Share

Mampukah Aku Bertahan
Mampukah Aku Bertahan
Penulis: Tifa Nurfa

Bab 1 (Kedatangan Ibu Mertua)

"Firman! Gimana? Yunita sudah telat haid?" tanya Ibu mertua yang tengah menelpon Mas Firman, kebetulan panggilan teleponnya di loud speaker jadi aku bisa mendengarnya.

Aku hanya menggigit bibir bawahku, meski aku tahu jawabannya, sampai kini aku masih belum juga hamil.

"Belum Bu! Ibu doain aja ya!" sahut Mas Firman seraya menatapku.

"Ibu rasa istrimu itu mandul Man! Kamu harus menikah lagi!"

Degh!

Perkataan Ibu membuatku tercekat, aku yang tengah merapikan tempat tidur pun terdiam seketika.

"Ibu! Ngomong apaan sih! Poligami itu bukan perkara mudah, salah-salah malah jadi dosa Bu!" Mas Firman mengusap kasar rambutnya.

"Kalau kamu merasa berat jika poligami, ya sudah ceraikan saja istrimu! Kamu pikir menikah hanya modal cinta saja itu cukup! Adanya anak itu juga penting Firman!" Terdengar suara Ibu begitu menggebu.

Aku pun terduduk di tepi ranjang, membelakangi Mas Firman. Menatap ke arah luar jendela. Rasanya hatiku seperti tersayat.

"Bu! Sudah ya, ini Firman udah harus berangkat ke rumah makan." Aku yakin Mas Firman hanya ingin menghindari obrolan lebih panjang lagi dengan ibunya.

"Tapi ingat ya Man! Kalau kamu sayang sama Ibu, kamu harus nurut sama ibu!"

Panggilan telepon mereka pun terputus.

Perlahan kurasakan usapan lembut di punggungku.

"Sayang! Ssst, kamu nggak usah pikirin ucapan Ibu ya! Mas cinta sama kamu." Lembut Mas Firman mengecup bahuku. Aku menoleh. Melihatku yang sudah berurai air mata, Mas Firman menarikku ke dalam pelukannya.

Bagaimana mungkin aku bisa tenang saat ibu mertuaku menginginkan putranya untuk menikah lagi karena aku belum bisa memberinya cucu.

"Mas, mungkin kamu bisa saja berkata seperti itu sekarang, tapi besok atau lusa, bisa saja akhirnya kamu menuruti keinginan Ibu," ucapku dengan suara serak, rasanya begitu sesak di dalam sini.

"Nggak akan. Kamu percaya sama Mas!" Mas Firman mengusap-usap lembut punggungku.

Aku hanya menatap lekat kedua manik matanya, terlihat jelas kesungguhan dan ketulusan terpancar di sana. Aku menyeka air mataku. Mencoba menata kembali suasana hati ini.

"Sayang, Hari ini kamu di rumah aja, ya. Nggak perlu ikut ke Rumah makan. Kamu istirahat." Mas Firman mendaratkan kecupan hangat di keningku, aku mengangguk dengan mengulas senyum.

"Mas, hati-hati ya," sahutku seraya meraih tangannya dan mencium takzim. Kemudian mengantarnya sampai di depan.

Setelah Mas Firman berangkat aku merebahkan tubuhku. Perlahan tanganku mengusap lembut perutku yang rata, pandangan ini menerawang jauh ke langit-langit kamar ini.

Kapan kau hadirkan zuriat ke dalam rahimku ya Tuhan? Aku begitu mendambakan kehadiran sosok bayi mungil sebagai pelengkap kebahagiaan kami.

Perlahan kedua mata ini meremang, mengingat ucapan Ibu di telepon tadi. Waktu tiga tahun pernikahan memang q belum lah cukup lama kami mengarungi rumah tangga ini, tapi tetap saja, mulut tetangga maupun saudara tak bisa di rem, terkadang membuatku muak. Apalagi ucapan Ibu.

Tanpa terasa mata ini terpejam.

Hingga terdengar pintu rumahku di ketuk seseorang membuat aku terjaga. Entah berapa lama aku tertidur kemudian terbangun karena kaget.

