"Firman! Gimana? Yunita sudah telat haid?" tanya Ibu mertua yang tengah menelpon Mas Firman, kebetulan panggilan teleponnya di loud speaker jadi aku bisa mendengarnya.
Aku hanya menggigit bibir bawahku, meski aku tahu jawabannya, sampai kini aku masih belum juga hamil."Belum Bu! Ibu doain aja ya!" sahut Mas Firman seraya menatapku."Ibu rasa istrimu itu mandul Man! Kamu harus menikah lagi!"Degh!Perkataan Ibu membuatku tercekat, aku yang tengah merapikan tempat tidur pun terdiam seketika."Ibu! Ngomong apaan sih! Poligami itu bukan perkara mudah, salah-salah malah jadi dosa Bu!" Mas Firman mengusap kasar rambutnya."Kalau kamu merasa berat jika poligami, ya sudah ceraikan saja istrimu! Kamu pikir menikah hanya modal cinta saja itu cukup! Adanya anak itu juga penting Firman!" Terdengar suara Ibu begitu menggebu.Aku pun terduduk di tepi ranjang, membelakangi Mas Firman. Menatap ke arah luar jendela. Rasanya hatiku seperti tersayat."Bu! Sudah ya, ini Firman udah harus berangkat ke rumah makan." Aku yakin Mas Firman hanya ingin menghindari obrolan lebih panjang lagi dengan ibunya."Tapi ingat ya Man! Kalau kamu sayang sama Ibu, kamu harus nurut sama ibu!"Panggilan telepon mereka pun terputus.Perlahan kurasakan usapan lembut di punggungku."Sayang! Ssst, kamu nggak usah pikirin ucapan Ibu ya! Mas cinta sama kamu." Lembut Mas Firman mengecup bahuku. Aku menoleh. Melihatku yang sudah berurai air mata, Mas Firman menarikku ke dalam pelukannya.Bagaimana mungkin aku bisa tenang saat ibu mertuaku menginginkan putranya untuk menikah lagi karena aku belum bisa memberinya cucu."Mas, mungkin kamu bisa saja berkata seperti itu sekarang, tapi besok atau lusa, bisa saja akhirnya kamu menuruti keinginan Ibu," ucapku dengan suara serak, rasanya begitu sesak di dalam sini."Nggak akan. Kamu percaya sama Mas!" Mas Firman mengusap-usap lembut punggungku.Aku hanya menatap lekat kedua manik matanya, terlihat jelas kesungguhan dan ketulusan terpancar di sana. Aku menyeka air mataku. Mencoba menata kembali suasana hati ini."Sayang, Hari ini kamu di rumah aja, ya. Nggak perlu ikut ke Rumah makan. Kamu istirahat." Mas Firman mendaratkan kecupan hangat di keningku, aku mengangguk dengan mengulas senyum."Mas, hati-hati ya," sahutku seraya meraih tangannya dan mencium takzim. Kemudian mengantarnya sampai di depan.Setelah Mas Firman berangkat aku merebahkan tubuhku. Perlahan tanganku mengusap lembut perutku yang rata, pandangan ini menerawang jauh ke langit-langit kamar ini.Kapan kau hadirkan zuriat ke dalam rahimku ya Tuhan? Aku begitu mendambakan kehadiran sosok bayi mungil sebagai pelengkap kebahagiaan kami.Perlahan kedua mata ini meremang, mengingat ucapan Ibu di telepon tadi. Waktu tiga tahun pernikahan memang q belum lah cukup lama kami mengarungi rumah tangga ini, tapi tetap saja, mulut tetangga maupun saudara tak bisa di rem, terkadang membuatku muak. Apalagi ucapan Ibu.Tanpa terasa mata ini terpejam.Hingga terdengar pintu rumahku di ketuk seseorang membuat aku terjaga. Entah berapa lama aku tertidur kemudian terbangun karena kaget.Aku bangkit dan sejenak mematutkan diri di cermin, menyambar kembali hijab yang tadi aku lepas sebelum aku tertidur, dan memakainya.Bergegas menuruni anak tangga. Suara ketukan perlahan terdengar semakin keras seperti suara gedoran.Siapa sebenarnya yang datang berkunjung jam segini, karena biasanya aku di restoran bersama Mas Firman, dan rumah ini sepi jika aku dan Mas Firman berada di rumah makan.Kusingkap gorden jendela, untuk melihat siapa yang datang. Terlihat Ibu mertuaku sudah berdiri diambang pintu. Aku tarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan.Apalagi ibu datang di saat Mas Firman sedang tidak ada di rumah, bukan apa-apa, sejak setahun belakangan ini Ibu selalu saja mendesakku dengan ucapan-ucapan beliau tentang anak, tapi sekali lagi itu semua di luar kuasaku. Yang jelas aku dan Mas Firman sudah berusaha sudah ikhtiar namun Allah belum juga memberikan kepercayaan kepada kami.Aku putar