“Aku sudah tak tahan dengan sikap Rania yang selalu memberontak Bu, aku ingin sekali memenuhi keinginannya untuk bercerai,” tegas Faiz pada sang ibu, yang saat itu berkujung ke rumahnya.
“Memangnya apa yang Rania lakukan?” Larasati menatap ke arah putra sulungnya dengan dahi mengerut.
“Rania, membuat onar di butik Kinan, ia menaruh kecoa di butiknya, ibu bisa bayangkan bagaimana pengunjung butik pada berlarian keluar, dan yang lebih parahnya, sudah viral di media sosial, itu berdampak buruk bagi butik,” jelas Faiz, dengan menunjukkan raut muka kesal.
“Kurang ajar sekali Rania, Ibu juga kesal mendengar hal itu, tapi kita harus bisa menahannya, sampai Dinda dan Bastian menikah, kita harus terlihat seperti keluarga harmonis di depan keluarga Bastian, mereka benar–benar keluarga terpandang dan terhormat.”
Tanpa sepengetahuan Faiz dan Larasati, perkataan ibu dan anak itu di dengar oleh Rania, yang sedari tadi sudah berada di teras depan, sengaja mendengarkan pembicaraan mereka.
“Seandaianya saja, Kinan waktu itu, mau menikah denganku, tentu aku tidak putus asa dan terpaksa menikahi Rania gadis lugu itu,” gerutu Faiz.
Di balik pintu depan, Rania mengerutkan dahi.
Apa maksud Mas Faiz berucap begitu. batin Rania, ia terus menajamkan pendengarannya.
Kamu harus maklum, waktu itu Kinan mengejar mimpinya supaya bisa sukses, dan lihatlah sekarang ia benar-benar sukses, menjadi pengusaha yang dapat menghasilkan banyak uang,” timpal Larasati.
Rania semakin bingung dengan pembicaran kedua orang masih belum menyadari, jika Rania menguping pembicaraan mereka.
“Iya Bu, untunglah aku berhasil merayunya kembali, aku akan lebih bahagia jika bersama Kinan, cinta pertamaku.”
Ucapan Faiz, sungguh membuat Rania terkejut. ”Jadi Mas Faiz dan Kinan adalah mantan kekasih,” gumam Rania pelan
Rania menahan amarahnya, ia benar-benar merasa di bodohi selama ini, ia mengorbankan masa mudanya demi menikah dengan laki-laki yang mengaku mencintainya, tapi ternyata setelah tujuh belas tahun Faiz juga tidak pernah menghargai dirinya hingga lebih memililh menjalin hubungan dengan sang mantan.
Rania melangkah pelan masuk kedalam rumah, seketika Faiz dan Larasati menoleh ke arah pintu.
“Darimana kamu, selama ini kamu tidak pernah keluar rumah, dan akhir-akhir ini kamu sering kelayapan, seperti mencari mangsa saja,” tegas Larasati.
“Aku memang sedang mencari mangsa, siapa tahu aku mendapatkan pria yang lebih baik lagi dari Mas Faiz,” ucap Rania dengan .nada datar.
Ucapan Rania membuat Faiz geram, dan marah, seketika ia menghantam Rania dengan vas bunga.
Brak! Vas menghantam dinding.
“Jaga mulutmu, lain kali lemparanku tidak akan meleset!” bentak Faiz.
“Sudah jangan ribut, Ibu malu kalau sampai tetangga mendengarnya,” sarkas Larasati, wanita itu mendekati putranya dan mengajaknya pergi ke ruang makan.
“Sudah, kita makan dulu, biarkan Rania berbuat semaunya.”
Rania, memilih masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, lalu menyandarkan tubuhnya di pintu, tubuh itu lunglai di lantai seakan sudah lelah dengan semua sandiwaranya saat ini, sudah tak tahan rasanya tinggal di rumah Faiz.
Ting! Bunyi chat masuk di ponsel Rania, beberapa gambar foto Faiz bersama Kinan, terkirim, terlihat keduanya sedang makan di sebuah kafe, Faiz tampak masih memakai seragam dinas, kemudian terlihat gambar lagi Faiz dan Kinan, memasuki loby hotel, kali ini Faiz, mengenakan kaos di lapisi jaket.
Rania mendengus kesal, melihat kemesraan Kinan dan Faiz, lalu mencoba menghubungi pemuda yang disuruhnya menguntit, Faiz dan Kinan.
