih dalam balutan pakaian lengkap saja Naomi bisa membayangkan kalau Adrian itu adalah pria dengan roti sobek. Tapi, nggak gini juga dong, wahai jantung. Gengsian dikit dong.

Naomi juga yakin seratus persen, wajahnya sudah memerah.

Apa-apaan sih aku? Naomi kesal dengan dirinya sendiri, tapi mau bagaimana lagi? Jantung berdebar, wajah memerah, salah tingkah saat berdekatan dengan pria cakep apalagi sudah berstatus suami walaupun tak sama-sama cinta merupakan naluriah, bukan?

Susah payah Naomi meneguk ludah, baru kemudian meloloskan pertanyaannya.

"K—kamu mau ngapain?"

"Mas Adrian Sayang." Adrian meminta Naomi mengulang panggilannya disertai kedipan genit.

"Iya, Mas Adrian Sayang, mau ngapain?"

"Mau ngapain lagi? Kegiatan yang dilakukan pengantin baru saat malam pertama-lah." Adrian berucap mantap, mendekatkan wajahnya ke wajah Naomi yang memerah sementara tangannya terulur ke belakang pada bagian resleting gaun yang Naomi kenakan.

Jangan bilang dia mau membukanya.

                               ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status