anak kunci dan membuka pintu untuk ibu mertuaku."Lama banget sih bukain pintunya?! Ngapain aja di dalam? Ibu sampai capek berdiri di depan pintu!"Bukanya salam dulu, justru kena semprot sama Ibu. Aku hanya menghela napas mendengar kata-kata Ibu."Baru bangun tidur kamu?! Enak banget kamu, ya! Suami kerja kamu malah enak-enakan tidur di rumah," tambahnya lagi seraya melangkah masuk ke dalam rumah.Belum juga aku menjawab perkataannya, beliau sudah kembali mencecarku. Beliau tidak tau saja, aku di rumah juga karena kelelahan akibat ulah anaknya yang meminta jatah di pagi buta."Maaf Bu, tadi Yunita ketiduran, karena sedang kurang enak badan. Silahkan duduk dulu, Bu. Yunita buatkan minum buat Ibu–.""Halah, alesan aja kamu. Bilang aja kamu itu maunya males-malesan, tidur di rumah, sedangkan anak ibu harus kerja banting tulang buat kamu. Enak banget kamu!" Lagi Ibu mencecarku sambil menunjuk ke arah wajahku.Entah aku sendiri tidak mengerti kenapa sekarang ibu berubah, dulu beliau sangat baik terhadapku, tapi setahun belakangan ini beliau bersikap seperti tidak menyukaiku."Kapan kamu bisa ngasih cucu buat Ibu. Kamu tau kan, Firman itu anak laki-laki Ibu satu-satunya, ia juga anak sulung, Ibu juga ingin segera menimang cucu!" tukasnya lagi dengan lantang kemudian mendaratkan bobotnya di sofa.Aku hanya bisa menghela napas mendengar perkataannya. Rasanya mau jawab apapun juga pasti salah di mata beliau.Sebisa mungkin kutahan air mataku agar tak jatuh, aku cukup sensitif jika mengenai anak."Kami juga sedang berusaha, Bu. Ibu doain aja supaya kami segera di karuniai anak ya, Bu." Sebisa mungkin aku berucap dengan tenang, dan sopan pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik untuk wanita seusianya ini.Ayah mertuaku sudah lebih dulu berpulang sejak setahun lalu, semenjak saat itu, sikap ibu mulai berubah padaku, entah apa penyebab pastinya, aku pun tak mengerti."Halah, ngomong aja gampang. Tapi kapan? Kapaan?! Apa jangan-jangan kamu mandul?" Ibu menatap tajam dengan tatapan menelisik ke arahku.Kenapa Ibu harus menyematkan kata-kata mandul, aku yakin aku tidak mandul. Kata itu sangat menyakitkan."Ingat ya Yun! Kalau benar kamu itu mandul, maka jangan halangi Firman untuk menikah lagi! Biar bisa segera kasih cucu buat Ibu!"Ya Allah, tega sekali ia berkata seperti itu, hanya karena aku belum bisa hamil, bukan berarti aku mandul, karena kami sudah konsultasi ke dokter dan hasilnya kami berdua sehat, mungkin karena Allah belum memberi kepercayaan pada kami, hanya perlu bersabar hingga waktu itu tiba.Jika di tanya kapan waktu tiba, aku pun tak bisa menjawabnya kapan, tapi aku yakin suatu saat nanti Allah akan menjawab semua doa-doaku.Aku terdiam mendengar perkataan Ibu."Percuma punya wajah cantik tapi mandul! Nggak bisa punya anak! Berumah itu bukan hanya soal cinta! Tapi anak itu penting sebagai penerus garis keturunan! Paham kamu!"Ya Tuhan, teganya Ibu berkata seperti itu, beliau juga sama-sama perempuan, sampai hati Ibu menyuruh Mas Firman untuk menikah lagi! Hati ini seperti diremas kuat. sakit sekali. Walau tadi pagi aku sudah mendengar kalimat yang sama. Tapi ketika aku mendengar langsung kata itu keluar dari mulut Ibu, rasa sakitnya itu berkali lipat."Bu! Ibu kan juga perempuan, kenapa tega sekali berkata begitu!""Heh, aku memang perempuan, tapi aku bukan perempuan mandul sepertimu!"Aku menggeleng tak percaya, ibu mertuaku sepicik itu."Memang susah ya ngomong sama kamu! Sudahlah Ibu lapar, apa ada makanan?" Ibu berjalan menuju ke dapur tanpa bisa aku cegah.Aku belum masak, tadi pagi pun aku masak yang praktis hanya nasi goreng untuk sarapan berdua dengan Mas Firman.Duh siap-siap kena semprot lagi nih gara-gara aku belum masak. Aku bergegas menyusul Ibu menuju ke dapur.Beliau menuju meja makan dan membuka tudung saji. Kosong tidak ada apa-apa di sana."Yunita! Kamu ini kerjanya ngapain sih! Di rumah tidur-tiduran aja! Sampai kamu nggak masak juga?!" teriak Ibu, seraya membuka tudung saji. Aku hanya tersenyum