“Hallo Bu Rania?” sapa seorang pemuda.
“Hallo, aku ingin kamu mengambil gambar mereka pada saat di kamar. Bisa?”
“Wah, jika itu perlu bantuan orang profesional, untuk memasang kamera tersembunyi Bu”
“Aku akan transfer uangnya,”
“Baik Bu.”
Rania menutup ponsel, ia melihat isi tas, uang pemberian ibu mertuanya masih tersimpan di dalam tasnya.
“Uang dari Ibu mertua akan menghancurkan kehidupan putramu, Bu,” gumam Rania seraya tersenyum sinis.
Setelah membersihkan diri, Rania, keluar kamar, perutnya keroncongan, lalu ia menuju ruang makan, disana masih ada Larasati dan Faiz, yang sedang melahap makan malam.
“Mau apa kamu?” tanya Faiz dingin.
“Mau makan,” sahut Rania datar menarik kursi dan duduk, lalu meraih piring, belum sampai tangannya menyentuh piring, suara Faiz terdengar.
“Jangan makan disini, belilah makananmu sendiri,” tegas Faiz.
“Aku masih istrimu, kamu masih mempunyai kewajban menafkahi aku,“ balas Rania.
“Siapa yang mengajarimu melawan suamimu, Ran?”
“Keadaan dan pengkhianatan Mas Faiz, jika aku tidak boleh makan, aku akan gugat cerai Mas Faiz sekarang juga!” ancam Rania.
Ancaman Rania membuat Larasati melemah. “Makanlah, dan diam jangan banyak bicara!” suruh Larasati kesal.
Sejenak ketiganya diam dan sibuk dengan menu dihadapannya, Rania mengambil nasi sedikit, beserta lauknya dan menyuapnya pelan.
Suara langkah kaki memasuki rumah, terlihat Safa, baru saja pulang.
“Safa, ini jam berapa, kamu baru pulang, Mamah kira kamu di kamar?”
“Safa, pulang sekolah jalan-jalan sama teman, Mah.”
“Kemana?”
“Nonton,” jawab gadis belia yang masih mengenakan seragam sekolah.
“Safa, hati-hati ya, jangan salah pergaulan,” nasehat Rania pada putrinya yang kini sudah duduk bergabung di meja makan.
“Iya Mah,“ jawab ketus Safa.
”Oh ya mah, tadi Mamah di kafe bersama Dokter Fathan ‘kan?”
Pertanyaan Safa, membuat kaget Larasati, Faiz, dan Rania.
“Kamu bertemu, calon kakak iparnya Dinda?” tanya Larasati menatap Rania dengan sorot mata penasaran.
“Iya, kami bertemu membicarakan kesepakan jual beli rumah mendiang orang tuaku, Pak Fathan, akan mendirikan klinik dan kebetulan rumah mendiang Bapak, ingin dibelinya.”
“Terus, kamu menjualnya pada Pak Fathan” sela Faiz.
“Iya aku menjualnya.kami sudah sepakat.”
“Makanya kamu besar kepala, kamu punya uang, lihat saja nanti, uang akan habis, dan kamu tidak punya tempat tinggal,” rutuk Larasati.
Teruslah berpikir seperti itu, aku akan membuktikan jika ucapanmu tidak benar, batin Rania
“Tidak usah memikirkan keadaanku, sekarang waktunya kita membahas pertunangan Dinda dan Bastian, apa Ibu dan Mas Faiz sudah mempersiapkan uang untuk catering, jika sudah berikan padaku sekarang, acara pertunangan kurang 3 hari lagi, aku akan mempersiapkan keperluannya.”
“Sudah aku siapkan uangnya 50 juta seperti yang kamu inginkan,” jawab Faiz.
“Lima puluh juta apa itu tidak kemahalan, Ran ?”
“Jika ibu keberatan silahkan cari catering lain, Rania tidak akan ikut campur,” sahut Rania dengan santai.
“Ya... baiklah, terserah kamu.” Larasati terlihat kesal.
Larasati tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Rania. Tapi tak pungkiri, masakan Rania, itu berbeda, memiliki cita rasa yang khas, selama ini setiap Larasati ada acara pastilah ia meminta tolong Rania untuk memasak.
“Oh ya Pah, tante Kinan, besok mengajakku menginap di rumahnya, boleh ‘kan?” tanya Safa menatap manja pada Faiz.
