Share

Bab 2 (Kedatangan Dua Wanita cantik)

Apa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya? 

Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?

"Bu, pernikahan kami juga baru berjalan tiga tahun, itu masih seumur jagung. usia kami juga masih muda, tentu masih banyak waktu dan kesempatan hingga waktu itu tiba, tak perlu lah ibu terus menerus menekan kami seperti ini." Mas Firman menjatuhkan bobotnya di kursi samping ibunya duduk. Ia berkata lembut memberi pengertian pada wanita yang juga begitu dicintainya.

Aku melangkah ke dapur hendak membuatkan teh hangat untuk ibu mertuaku, rasanya tak sanggup berdiri lama-lama di sana mendengarkan semua cercaan yang beliau utarakan.

Aku merebus air di dalam teko untuk menyeduh teh, aku hafal kesukaan ibu mertuaku, Beliau lebih menyukai teh bubuk daripada teh celup.

Menunggu air mendidih, aku sejenak termenung, mengusap lembut wajah ini dengan kedua telapak tanganku, perkataan ibu barusan terus terngiang-ngiang di kepalaku, akankah aku siap dan mengijinkan suamiku menikah lagi. Ah, rasanya itu suatu hal yang sangat mustahil. Aku tak akan sanggup.

Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh lembut tanganku yang menutupi wajah, perlahan dengan lembut membuka tanganku dan menggenggamnya erat. Aku hafal dengan kelembutan sentuhan ini, tak salah lagi, ia suamiku.

Saat kubuka mata ini, perlahan ia mencium kedua tanganku, kemudian tersenyum.

"Mas Firman," bisikku lirih.

"Sudah jangan dengarkan perkataan Ibu. Aku akan tetap ada bersamamu, percayalah." Mas Firman seakan tau isi hatiku yang sedang gundah gulana. Aku hanya tersenyum. 

Semanis itu perlakuannya terhadapku, bagaimana mungkin aku rela membagi rasaku dengan wanita lain?

Tak berapa lama terdengar teko siul berbunyi, tanda air telah mendidih, segera kutuang ke dalam teko kecil yang biasa digunakan untuk menyeduh teh.

Mas Firman mengambil beberapa piring di rak piring. 

"Sudah, jangan terlalu di pikirkan ya, Sayang. Ayo kita makan," ucapanya lagi, mungkin karena melihatku banyak diam.

"Lho, Mas? Aku belum masak."

"Tadi Mas bawa makanan dari rumah makan, tadi sebelum Ibu kemari, beliau telpon Mas, jadi Mas pulang biar bisa makan siang bareng di rumah. Selain itu juga Mas nggak mau istri kesayangan Mas ini harus sedih sendirian menghadapi omongan Ibu. Maafin ibuku ya, Sayang."

Aku mengangguk, Mas Firman memang selalu mengerti kondisiku.

"Tapi perasaan tadi Mas masuk rumah nggak bawa makanan?" tanyaku heran.

"Tadi kelupaan di mobil, karena Mas buru-buru masuk." Mas Firman menjawab sambil terkekeh, kemudian berlalu ke meja makan. Antara dapur dan meja makan, terhalang dinding jadi Ibu tak bisa melihat ke arah kami.

Kami pun makan siang dalam keheningan, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang beradu.

"Nanti setelah salat dhuhur  Firman langsung ke restoran lagi ya, Bu," ucap Mas Firman memecah keheningan.

"Iya. Firman sebenarnya kedatangan ibu kemari, ada yang ingin ibu sampaikan.  Adikmu Laras kan sudah lulus kuliah, nah sekarang dia sedang mencari kerjaan. Sementara ia mencari kerja, biar dia tinggal di sini sementara waktu, sampai mendapatkan pekerjaan. Ya, sambil menunggu Laras dapat kerjaan, dia bisa bantu-bantu kamu di rumah makan kan."

Aku hanya diam mendengarkan Ibu bicara dengan Mas Firman.

"Bukanya Laras masih aktif jadi model, Bu?" tanya suamiku terlihat heran.

Memang setahuku Laras selain kuliah dia juga menekuni dunia modelling, job sebagai model sering diambilnya di sela-sela jadwal kuliahnya.

"Memang masih, tapi kalau memang ada pekerjaan yang lebih mapan kan, apa salahnya ambil pekerjaan lain yang lebih menjanjikan." Mas Firman hanya manggut-manggut tanda mengerti.