Aku bangkit dan sejenak mematutkan diri di cermin, menyambar kembali hijab yang tadi aku lepas sebelum aku tertidur, dan memakainya.

Bergegas menuruni anak tangga. Suara ketukan perlahan terdengar semakin keras seperti suara gedoran.

Siapa sebenarnya yang datang berkunjung jam segini, karena biasanya aku di restoran bersama Mas Firman, dan rumah ini sepi jika aku dan Mas Firman berada di rumah makan.

Kusingkap gorden jendela, untuk melihat siapa yang datang. Terlihat Ibu mertuaku sudah berdiri diambang pintu. Aku tarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan.

Apalagi ibu datang di saat Mas Firman sedang tidak ada di rumah, bukan apa-apa, sejak setahun belakangan ini Ibu selalu saja mendesakku dengan ucapan-ucapan beliau tentang anak, tapi sekali lagi itu semua di luar kuasaku. Yang jelas aku dan Mas Firman sudah berusaha sudah ikhtiar namun Allah belum juga memberikan kepercayaan kepada kami.

Aku putar anak kunci dan membuka pintu untuk ibu mertuaku.

"Lama banget sih bukain pintunya?! Ngapain aja di dalam? Ibu sampai capek berdiri di depan pintu!"

Bukanya salam dulu, justru kena semprot sama Ibu. Aku hanya menghela napas mendengar kata-kata Ibu.

"Baru bangun tidur kamu?! Enak banget kamu, ya! Suami kerja kamu malah enak-enakan tidur di rumah," tambahnya lagi seraya melangkah masuk ke dalam rumah.

Belum juga aku menjawab perkataannya, beliau sudah kembali mencecarku. Beliau tidak tau saja, aku di rumah juga karena kelelahan akibat ulah anaknya yang meminta jatah di pagi buta.

"Maaf Bu, tadi Yunita ketiduran, karena sedang kurang enak badan. Silahkan duduk dulu, Bu. Yunita buatkan minum buat Ibu–."

"Halah, alesan aja kamu. Bilang aja kamu itu maunya males-malesan, tidur di rumah, sedangkan anak ibu harus kerja banting tulang buat kamu. Enak banget kamu!" Lagi Ibu mencecarku sambil menunjuk ke arah wajahku.

Entah aku sendiri tidak mengerti kenapa sekarang ibu berubah, dulu beliau sangat baik terhadapku, tapi setahun belakangan ini beliau bersikap seperti tidak menyukaiku.

"Kapan kamu bisa ngasih cucu buat Ibu. Kamu tau kan, Firman itu anak laki-laki Ibu satu-satunya, ia juga anak sulung, Ibu juga ingin segera menimang cucu!" tukasnya lagi dengan lantang kemudian mendaratkan bobotnya di sofa.

Aku hanya bisa menghela napas mendengar perkataannya. Rasanya mau jawab apapun juga pasti salah di mata beliau.

Sebisa mungkin kutahan air mataku agar tak jatuh, aku cukup sensitif jika mengenai anak.

"Kami juga sedang berusaha, Bu. Ibu doain aja supaya kami segera di karuniai anak ya, Bu." Sebisa mungkin aku berucap dengan tenang, dan sopan pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik untuk wanita seusianya ini.

Ayah mertuaku sudah lebih dulu berpulang sejak setahun lalu, semenjak saat itu, sikap ibu mulai berubah padaku, entah apa penyebab pastinya, aku pun tak mengerti.

"Halah, ngomong aja gampang. Tapi kapan? Kapaan?! Apa jangan-jangan kamu mandul?" Ibu menatap tajam dengan tatapan menelisik ke arahku.

Kenapa Ibu harus menyematkan kata-kata mandul, aku yakin aku tidak mandul. Kata itu sangat menyakitkan.

"Ingat ya Yun! Kalau benar kamu itu mandul, maka jangan halangi Firman untuk menikah lagi! Biar bisa segera kasih cucu buat Ibu!"

Ya Allah, tega sekali ia berkata seperti itu, hanya karena aku belum bisa hamil, bukan berarti aku mandul, karena kami sudah konsultasi ke dokter dan hasilnya kami berdua sehat, mungkin karena Allah belum memberi kepercayaan pada kami, hanya perlu bersabar hingga waktu itu tiba.