“Boleh, dan mulai sekarang biasakan dirimu memanggil Mamah Kinan,” sahut Faiz.
Darah Rania, seketika mendidih, ia ingin sekali memarahi Safa, tapi ditahannya amarah itu, batinnya sangat terluka, kenapa anak yang dilahirkan dan dibesarkan, seperti tidak berempati pada ibu kandungnya sendiri.
“Tante Kinan, sangat baik, membelikan semua yang Safa mau, dan Safa juga bebas memilih baju, tas dan sepatu di butiknya, selain itu Safa juga mendapatkan perawatan di salon kecantikannya, gratis,” ucap polos Safa, tanpa melihat tatapan mata Rania yang kecewa dan hancur.
Rania hanya terdiam, mendengar pujian putri kandungnya pada kekasih ayahnya.
“Tante Kinan mungkin memanjakanmu dengan barang-barang yang kamu sukai, tapi percayalah, di dalam hatinya sedikitpun tidak ada rasa cinta terhadapmu. Tante Kinan saat ini sedang mengambil hatimu, memberi sesuatu padamu, jika ia kelak akan menjadi ibu sambungmu yang baik, dan perhatian, tapi percayalah, semuanya itu hanya topeng kemunafikannya.” Setelah mengatakan itu Rania bangkit dari duduknya dan melangkah memasuki kamarnya.
Empat bulan berlalu, usia kandungan Nayla memasuki bulan kedelapan, saat ini ia sedang menatap Bastian yang sedang sibuk dengan ponselnya sambil menyerutup secangkir kopi, pria yang mengenakan kaos dan celana pendek itu sedang duduk santai di kursi balkon.Perlahan Nayla mendekati Bastian, tubuh kurusnya semakin terlihat lemah, selama empat bulan ini, ia berhasil menyembunyikan sakitnya.“Kak Bastian, bisa kita bicara?”Bastian sesaat menoleh ke arah Nayla, yang dengan pelan menghempasakan tubuhnya di kursi samping Bastian.“Bicara saja,”celetuk Bastian tanpa menatap Nayla“Aku ingin, menjual saham dua puluh persen Harafa Hospital padamu,”ucap Nayla, pelan.Bastian menghentikan tatapannya ke ponsel, dan beralih menatap Nayla“Kamu serius mengatakan itu?”“Aku sangat serius,”jawab Nayla.“Tanya syarat apapun?”Nayla menggeleng.”Tanpa syarat, milikilah saham itu, aku sudah tidak berminat lagi dengan Harafa Hospital, yang terpenting bagiku, kamu akan menjadi ayah yang baik untuk anaku.
Akhirnya Bastian, menikahi Nayla, sebagai rasa tanggung jawabannya pernikahan yang hanya dilakukan di kantor Urusan Agama, dan hanya disaksikan Fathan dan Rania, tidak ada senyum, bahagia, semua tampak tegang, apalagi Bastian, ia masih kesal, dengan pernikahan yang terkesan mendadak.“Kalian akan tinggal dimana?” tanya Fathan.“Aku tetap tinggal di aparteman, jika Nayla mau, dia bisa tinggal bersamaku,” jawab Bastian bernada ketus.“Aku sekarang istrimu, jadi aku akan tinggal bersamamu, perutku ini akan semakin besar, jika tidak tinggal bersama, nanti di kira aku tidak punya suami,“ ucap Nayla, mengamit lengan Bastian, tapi dengan kasar Bastian, melepaskan tangan Nayla, dari lengannya.“Nayla, jangan bertindak ceroboh, jika kamu mempunyai niat jahat percayalah itu akan sia-sia, karena kami tidak akan memberikan celah itu,”tegas Rania.“Tante Rania, aku sudah cukup dewasa, untuk menentukan nasibku,”sahut Nayla.Lalu Rania dan Fathan meninggalkan Bastian, dan Nayla. Selanjutnya Bastian