Adik iparku memang cantik, tinggi semampai dengan kulit putih bersih, hidungnya mancung, dengan model gaya rambut di cat sedikit pirang di beberapa helai rambutnya. 

"Kamu tidak keberatan kan, Yun? Kalau Laras sementara tinggal di sini?" Tiba-tiba Ibu melempar pertanyaan itu padaku. 

"Tentu saja tidak Bu, Yunita tidak keberatan," jawabku cepat.

"Bagus kalau begitu. Memang harusnya seperti itu, rumah ini kan rumah Firman, jadi tak masalah Laras tinggal di sini kapanpun." Aku terdiam, rasanya ada sedikit rasa tak nyaman mendengar kalimat yang beliau ucapkan.

Tak berapa lama, makan siang kami selesai, aku bergegas membereskan semuanya. Ibu juga terlihat masuk ke kamar tamu, hendak istirahat.

Usai melaksanakan salat dhuhur Mas Firman pamit untuk kembali ke rumah makan. 

"Mas, aku ikut ke rumah makan ya?" pintaku. Kami bahkan masih mengenakan alat salat lengkap usai berjamaah.

"Kamu di rumah aja, istirahat yah. Ada Ibu juga di rumah, masa di tinggal sendirian, kasihan nanti jika beliau butuh apa-apa." Mas Firman berkata dengan lembut, menatapku sambil mencolek dagu ini.

"Kamu sabar ya. Sebenarnya Ibu itu baik, tapi mungkin karena usianya sudah semakin tua jadi beliau sekarang sedikit cerewet." Lagi Mas Firman meyakinkanku. 

Seolah tau isi hatiku yang  mulai diliputi rasa kurang nyaman jika ibu kembali berkata seperti tadi.

Kami hanya saling tatap, kemudian Ia menariku dalam dekapannya, membenamkan wajahku ke dalam dada bidang miliknya. 

"Mas janji akan pulang sebelum petang. Kamu istirahat yah! Mas tak ingin kamu sakit." Mas Firman mengangkat wajah ini, dan membingkainya hingga kedua netra kami bertemu, aku dapat merasakan detak jantungnya. 

Lelaki tampan yang kini di hadapanku, yang selalu mampu memberiku ketenangan, dengan segala kelembutannya, seolah menjadi sosok yang nyaris sempurna bukan hanya di mataku, mungkin juga di mata wanita lain yang melihatnya. 

Kedua iris mata hitam, dengan alis tebal hampir menyatu, hidung mancung, rahang kokoh dengan sedikit jambang halus, dan lesung di kedua pipinya jika ia tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Sungguh semua itu bak terpahat sempurna, begitu indah ciptaan Allah yang ada di hadapanku ini. 

"Kenapa liatin Mas, sampai begitu? Mas ganteng ya!" Mas Firman mengangkat sebelah alisnya dengan senyum merekah di bibirnya.

"Hmmm, aku ... Aku takut Mas. Aku takut kamu akan,–"

"Ssstt! Sampai kapanpun aku akan tetap milikmu." Dengan cepat Mas Firman mengatupkan bibir ini dengan jari telunjuknya, seolah tak ingin aku mengatakan hal itu.

Meyakinkan jika hal itu tak pernah terjadi, semoga benar adanya. Semoga benar ia akan teguh pada janjinya.

***

Langit sore menampakkan semburat warna jingganya di ufuk barat, sinarnya terbentang dengan gagah, angin sore yang sepoi-sepoi menambah keindahan suasana senja ini.

Ibu masih di dalam kamar usai makan siang tadi, aku tak ingin mengganggu istirahatnya. 

Tak berapa lama Mas Firman tiba di rumah. Lengan besarnya merangkul pundakku dan berjalan memasuki rumah kami, usai memarkirkan mobilnya.

Sayup-sayup terdengar suara Ibu sedang menelepon seseorang di ruang tengah.

"Kamu langsung kesini saja di rumah kakakmu, ya! Ibu sudah bilang, dan mereka tidak keberatan, kok."

"Iya, hati-hati ya, Ras!" 

Dari panggilan yang disebutnya, sudah pasti itu Laras. 

"Siapa, Bu?" tanya Mas Firman yang sedang berjalan denganku.

"Adikmu Laras, malam ini juga, dia akan datang kemari, dan akan tinggal di sini."

Mas Firman duduk di kursi ruang keluarga, dan aku berlalu ke dapur membuatkan secangkir kopi kesukaannya.