getir menanggapinya.Beliau mendengkus kesal."Kamu itu jadi istri harus pinter masak, jangan mentang-mentang suamimu punya restoran, kamu di rumah enak-enakan nggak masak, mengandalkan suamimu pulang membawa makanan dari restoran!" Ibu masih terus nyerocos tanpa jeda.Tiba-tiba terdengar suara mobil suamiku memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian terdengar salam dari arah pintu depan, suara yang sangat kukenal. Itu suara Mas Firman. Kenapa ia pulang? padahal aku tak menghubunginya kalau Ibu datang."Wa'alaikumsalam!" sahutku hampir bersamaan dengan Ibu menjawab salam.Aku dan Ibu yang sedang di meja makan, serentak mengalihkan pandangan ke arah suamiku yang baru saja datang.Mas Firman menghampiriku dan mengusap pucuk kepalaku, sambil mengulas senyum, kemudian menghampiri ibunya dan mencium takzim punggung tangannya."Lihat nih istri kamu, di rumah bukannya masak, ngurus rumah, malah enak-enakan tidur! sedangkan kamu yang harus pontang-panting cari duit." Ibu mencebik."Bu, Yunita memang sedang tidak enak badan, Firman yang nyuruh dia istirahat, kalau dia kelelahan nanti yang ada Ibu makin lama lagi dapat cucu, ya kan!" Suamiku dengan tenang memberi pengertian pada ibunya."Kamu itu selalu saja membela dia. Kapan kamu ngasih cucu buat ibu. Ibu udah kepengin gendong cucu. Kalau belum juga hamil kamu harus mau nikah lagi, supaya bisa ngasih cucu buat ibu."Lagi dengan ringannya ibu berkata demikian, aku mendongak ke atas agar air mata ini tak jatuh. Sungguh rasanya sakit sekali. Tak bisa aku bayangkan jika harus berbagi suami. Sungguh tak sanggup Ya Tuhan.Mas Firman melirikku dengan ekor matanya. Tatapannya teduh, ia pasti sangat mengkhawatirkan bagaimana suasana hatiku sekarang ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan nanar.Apa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya?Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?BersambungApa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya? Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?"Bu, pernikahan kami juga baru berjalan tiga tahun, itu masih seumur jagung. usia kami juga masih muda, tentu masih banyak waktu dan kesempatan hingga waktu itu tiba, tak perlu lah ibu terus menerus menekan kami seperti ini." Mas Firman menjatuhkan bobotnya di kursi samping ibunya duduk. Ia berkata lembut memberi pengertian pada wanita yang juga begitu dicintainya.Aku melangkah ke dapur hendak membuatkan teh hangat untuk ibu mertuaku, rasanya tak sanggup berdiri lama-lama di sana mendengarkan semua cercaan yang beliau utarakan.Aku merebus air di dalam teko untuk menyeduh teh, aku hafal kesukaan ibu mertuaku, Beliau lebih menyukai teh bubuk daripada teh celup.Menunggu air mendidih, aku sejenak termenung, mengusap lembut wajah ini dengan kedua telapak tanganku, p
"Ehm, Kak Firman, kenalin ini temenku, namanya Tania. Tania ini kakakku, ganteng kan!" Laras memperkenalkan temannya itu, dengan gaya centilnya, gadis itu pun bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan suamiku, Mas Firman pun menerima uluran tangannya.Mas Firman hanya diam, meski Tania terlihat begitu lekat menetap Mas Firman. Hanya sekejap ia menatap ke arah Tania kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain."Saya, Yunita. Istrinya Mas Firman," sergahku cepat mengulurkan tangan, melihat Tania masih terus memandangi wajah suamiku, tentu aku merasa gerah melihatnya."Ah, iya Kak Yunita, saya Tania, teman seprofesi dengan Laras." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kami berjabat tangan. Kemudian ia kembali duduk."Yunita, sana kamu bikinin minum. Masa ada tamu gini di diemin aja." Ibu tiba-tiba bersuara saat kami semua sedang duduk. Suaranya terdengar seperti memerintah.Bahkan di saat ada orang lain pun, Ibu tetap menunjukkan sikap tak sukanya padaku. Tak bisakah barang sedikit sa
