Share

BAB 2: Kejutan Annyversary Sweet Seventeen

Sejenak Rania terdiam, berpikir dan kemudian meletakan ponsel Safa, tiba-tiba terdengar langkah kaki, seseorang menaiki tangga, Rania segera masuk ke kamarnya, dan sejenak berada   di belakang pintu, lalu ia mendengar Safa tengah berbicara di ponsel.

“Hallo, alamatnya di Green Kafe jalan Pahlawan ‘kan?”

“Oke, otw kesana.”

Begitulah yang di dengar Rania, Safa balik ke rumah karena menyadari ponselnya ketinggalan.

Rania begitu penasaran dengan perkataan Safa, merasa janggal tentang chat suaminya, dan telepon dari Nayla untuk Safa putrinya.

“Apa mereka akan memberikan kejutan ulang tahun pernikahanku, seperti yang banyak terjadi, tapi mengapa belum ada chat atau telepon dari Mas Faiz, ada apa sih sebenarnya, gumam Rania, sambil mondar-mandir di dalam kamarnya.

Rania teringat dengan  cicin yang ada ditumpukan baju suaminya, lalu ia berjalan ke arah lemari, membukanya dan mencari kotak itu, tapi tak didapatinya kotak kecil merah yang berisi cicin.

Menit berlalu, Rania sudah kehilangan kesabaran, rasa penasarannya menuntutnya untuk pergi ke Kafe Green yang disebut Safa tadi, lalu wanita itu mengganti daster longarnya dengan dres sederhana sepanjang lutut, memoles natural wajahnya, seperti itulah Rania tidak mau bermake up yang berlebihan, wanita itu masih tampak sederhana, sama waktu pertama kali dipinang Faiz tujuh belas tahun yang lalu, waktu itu Rania masih bergitu belia menerima pinangan Faiz di usia sembilan belas tahun. Dan dengan setia mendampingi sang suami yang kala itu bekerja sambil melanjutkan pendidikannya.

Wanita yang memiliki tubuh langsing semampai itu bergegas menuruni tangga, tapi ketika sampai di lantai bawah, ia menatap cake yang dibuatnya, timbul keinginan untuk membawa cake itu, siapa tahu dugaannya benar, pesta kejutan dipersiapkan oleh suaminya, bukankah  harus berpikiran positif, itulah yang dipikirkan, wanita polos yang saat ini sudah duduk di jok belakang taksi online.

“Ke Kafe Green ya pak di Jalan Pahlawan,” suruhnya pada sang sopir.

“Baik Bu.”

Mobil taksi melaju kearah yang diminta Rania, jantung Rania berdebar dan ia begitu penasaran, setelah beberapa menit sampailah di depan kafe berlantai dua, lalu Rania turun dari mobil dan menuju kafe.

“Maaf Bu, apakah sudah reservasi?” tanya pegawai kafe, dengan sopan, karena mendapati Rania kebingungan seperti mencari seseorang.

“Belum, aku mencari seseorang.”

Lantai bawah terlihat hanya beberapa pengunjung. “Apakah disini ada pesta?”

“Oh maksud ibu, mau menghadairi pesta pernikahan?”

“Pesta pernikahan, mungkin pesta ulang tahun pernikahan, yang anda maksud?” balik tanya Rania.

“Kami tidak tahu pastinya Bu, tapi untuk acara pesta,  Pak Faiz, menyewa rooftop, silahkan ibu naik ke rooftop, mungkin acara sebentar lagi di mulai.”

“Oh iya, saya akan kesana.”

Rania melangkah pelan menaiki tangga demi tangga, suara musik sudah terdengar dan juga tawa bahagia terdengar, di tangannya masih memegang  cake  cokelat.  Tiba-tiba hening, tidak ada suara apapun, Rania tetap melangkah, dan sampailah ia di atas rooftof, terlihat beberapa orang sedang duduk rapi menghadap pelaminan sederhana tapi terkesan elegan, bernuansa putih, balon warna putih dan merah muda  menghiasai pelaminan. Dan kini suara pemuka agama sedang berbicara, yang lebih membuat shock Rania, pria yang bergelar suaminya duduk di kursi mempelai di samping seorang wanita bergaun putih sederhana tapi elegan, semua tamu yang hadir disana tidak menyadari kehadiran Rania.

“Bagaimana Pak Faiz, Anda sudah siap melakukan ijab qobul, dan menjadikan Kinan istri Anda?” tanya pemuka agama.

“Saya siap,” jawab Faiz terdengar jelas di telinga Rania.

“Baiklah, selanjutnya apa ada yang keberatan dengan pernikahan ini?” tanya pemuka agama.

Entah keberanian darimana seorang Rania, yang hanya berkutat di dalam rumah itu melangkah maju sambil bersuara lantang.

“Saya keberatan dengan pernikahan ini!”

Suara Rania membuat terkejut para tamu yang hadir, seketika setiap mata menatap Rania yang berjalan dengan wajah penuh amarah dan mata yang berkilat.

“Ran, aku bisa jelaskan?”

Suara Faiz terdengar sangat marah, sambil bediri diikuti wanita di sampingnya. Sejenak mata Rania, menatap jari manis wanita bergaun putih itu, cincin yang ia temukan satu bulan yang lalu melingkar di jarinya.

“Kenapa kamu lakukan ini di saat ulang pernikahan kita!” lantang Rania, hampir pecah tangisnya.

“Jangan halangi aku untuk menikahi Kinan, aku akan jelaskan nanti di rumah.” Faiz berusaha membujuk Rania.

