Sejenak Rania terdiam, berpikir dan kemudian meletakan ponsel Safa, tiba-tiba terdengar langkah kaki, seseorang menaiki tangga, Rania segera masuk ke kamarnya, dan sejenak berada di belakang pintu, lalu ia mendengar Safa tengah berbicara di ponsel.
“Hallo, alamatnya di Green Kafe jalan Pahlawan ‘kan?”
“Oke, otw kesana.”
Begitulah yang di dengar Rania, Safa balik ke rumah karena menyadari ponselnya ketinggalan.
Rania begitu penasaran dengan perkataan Safa, merasa janggal tentang chat suaminya, dan telepon dari Nayla untuk Safa putrinya.
“Apa mereka akan memberikan kejutan ulang tahun pernikahanku, seperti yang banyak terjadi, tapi mengapa belum ada chat atau telepon dari Mas Faiz, ada apa sih sebenarnya, gumam Rania, sambil mondar-mandir di dalam kamarnya.
Rania teringat dengan cicin yang ada ditumpukan baju suaminya, lalu ia berjalan ke arah lemari, membukanya dan mencari kotak itu, tapi tak didapatinya kotak kecil merah yang berisi cicin.
Menit berlalu, Rania sudah kehilangan kesabaran, rasa penasarannya menuntutnya untuk pergi ke Kafe Green yang disebut Safa tadi, lalu wanita itu mengganti daster longarnya dengan dres sederhana sepanjang lutut, memoles natural wajahnya, seperti itulah Rania tidak mau bermake up yang berlebihan, wanita itu masih tampak sederhana, sama waktu pertama kali dipinang Faiz tujuh belas tahun yang lalu, waktu itu Rania masih bergitu belia menerima pinangan Faiz di usia sembilan belas tahun. Dan dengan setia mendampingi sang suami yang kala itu bekerja sambil melanjutkan pendidikannya.
Wanita yang memiliki tubuh langsing semampai itu bergegas menuruni tangga, tapi ketika sampai di lantai bawah, ia menatap cake yang dibuatnya, timbul keinginan untuk membawa cake itu, siapa tahu dugaannya benar, pesta kejutan dipersiapkan oleh suaminya, bukankah harus berpikiran positif, itulah yang dipikirkan, wanita polos yang saat ini sudah duduk di jok belakang taksi online.
“Ke Kafe Green ya pak di Jalan Pahlawan,” suruhnya pada sang sopir.
“Baik Bu.”
Mobil taksi melaju kearah yang diminta Rania, jantung Rania berdebar dan ia begitu penasaran, setelah beberapa menit sampailah di depan kafe berlantai dua, lalu Rania turun dari mobil dan menuju kafe.
“Maaf Bu, apakah sudah reservasi?” tanya pegawai kafe, dengan sopan, karena mendapati Rania kebingungan seperti mencari seseorang.
“Belum, aku mencari seseorang.”
Lantai bawah terlihat hanya beberapa pengunjung. “Apakah disini ada pesta?”
“Oh maksud ibu, mau menghadairi pesta pernikahan?”
“Pesta pernikahan, mungkin pesta ulang tahun pernikahan, yang anda maksud?” balik tanya Rania.
“Kami tidak tahu pastinya Bu, tapi untuk acara pesta, Pak Faiz, menyewa rooftop, silahkan ibu naik ke rooftop, mungkin acara sebentar lagi di mulai.”
“Oh iya, saya akan kesana.”
Rania melangkah pelan menaiki tangga demi tangga, suara musik sudah terdengar dan juga tawa bahagia terdengar, di tangannya masih memegang cake cokelat. Tiba-tiba hening, tidak ada suara apapun, Rania tetap melangkah, dan sampailah ia di atas rooftof, terlihat beberapa orang sedang duduk rapi menghadap pelaminan sederhana tapi terkesan elegan, bernuansa putih, balon warna putih dan merah muda menghiasai pelaminan. Dan kini suara pemuka agama sedang berbicara, yang lebih membuat shock Rania, pria yang bergelar suaminya duduk di kursi mempelai di samping seorang wanita bergaun putih sederhana tapi elegan, semua tamu yang hadir disana tidak menyadari kehadiran Rania.
“Bagaimana Pak Faiz, Anda sudah siap melakukan ijab qobul, dan menjadikan Kinan istri Anda?” tanya pemuka agama.
“Saya siap,” jawab Faiz terdengar jelas di telinga Rania.