Setelah selesai makan malam, Mas Firman langsung beranjak naik ke atas, aku membereskan sisa makan dan piring di meja makan. "Sayang, tolong beritahu kamar untuk Laras, dan temanya di kamar bawah, dan tolong jangan keluyuran naik ke atas, boleh naik ke atas hanya untuk menjemur pakaian. Itupun di lakukan pada siang hari." Mas Firman yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti kemudian mengatakan itu, serentak kami yang masih berada di meja makan menoleh ke arahnya. "Baik, Mas," sahutku cepat. Aku melirik Tania dan Laras, mereka saling pandang, entah apa yang ada dipikiran mereka aku tak tau. "Firman, masa mau naik ke atas aja, nggak boleh." Ibu pun ikut bersuara. "Tolong, Bu. Hargai keputusanku, jika ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan di rumah ini." Semua terdiam. Begitulah suamiku, ia akan berkata lembut saat bersamaku, tapi ia juga akan tegas jika ada yang menentang keputusannya. Memang aku pikir itu memang yang terbaik, Tania bukan siapa-siapa dan bukan muhrim bag
Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 🌺🌺🌺Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. "Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja."Maaf Kak, aku tadi tak sengaja.""Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi.""Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. "Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawat
Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini. Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan. "Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya. "Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku. "Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas." "Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku. "Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho." "Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk
"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!" "Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon. Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain. "Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania. Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras. "Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam. "Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku. "Lihat aja nih Kak, di
Aku hanya menghela napas, setelah kejadian ini, aku harus lebih hati-hati lagi dengan Tania, apalagi tadi aku sempat mendengar ia mengucapkan kata 'calon istrinya Pak Firman' melihat sikapnya tadi, aku bisa menyimpulkan dia bisa saja berbuat nekat untuk mencapai tujuannya.Entah apa yang disampaikan Ibu pada Tania, sehingga ia kini begitu berani berkata ia calon istrinya Mas Firman. Apa Ibu berniat menjodohkan Tania dengan Mas Firman, seperti yang beliau katakan jika aku tak kunjung hamil, Mas Firman harus bersedia menikah lagi ?"Kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Tania benar-benar arogan," Mas Firman menggeleng, kemudian menggandeng tanganku dan masuk ke ruangannya.Aku duduk dengan pikiran entah berantah. "Kamu kenapa? Kok diam? Aku minta Iwan membawakan makan siang kita kemari ya!" Melihatku terdiam, Mas Firman mendekat, raut wajahnya melukiskan kekhawatiran yang begitu tersirat dari tatapan matanya. Perlahan tangan lembutnya menyapu lembut pipiku, hingga kedua netra kami bertemu."
"Calon Istrinya siapa dia bilang?!" tiba-tiba Mas Firman sudah ada di belakangku dan ikut bersuara, aku sedikit terkejut jika Mas Firman ternyata mendengar penuturan Wati."Calon istri Pak Firman." Wati melanjutkan bicaranya yang tadi sempat terputus dengan menunjuk ke arah Mas Firman dengan ibu jarinya."Bicara apa kamu, Tania itu bukan siapa-siapa saya, jadi jangan membesar-besarkan suatu berita tak bermutu seperti ini. Paham kamu!" ucap Mas Firman tegas."Ma–Maafkan saya Pak Firman, saya sendiri pun tak akan setuju, perempuan itu tidak cocok samasekali sama Bapak." Lagi Wati menambahkan."Lalu cocoknya sama siapa? Sama kamu?!" tukasku."Bukan Bu, Pak Firman dan Ibu Yunita itu sudah pasangan yang sangat cocok, sangat serasi," jawabnya, membuat kedua alisku bertaut."Bukanya kamu tadi bilang kamu lebih cocok daripada Tania itu. Hem?!"