“Tidak perlu dijelaskan!” bentak Rania lalu melemparkan cake ke wajah Faiz.

“Mamah,” seru Safa.

Mata Rania menatap ke arah suara, lalu tatapan menajam.

”Kamu juga bersekongkol dengan Papahmu untuk  pernikahan ini Safa?” tanya Rania disertai tangis kekecewaan.

Tanpa menunggu jawaban dari Safa, Rania berlari  keluar rooftop. Wanita itu berlari menuju keluar kafe, lalu menyusuri jalan menjauh dari kafe.

Disinilah sekarang wanita yang tengah hancur hatinya dengan pengkhianatan suami dan putri kandung, duduk di lantai dengan bersandar di dinding yang usang, sambil membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya, suara tangisannya pecah, di kamar sempit dengan cat di dinding yang mulai mengelupas, entah sudah berapa tahun kamar itu dilupakannya, kamar semasa kecilnya itu menjadi satu satunya teman untuk menyaksikan betapa hancur hatinya.

Detik berlalu, menit terasa lama, hari sudah menjadi gelap, Rania masih di dalam kamar tanpa penerangan sedikitpun, sangat gelap seperti hatinya terasa gelap tanpa cahaya.

Berlahan ia bangkit, membenarkan dres serta rambutnya yang berantakan yang berantakan, dan meraih tasnya, lalu meraih ponsel, panggilan berkali-kali dari Faiz, Safa dan ibu mertuanya memenuhi layar ponselnya.

Chat WA pun masuk, tapi Rania malas untuk membacanya apalagi menjawab chat, ia menarik napas dalam dan menghembuskanya pelan. Kembali berjalan dan menghentikan taksi yang melintas di depannya.

Beberapa menit kemudian sampilah ia di depan rumah minimalis yang menjadi teman tinggalnya selama tujuh belas tahun ini. senyum getir terlihat di wajahnya dengan mata yang sembab, lau ia membuka pintu pagar, mobil avansa hitam sudah terparkir disana, tanda  sang pemilik mobil telah kembali.

Mendengar suara pintu pagar dibuka, beberapa orang keluar, Faiz dan safa, juga ibu mertua Rania.

“Ran, kamu kemana saja, ibu mengkhawatirkan keadaanmu?” ucap wanita setengah baya menatap Rania.

“Apa ibu tahu perbuatan Maz Faiz hari ini, apa ibu juga menyembuyikan kebusukan Mas Faiz,” cerca Rania dengan nada naik turun.

“Ran, sabar nduk ini semua bisa kita bicarakan dengan kepala dingin, jangan terlalu meluapkan emosi, nanti malu di dengar tetangga,” ujar wanita setengah baya, dengan mengusap punggung Rania, tapi ditepisnya.

“Masuk Ran, kita bicara di dalam!” perintah Faiz dengan nada keras.

“Kenapa Mas Faiz masih dIsini, kenapa tidak melewatkan malam pertama dengan wanita itu!” sarkas Rania dengan nada tinggi pula.

“Diam, kamu, akibat perbuatanmu, penghulu tidak mau menikahkan kami, dan semuanya berantakan!”

Hati Rania bertambah sakit mendengar penuturan Faiz, bukanya meminta maaf atas kekhilafannya tapi menyalahkan dirinya.

“Sudah–sudah, nanti di dengar tetangga,  ibu malu, kalian tahu ‘kan mulut tetangga setajam pisau, ayo Ran masuk.” Ibu mertua Rania menarik tangan Rania dan membawanya masuk ke dalam.

Rania sudah duduk di sofa dengan wajah menegang, demikian pula Faiz sedangkan Safa disuruh sang Oma untuk naik ke kamar.

Kini ketiganya sudah duduk.

“Ceraikan aku Mas!” pinta Rania dengan tegas.

“Tidak boleh ada perceraian di antara kalian,” tegas wanita baya menatap tajam Faiz dan Rania bergantian.

“Rania memilih cerai Bu,”timpal Rania

“Ran, kalau kamu cerai, terus kamu mau tinggal di gubug orang tuamu yang sebentar lagi ambruk, lalu siapa yang akan memberi uang nafkah, kamu sadar nggak sih, tinggal diam dan menikmati kemewahaan ini, belum tentu jika kau bercerai kehidupanmu membaik, ini bukan senetron, atau cerita novel, begitu menjada langsung kaya!” bentak sang mertua, membuat Rania bertambah marah.

“Jadi ibu membela putra ibu, ibu sebagai wanita tidak pahamkah situasi ini, bagaimana jika putri kandung ibu yang mengalami hal serupa,” suara Rania berubah parau. Tumpukan embun sudah ada di pelupuk matanya.

“Jangan mengutuki putriku seperti itu, keluargamu dan keluarga Faiz berbeda kelas, tidak mungkin putri Larasati, akan dikhianati seorang pria,” ucap lantang wanita yang bernama Larasati, dengan ponggahnya.

“Ran, kamu tahu ‘kan reputasiku dipertaruhkan, jika kamu menguggat cerai, aku ini bekerja di instansi pemerintah, dan karirku baru saja naik, tolong pahami itu!” tukas Faiz dengan kesal.

Senyum sinis terukir di wajah Rania, hati lembutnya seketika mengeras mendengar ucapan suami dan ibu mertuanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jd istri itu jgn cuma bisa mengangkang. udah cantik dan rajin perawatan aja gampang diselingkuhi pasangan. otak itu harus kreatif dan jgn terlalu nyaman jadi istri benalu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status