Pernyataan Fathan didukung oleh para pemegang saham yang lainnya, Bastian menatap sinis Nayla, tapi sebaliknya, Nayla menatap penuh kehangatan.Rapat pun selesai, Nayla mengejar Bastian yang berjalan cepat menuju ruangannya.“Kak Bastian!” panggil Nayla, mempercepat langkahnya.“Aku tak ingin bicara denganmu, gara-gara tingkahmu, Dinda marah padaku,”ucap Bastian, sambil terus berjalan.“Kak Bastian tidak bisa mengabaikan aku begitu saja,”sarkas Nayla, bergerak cepat menghadang langkah Bastian.Terlihat Fathan mengeryitkan dahi, melihat tingkah Nayla, yang menurutnya aneh, lalu Fathan mendekati Bastian dan Nayla yang tampak bersitegang.“Ada masalah apa kalian?”tanya Fathan membuat Bastian salah tingkah.“Hemm... tidak ada masalah Kak Fathan,”sahut Bastian.“Iya Pak Fathan tidak ada masalah, aku hanya ingin mengajak Bastian, makan siang,”dalih Nayla.“Iya Kak, kami akan makan siang dulu,”pamit Bastian, lalu menarik Nayla, menjauh dari Fathan.Setelah jauh dari Fathan, pria yang berk
“Apa maksud perkataanmu Nay, sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”tanya Dinda.“Lebih baik, Tante tanya sendiri, pada Kak Bastian, aku pamit dulu,”jawab Nayla, meraih tas kecilnya, dan beranjak pergi meninggalkan rasa penasaran di hati Dinda.Dinda menjadi tidak tenang, wanita berusia 26 tahun, itu berjalan meninggalkan kafe dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, haruskah ia menanyakan pada Bastian, tentang perkataan Nayla, atau lebih baik diam, menunggu Bastian untuk menjelaskannya.Dengan langkah lebar, Dinda menuju ruang kerjanya, satu ruangan di tempati beberapa staf administrasi.“Dinda, aku tadi lihat , Pak Bastian, berbicara di kafe dekat rumah sakit, bersama seorang gadis belia, tampaknya mereka bicara serius, dan tegang, dan aku lihat, Pak Bastian, pergi meninggalkan gadis itu tanpa makan terlebih dahulu,”ujar teman Dinda satu ruangan.“Tadi aku juga bertemu, dengan Pak Bas, disana, katanya baru saja bertemu temannya, membicarakan masalah pekerjaan,”jawab Din
Bastian, ada dibelakang setir, pikirannya kembali pada kejadian semalam, ia tak habis pikir, kenapa malam kemarin hawa panas tiba-tiba menyergap tubuhnya.“Apa aku salah minum ya, aku hanya minum, wine merah sedikit, tapi seperti minum obat perangsang,”gumam Bastian, menjalankan mobilnya menuju apartemen pribadinya.Sesampainya di apartemen, Bastian mencharge ponselnya, Bastian duduk disofa, desahan kesal, keluar dari bibirnya, pikirannya tertuju pada gadis belia yang direnggut kesuciannya, dan ia kini merasa berdosa sekali. Lalu pikiranya beralih pada Dinda, wanita yang dicintainya, sekaligus kekasihnya, semalam ia belum sempat menyapa Dinda, hingga akhirnya terjebak satu malam dengan Nayla.Sementara itu, Nayla masih dikamar hotel, wajahnya ditatapnya di cermin, dan tersenyum kecil, menginggat kejadian yang begitu indah bersama pria yang bernama Bastian, walau tidak ada rasa cinta, tapi semalam adalah pengalaman pertama, dan ia menyerahkan kesuciannya pada pria yang baru ditemui s
Bastian menatap lekat gadis didepannya itu. ”Jadi Fahri, melepaskan saham dua puluh persen itu padamu, kamu masih sangat muda.”“Anda pasti terkejut, dan penasaran, bagaimana bisa saham itu jatuh ketangan saya, jika Pak Bastian, tidak keberatan, aku akan bercerita, sambil berdansa, apa Anda bersedia?” pinta Nayla.“Tentu saja,” jawab Bastian, lalu mengulurkan tangan dan disambut oleh Nayla, keduanya sudah menari di lantai dansa, Nayla, tampak bahagia, dengan mesra telapak tanganya bertumpu pada dada Bastian.Rania seketika, menghentikan gerakkan kakinya, matanya menajam ke arah Bastian dan Nayla.“Ada apa Ran?” tanya Fathan.“Lihatlah Mas, Bastian bersama Nayla,” balas RaniaTatapan Fathan beralih pada jari yang menujuk kearah Bastian.“Nayla, kapan dia bebas, kenapa bisa ada dipernikahan kita, bukannya tamu yang datang harus menunjukkan undangan?”“Beberapa hari yang lalu, aku menemui Kinan, dan memberikan dia undangan pernikahan kita, tapi aku tak menyangka, undangan itu dipakai N