“Baiklah, selanjutnya apa ada yang keberatan dengan pernikahan ini?” tanya pemuka agama.
Entah keberanian darimana seorang Rania, yang hanya berkutat di dalam rumah itu melangkah maju sambil bersuara lantang.
“Saya keberatan dengan pernikahan ini!”
Suara Rania membuat terkejut para tamu yang hadir, seketika setiap mata menatap Rania yang berjalan dengan wajah penuh amarah dan mata yang berkilat.
“Ran, aku bisa jelaskan?”
Suara Faiz terdengar sangat marah, sambil bediri diikuti wanita di sampingnya. Sejenak mata Rania, menatap jari manis wanita bergaun putih itu, cincin yang ia temukan satu bulan yang lalu melingkar di jarinya.
“Kenapa kamu lakukan ini di saat ulang pernikahan kita!” lantang Rania, hampir pecah tangisnya.
“Jangan halangi aku untuk menikahi Kinan, aku akan jelaskan nanti di rumah.” Faiz berusaha membujuk Rania.
“Tidak perlu dijelaskan!” bentak Rania lalu melemparkan cake ke wajah Faiz.
“Mamah,” seru Safa.
Mata Rania menatap ke arah suara, lalu tatapan menajam.
”Kamu juga bersekongkol dengan Papahmu untuk pernikahan ini Safa?” tanya Rania disertai tangis kekecewaan.
Tanpa menunggu jawaban dari Safa, Rania berlari keluar rooftop. Wanita itu berlari menuju keluar kafe, lalu menyusuri jalan menjauh dari kafe.
Disinilah sekarang wanita yang tengah hancur hatinya dengan pengkhianatan suami dan putri kandung, duduk di lantai dengan bersandar di dinding yang usang, sambil membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya, suara tangisannya pecah, di kamar sempit dengan cat di dinding yang mulai mengelupas, entah sudah berapa tahun kamar itu dilupakannya, kamar semasa kecilnya itu menjadi satu satunya teman untuk menyaksikan betapa hancur hatinya.
Detik berlalu, menit terasa lama, hari sudah menjadi gelap, Rania masih di dalam kamar tanpa penerangan sedikitpun, sangat gelap seperti hatinya terasa gelap tanpa cahaya.
Berlahan ia bangkit, membenarkan dres serta rambutnya yang berantakan yang berantakan, dan meraih tasnya, lalu meraih ponsel, panggilan berkali-kali dari Faiz, Safa dan ibu mertuanya memenuhi layar ponselnya.
Chat WA pun masuk, tapi Rania malas untuk membacanya apalagi menjawab chat, ia menarik napas dalam dan menghembuskanya pelan. Kembali berjalan dan menghentikan taksi yang melintas di depannya.
Beberapa menit kemudian sampilah ia di depan rumah minimalis yang menjadi teman tinggalnya selama tujuh belas tahun ini. senyum getir terlihat di wajahnya dengan mata yang sembab, lau ia membuka pintu pagar, mobil avansa hitam sudah terparkir disana, tanda sang pemilik mobil telah kembali.
Mendengar suara pintu pagar dibuka, beberapa orang keluar, Faiz dan safa, juga ibu mertua Rania.
“Ran, kamu kemana saja, ibu mengkhawatirkan keadaanmu?” ucap wanita setengah baya menatap Rania.
“Apa ibu tahu perbuatan Maz Faiz hari ini, apa ibu juga menyembuyikan kebusukan Mas Faiz,” cerca Rania dengan nada naik turun.
“Ran, sabar nduk ini semua bisa kita bicarakan dengan kepala dingin, jangan terlalu meluapkan emosi, nanti malu di dengar tetangga,” ujar wanita setengah baya, dengan mengusap punggung Rania, tapi ditepisnya.
“Masuk Ran, kita bicara di dalam!” perintah Faiz dengan nada keras.
“Kenapa Mas Faiz masih dIsini, kenapa tidak melewatkan malam pertama dengan wanita itu!” sarkas Rania dengan nada tinggi pula.
“Diam, kamu, akibat perbuatanmu, penghulu tidak mau menikahkan kami, dan semuanya berantakan!”
Hati Rania bertambah sakit mendengar penuturan Faiz, bukanya meminta maaf atas kekhilafannya tapi menyalahkan dirinya.