Jika di tanya kapan waktu tiba, aku pun tak bisa menjawabnya kapan, tapi aku yakin suatu saat nanti Allah akan menjawab semua doa-doaku.

Aku terdiam mendengar perkataan Ibu.

"Percuma punya wajah cantik tapi mandul! Nggak bisa punya anak! Berumah itu bukan hanya soal cinta! Tapi anak itu penting sebagai penerus garis keturunan! Paham kamu!"

Ya Tuhan, teganya Ibu berkata seperti itu, beliau juga sama-sama perempuan, sampai hati Ibu menyuruh Mas Firman untuk menikah lagi! Hati ini seperti diremas kuat. sakit sekali. Walau tadi pagi aku sudah mendengar kalimat yang sama. Tapi ketika aku mendengar langsung kata itu keluar dari mulut Ibu, rasa sakitnya itu berkali lipat.

"Bu! Ibu kan juga perempuan, kenapa tega sekali berkata begitu!"

"Heh, aku memang perempuan, tapi aku bukan perempuan mandul sepertimu!"

Aku menggeleng tak percaya, ibu mertuaku sepicik itu.

"Memang susah ya ngomong sama kamu! Sudahlah Ibu lapar, apa ada makanan?" Ibu berjalan menuju ke dapur tanpa bisa aku cegah.

Aku belum masak, tadi pagi pun aku masak yang praktis hanya nasi goreng untuk sarapan berdua dengan Mas Firman.

Duh siap-siap kena semprot lagi nih gara-gara aku belum masak. Aku bergegas menyusul Ibu menuju ke dapur.

Beliau menuju meja makan dan membuka tudung saji. Kosong tidak ada apa-apa di sana.

"Yunita! Kamu ini kerjanya ngapain sih! Di rumah tidur-tiduran aja! Sampai kamu nggak masak juga?!" teriak Ibu, seraya membuka tudung saji. Aku hanya tersenyum getir menanggapinya.

Beliau mendengkus kesal.

"Kamu itu jadi istri harus pinter masak, jangan mentang-mentang suamimu punya restoran, kamu di rumah enak-enakan nggak masak, mengandalkan suamimu pulang membawa makanan dari restoran!" Ibu masih terus nyerocos tanpa jeda.

Tiba-tiba terdengar suara mobil suamiku memasuki halaman rumah. Tak lama kemudian terdengar salam dari arah pintu depan, suara yang sangat kukenal. Itu suara Mas Firman. Kenapa ia pulang? padahal aku tak menghubunginya kalau Ibu datang.

"Wa'alaikumsalam!" sahutku hampir bersamaan dengan Ibu menjawab salam.

Aku dan Ibu yang sedang di meja makan, serentak mengalihkan pandangan ke arah suamiku yang baru saja datang.

Mas Firman menghampiriku dan mengusap pucuk kepalaku, sambil mengulas senyum, kemudian menghampiri ibunya dan mencium takzim punggung tangannya.

"Lihat nih istri kamu, di rumah bukannya masak, ngurus rumah, malah enak-enakan tidur! sedangkan kamu yang harus pontang-panting cari duit." Ibu mencebik.

"Bu, Yunita memang sedang tidak enak badan, Firman yang nyuruh dia istirahat, kalau dia kelelahan nanti yang ada Ibu makin lama lagi dapat cucu, ya kan!" Suamiku dengan tenang memberi pengertian pada ibunya.

"Kamu itu selalu saja membela dia. Kapan kamu ngasih cucu buat ibu. Ibu udah kepengin gendong cucu. Kalau belum juga hamil kamu harus mau nikah lagi, supaya bisa ngasih cucu buat ibu."

Lagi dengan ringannya ibu berkata demikian, aku mendongak ke atas agar air mata ini tak jatuh. Sungguh rasanya sakit sekali. Tak bisa aku bayangkan jika harus berbagi suami. Sungguh tak sanggup Ya Tuhan.

Mas Firman melirikku dengan ekor matanya. Tatapannya teduh, ia pasti sangat mengkhawatirkan bagaimana suasana hatiku sekarang ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan nanar.

Apa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya?

Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status