Setelah kopi siap, aku bawa ke ruang tengah tempat Mas Firman dan Ibu sedang duduk santai.

"Ibu, mau kubuatkan teh?" tanyaku lembut sambil meletakkan secangkir kopi panas di meja. Uap kopi panas masih mengepul bersamaan dengan aroma wangi khas kopi yang menguar ke udara.

"Nggak usah, minum manis terus yang ada nanti ibu bisa kena diabetes," jawabnya ketus.

Aku hanya menghela napas, niat baikku menawarkan minuman hangat, disambut sedemikian ketusnya. Sabar, sabar.

Mendengar sahutan Ibunya, Mas Firman sempat melirikku, dan tersenyum hangat,  seolah ingin menenangkan, walau lewat senyuman. Aku membalas senyum tipis.

"Mas, mau makan dulu atau mandi dulu?"  

"Mas mandi dulu aja Sayang, nanti makan setelah Maghrib aja." Mas Firman meraih kopi kemudian meniupnya pelan, menikmati kopi hangat yang cenderung panas itu.

"Iya, Mas." Aku pun duduk di sampingnya.

Tak ingin salah bicara, Aku lebih banyak diam, Apapun yang aku ucapkan, selalu salah di mata Ibu.

"Assalamualaikum!"

Tak berapa lama terdengar Salam dari arah pintu depan, serentak kami yang sedang duduk di ruang tengah menoleh ke arah pintu utama.

"Wa'alaikumsalam!" jawab kami hampir bersamaan.

Dari suaranya seperti suara Laras–Adik iparku. Ibu pun bangkit dan berjalan ke depan.

"Kamu sudah wangi, Sayang." Mas Firman berbisik, seraya mendaratkan kecupan di pipiku, saat Ibu sudah berlalu ke arah pintu depan.

"Udah donk, kan udah mandi," sahutku.

"Laras, wah ini siapa? Cantik sekali." Terdengar suara renyah Ibu menyambut Laras, yang sepertinya datang bersama seseorang.

"Ah iya, kenalin ini Tania, teman Laras, Bu."

"Selamat Sore, Tante." Suara seorang perempuan yang sepertinya temannya Laras.

"Firman! Ini adikmu sudah datang, kesini donk! Jangan di dalam terus!" teriak Ibu memanggil suamiku.

"Iya, Bu!" serunya.

"Ayo, Mas ke depan, nggak enak sama Ibu." Aku bangkit dan mengajak suamiku untuk ke depan dan melihat siapa yang datang.

Rumahku kedatangan dua wanita cantik rupanya, Laras datang bersama temannya, yang mungkin juga seorang model seperti dirinya, terlihat dari gaya berpakaian dan gaya rambutnya.

Gadis yang tinggi semampai, dengan rambut di cat sedikit cokelat, memakai pakaian seperti kurang bahan. Rambutnya di cepol ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Wajahnya putih bersih, dengan bibir merah menyala.

"Kak Firman!" Laras mendekati kami dan meraih tangan suamiku kemudian menciumnya takzim. Bahkan ia tak melirik sama sekali ke arahku, seolah aku tak ada. Padahal jelas-jelas aku masih berdiri di samping Mas Firman.

"Laras, kamu sehat?" tanya Mas Firman pada adik semata wayangnya itu.

"Alhamdulillah sehat, Kak," jawabnya sambil tersenyum manja.

Laras memang sangat manja dengan kakaknya, aku berusaha memaklumi itu, tapi entah kenapa ia seperti kurang suka denganku, bahkan sejak awal pernikahan kami, ia sudah menunjukkan sikap tak sukanya padaku, tanpa kutahu salahku dimana, padahal aku selalu berusaha bersikap baik padanya.

"Laras, Salim juga dengan Kak Yunita, biar bagaimanapun dia itu istri Kakak, jadi kamu juga harus menghormati dia." Mas Firman berkata dengan tegas. 

Mas Firman bahkan sering mengucapkan kata-kata itu. Namun, Laras sepertinya cuek, dan selalu bersikap ketus menunjukkan ketidaksukaannya padaku.

Laras mengulurkan tangannya dan kami berjabat tangan, terlihat jelas bibirnya maju tiga senti. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.

Kami pun duduk di ruang tamu. Tapi aku sedikit kurang nyaman pada gadis yang duduk di samping Laras, terlihat ia sesekali mencuri pandang ke arah Mas Firman. Saat aku balik menatapnya, ia langsung mengalihkan pandangannya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status