“Sudah–sudah, nanti di dengar tetangga, ibu malu, kalian tahu ‘kan mulut tetangga setajam pisau, ayo Ran masuk.” Ibu mertua Rania menarik tangan Rania dan membawanya masuk ke dalam.
Rania sudah duduk di sofa dengan wajah menegang, demikian pula Faiz sedangkan Safa disuruh sang Oma untuk naik ke kamar.
Kini ketiganya sudah duduk.
“Ceraikan aku Mas!” pinta Rania dengan tegas.
“Tidak boleh ada perceraian di antara kalian,” tegas wanita baya menatap tajam Faiz dan Rania bergantian.
“Rania memilih cerai Bu,”timpal Rania
“Ran, kalau kamu cerai, terus kamu mau tinggal di gubug orang tuamu yang sebentar lagi ambruk, lalu siapa yang akan memberi uang nafkah, kamu sadar nggak sih, tinggal diam dan menikmati kemewahaan ini, belum tentu jika kau bercerai kehidupanmu membaik, ini bukan senetron, atau cerita novel, begitu menjada langsung kaya!” bentak sang mertua, membuat Rania bertambah marah.
“Jadi ibu membela putra ibu, ibu sebagai wanita tidak pahamkah situasi ini, bagaimana jika putri kandung ibu yang mengalami hal serupa,” suara Rania berubah parau. Tumpukan embun sudah ada di pelupuk matanya.
“Jangan mengutuki putriku seperti itu, keluargamu dan keluarga Faiz berbeda kelas, tidak mungkin putri Larasati, akan dikhianati seorang pria,” ucap lantang wanita yang bernama Larasati, dengan ponggahnya.
“Ran, kamu tahu ‘kan reputasiku dipertaruhkan, jika kamu menguggat cerai, aku ini bekerja di instansi pemerintah, dan karirku baru saja naik, tolong pahami itu!” tukas Faiz dengan kesal.
Senyum sinis terukir di wajah Rania, hati lembutnya seketika mengeras mendengar ucapan suami dan ibu mertuanya.
Empat bulan berlalu, usia kandungan Nayla memasuki bulan kedelapan, saat ini ia sedang menatap Bastian yang sedang sibuk dengan ponselnya sambil menyerutup secangkir kopi, pria yang mengenakan kaos dan celana pendek itu sedang duduk santai di kursi balkon.Perlahan Nayla mendekati Bastian, tubuh kurusnya semakin terlihat lemah, selama empat bulan ini, ia berhasil menyembunyikan sakitnya.“Kak Bastian, bisa kita bicara?”Bastian sesaat menoleh ke arah Nayla, yang dengan pelan menghempasakan tubuhnya di kursi samping Bastian.“Bicara saja,”celetuk Bastian tanpa menatap Nayla“Aku ingin, menjual saham dua puluh persen Harafa Hospital padamu,”ucap Nayla, pelan.Bastian menghentikan tatapannya ke ponsel, dan beralih menatap Nayla“Kamu serius mengatakan itu?”“Aku sangat serius,”jawab Nayla.“Tanya syarat apapun?”Nayla menggeleng.”Tanpa syarat, milikilah saham itu, aku sudah tidak berminat lagi dengan Harafa Hospital, yang terpenting bagiku, kamu akan menjadi ayah yang baik untuk anaku.
Akhirnya Bastian, menikahi Nayla, sebagai rasa tanggung jawabannya pernikahan yang hanya dilakukan di kantor Urusan Agama, dan hanya disaksikan Fathan dan Rania, tidak ada senyum, bahagia, semua tampak tegang, apalagi Bastian, ia masih kesal, dengan pernikahan yang terkesan mendadak.“Kalian akan tinggal dimana?” tanya Fathan.“Aku tetap tinggal di aparteman, jika Nayla mau, dia bisa tinggal bersamaku,” jawab Bastian bernada ketus.“Aku sekarang istrimu, jadi aku akan tinggal bersamamu, perutku ini akan semakin besar, jika tidak tinggal bersama, nanti di kira aku tidak punya suami,“ ucap Nayla, mengamit lengan Bastian, tapi dengan kasar Bastian, melepaskan tangan Nayla, dari lengannya.“Nayla, jangan bertindak ceroboh, jika kamu mempunyai niat jahat percayalah itu akan sia-sia, karena kami tidak akan memberikan celah itu,”tegas Rania.“Tante Rania, aku sudah cukup dewasa, untuk menentukan nasibku,”sahut Nayla.Lalu Rania dan Fathan meninggalkan Bastian, dan Nayla. Selanjutnya Bastian
Pernyataan Fathan didukung oleh para pemegang saham yang lainnya, Bastian menatap sinis Nayla, tapi sebaliknya, Nayla menatap penuh kehangatan.Rapat pun selesai, Nayla mengejar Bastian yang berjalan cepat menuju ruangannya.“Kak Bastian!” panggil Nayla, mempercepat langkahnya.“Aku tak ingin bicara denganmu, gara-gara tingkahmu, Dinda marah padaku,”ucap Bastian, sambil terus berjalan.“Kak Bastian tidak bisa mengabaikan aku begitu saja,”sarkas Nayla, bergerak cepat menghadang langkah Bastian.Terlihat Fathan mengeryitkan dahi, melihat tingkah Nayla, yang menurutnya aneh, lalu Fathan mendekati Bastian dan Nayla yang tampak bersitegang.“Ada masalah apa kalian?”tanya Fathan membuat Bastian salah tingkah.“Hemm... tidak ada masalah Kak Fathan,”sahut Bastian.“Iya Pak Fathan tidak ada masalah, aku hanya ingin mengajak Bastian, makan siang,”dalih Nayla.“Iya Kak, kami akan makan siang dulu,”pamit Bastian, lalu menarik Nayla, menjauh dari Fathan.Setelah jauh dari Fathan, pria yang berk
“Apa maksud perkataanmu Nay, sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”tanya Dinda.“Lebih baik, Tante tanya sendiri, pada Kak Bastian, aku pamit dulu,”jawab Nayla, meraih tas kecilnya, dan beranjak pergi meninggalkan rasa penasaran di hati Dinda.Dinda menjadi tidak tenang, wanita berusia 26 tahun, itu berjalan meninggalkan kafe dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, haruskah ia menanyakan pada Bastian, tentang perkataan Nayla, atau lebih baik diam, menunggu Bastian untuk menjelaskannya.Dengan langkah lebar, Dinda menuju ruang kerjanya, satu ruangan di tempati beberapa staf administrasi.“Dinda, aku tadi lihat , Pak Bastian, berbicara di kafe dekat rumah sakit, bersama seorang gadis belia, tampaknya mereka bicara serius, dan tegang, dan aku lihat, Pak Bastian, pergi meninggalkan gadis itu tanpa makan terlebih dahulu,”ujar teman Dinda satu ruangan.“Tadi aku juga bertemu, dengan Pak Bas, disana, katanya baru saja bertemu temannya, membicarakan masalah pekerjaan,”jawab Din
Bastian, ada dibelakang setir, pikirannya kembali pada kejadian semalam, ia tak habis pikir, kenapa malam kemarin hawa panas tiba-tiba menyergap tubuhnya.“Apa aku salah minum ya, aku hanya minum, wine merah sedikit, tapi seperti minum obat perangsang,”gumam Bastian, menjalankan mobilnya menuju apartemen pribadinya.Sesampainya di apartemen, Bastian mencharge ponselnya, Bastian duduk disofa, desahan kesal, keluar dari bibirnya, pikirannya tertuju pada gadis belia yang direnggut kesuciannya, dan ia kini merasa berdosa sekali. Lalu pikiranya beralih pada Dinda, wanita yang dicintainya, sekaligus kekasihnya, semalam ia belum sempat menyapa Dinda, hingga akhirnya terjebak satu malam dengan Nayla.Sementara itu, Nayla masih dikamar hotel, wajahnya ditatapnya di cermin, dan tersenyum kecil, menginggat kejadian yang begitu indah bersama pria yang bernama Bastian, walau tidak ada rasa cinta, tapi semalam adalah pengalaman pertama, dan ia menyerahkan kesuciannya pada pria yang baru ditemui s
Bastian menatap lekat gadis didepannya itu. ”Jadi Fahri, melepaskan saham dua puluh persen itu padamu, kamu masih sangat muda.”“Anda pasti terkejut, dan penasaran, bagaimana bisa saham itu jatuh ketangan saya, jika Pak Bastian, tidak keberatan, aku akan bercerita, sambil berdansa, apa Anda bersedia?” pinta Nayla.“Tentu saja,” jawab Bastian, lalu mengulurkan tangan dan disambut oleh Nayla, keduanya sudah menari di lantai dansa, Nayla, tampak bahagia, dengan mesra telapak tanganya bertumpu pada dada Bastian.Rania seketika, menghentikan gerakkan kakinya, matanya menajam ke arah Bastian dan Nayla.“Ada apa Ran?” tanya Fathan.“Lihatlah Mas, Bastian bersama Nayla,” balas RaniaTatapan Fathan beralih pada jari yang menujuk kearah Bastian.“Nayla, kapan dia bebas, kenapa bisa ada dipernikahan kita, bukannya tamu yang datang harus menunjukkan undangan?”“Beberapa hari yang lalu, aku menemui Kinan, dan memberikan dia undangan pernikahan kita, tapi aku tak menyangka, undangan itu dipakai N
Satu bulan kemudian, Rania sudah sehat dan aktif lagi di Harafa Hospital.Persiapan pernikahan Fathan dan Rania sudah dilakukan, undangan pernikahan Fathan dan Rania sudah tersebar, sebuah ballroom hotel berbintang sudah dipesannya untuk acara resepsi pernikahan yang sangat mewah dan megah. Fathan juga sudah mendaftarkan pernikahan secara hukum.Binar bahagia selalu berbinar di wajah Rania.Ranai memegang sebuah undangan, ia berniat memberikannya pada Kinan, walau ia tahu, Kinan tidak bisa datang, tapi setidaknya memberitahukan dia, bahwa dirinya telah berbahagia bersama Fathan. Kini Rania melajukan mobilnya berjalan ke arah rumah tahanan. Beberapa menit kemudian sampailah ia ditempat yang dituju. Rania menunggu disebuah ruangan untuk pengunjung.Setelah menunggu beberapa saat, munculah wanita yang satu tahun ini tidak pernah ditemui, wajah cantik Kinan, memudar, kulitnya berubah kusam, dan pipinya terlihat tirus, sebaliknya dengan Rania, telihat segar dan cantik dengan balutan baju
Fathan semakin geram, melihat tingkah Faiz, sementara mobil semakin terbakar. Dengan cepat Fathan berlari ke arah pintu mobil sebelah, dan menendang kaca jendala, hingga pecah, kemudian dipukulnya Faiz , hingga lelaki itu terkapar entah mati entah pingsan, tapi pegangan tangannya terlepas dari kaki Rania, dengan cepat Fathan kembali ke posisi Rania, dan menarik tubuh Rania, untuk keluar. Akhirnya Fathan berhasil, membawa tubuh Rania keluar dari mobil, baru saja beberapa langkah, terjadi ledakan besar pada bangkai mobil Faiz.Dhuar!...dan bersamaan dengan itu, dua mobil ambunlance dan mobil polisi datang ke lokasi kecelakaan.Beberapa menit kemudian, Fathan dan Rania sudah terbaring di brankar rumah sakit Harafa Hospital, dokter sudah memeriksa keadaan Rania dan Fathan, keduanya masih tak sadarkan diri.Sesaat kemudian, Fathan tersadar dari pingsanya.dan tatapannya menangkap seorang perawat yang tengah membetulkan letak infusnya.“Suster, bagaimana keadaan Rania?”tanya Fathan.“Bu Ran
Di rumah Larasati, wanita itu sibuk mempersiapkan pesta kecil untuk pernikahan Faiz dan Rania, hanya tetangga terdekat yang diundang, wanita yang berusia 60 tahun, itu terlihat semringah, ia berharap rujuknya Faiz dengan Rania, akan membawa kebahagian bagi putranya, yang beberapa bulan ini tampak murung, dan tak bergairah untuk hidup. Berbanding terbalik dengan Safa, sejak kepergian Faiz dari rumah, ia justru terlihat gelisah, ia tahu saat ini hanya ada dua kemungkinan, Faiz menikahi Rania, dan membebaskan Abela, atau Faiz, tidak jadi menikahi Rania, dan papahnya itu ditangkap polisi.Bagi Safa, keduanya sangat menyakitkan, ia berdiam diri di kamar, hingga ketukan pintu terdengar.“Safa, keluarlah, bantulah Oma,”suruh Larasati“Iya Oma.”Safa membuka pintu dan mendapati Larasati di depan pintu.”kamu kenapa sih, malah murung, sebentar lagi Papah dan mamahmu datang, kita harus sambut mereka.”“Iya Oma,”Jawab Safa datar, lalu keluar kamar.***Sementara itu, Fathan sudah stay dijalan,