Share

Gugup ~

"Hai ..."

Almira langsung memeluk temannya yang merupakan pemilik butik tersebut begitu masuk ke dalam. "Apa kabar?" tanyanya kemudian.

Temannya yang seorang wanita jadi-jadian itu terkekeh sambil menjawil hidung mancung Almira. "Kabar gue baik, Cyin. Hih ... tambah cakep deh, lu. Aduuhh ... jadi pengen punya hidung kayak punya lu ini. Gue udah empat kali operasi masih begini-begini aja bentuknya. Kezel deh!" cerocos teman Almira yang bernama Khanza. Dia memencet hidungnya sendiri berkali-kali dengan terus menggerutu.

Khanza atau bernama asli Kenzo itu adalah sahabat Almira sewaktu sekolah modelling di Paris. Selama ini dia yang merancang baju-baju fashion show untuk Almira, atau bila perempuan itu sedang ada pemotretan.

Almira cuma tertawa sambil menggelengkan kepala. Khanza sejak dulu sudah ketagihan dengan yang namanya operasi plastik. Dia bahkan sudah mempermak seluruh bagian tubuhnya.

"Makanya kalau oplas itu jangan di Dokter abal-abal. Entar kalau jadinya aneh baru tahu rasa lu! Kayak nasib artis Jepang yang hidungnya busuk gara-gara oplasnya gagal." Almira menceramahi Khanza yang bebal dan menakut-nakutinya.

"Ih! Amit-amit! Jangan sampe gue kayak gitu. Dah ah! Ayo sini! Gaun lu udah jadi nih!" Khanza berjengit genit sambil pergi meninggalkan Almira yang tergelak.

Almira mengulum senyum lalu menghampiri Khanza di ruang ganti. Perempuan jadi-jadian itu sedang menyiapkan gaun pesanan Almira yang ternyata sudah jadi.

"Mana?" Almira menelusuri ruangan yang di setiap sisinya terdapat cermin besar.

Hampir di seluruh ruangan ganti itu terdapat banyak sekali gaun pesta berbagai model dan warna.

Khanza mendekat dengan dibantu dua asistennya dia menenteng gaun pesta Almira.

"Nih! Punya lu! Cakep 'kan kayak orangnya," cicitnya seraya menunjukkan gaun pesta yang memang terlihat indah dan mewah.

Mata Almira seketika berbinar. "Gila! Cakep banget ini mah. Di luar ekspektasi gue kali! Gue pikir hasilnya enggak akan sebagus dan semewah ini," ucapnya terkagum-kagum pada hasil mahakarya sang sahabat.

Lantas Almira menyentuh gaun tersebut, memindai secara detail setiap jahitan dan bentuknya yang tidak biasa. Begitu rapi tanpa cela.

"Ini namanya gaun model apa, Zha?" tanyanya lagi tanpa mengalihkan pandangannya pada gaun berwarna merah maroon itu.

"Ini namanya Evening Dress, Beb. Lu liat deh bahannya enggak kaleng-kaleng. Gue sengaja pakek bahan yang mewah dan mahal. Sutra sama bludru," jelas Khanza dengan gayanya yang khas—kemayu.

"Waow! Berapa nih kalau gitu?"

"Sama lu gue kasih murah deh."

"Iya. Murahnya itu berapa. Kan sama punya Mas Sandi juga." Almira mengambil gaun pesta itu dari tangan Khanza. "Gue mau coba, ah!"

"Jadi totalnya itu empat puluh juta, Beb. Udah murah itu. Kalau sama yang lain sih bisa lebih," ujar Khanza sembari membantu Almira mencoba gaun tersebut.

Khanza dan Almira tidak pernah merasa canggung satu sama lain. Meski gender Khanza berbeda dengan dirinya, namun naluri ke-lelakiannya sudah terganti dengan naluri wanita tulen.

Jadi Almira merasa biasa saja jika Khanza membantunya berganti pakaian. Selain sahabat— Khanza juga fashion designer pribadinya.

"Oke. Entar langsung gue transfer duitnya." Almira terlihat sangat cantik dengan gaunnya. Dia berulang kali tersenyum di depan kaca.

"Iya. Santai aja kali. Kayak sama siapa aja." Khanza tersenyum puas dengan hasil desainnya sendiri. Almira selalu cocok memakai baju apa saja.

**

Beberapa jam kemudian Almira pamit dari sana sebab dia juga masih harus pergi ke salon kecantikan untuk melakukan perawatan. Almira sudah bertekad ingin tampil cantik di depan suaminya. Walau hati Sandi masih beku dan tertutup rapat untuknya.

Sementara itu di kantor, Sandi tengah disibukkan dengan para karyawan dan stafnya yang memberikan ucapan selamat. Mereka berbondong-bondong masuk ke ruangan atasannya dengan membawa buket bunga sederhana, disertai doa tulus tentunya.

"Nanti malam saya secara khusus mengundang kalian ke pesta saya di Hotel Shangrila. Kalian bisa datang sama pasangan atau istri dan suami juga boleh. Tidak perlu repot-repot membawa kado atau hadiah. Cukup doakan kami saja supaya langgeng," ucap Sandi menatap bergantian seluruh staf dan karyawannya.

Lelaki itu memang dikenal sangat bersahaja dan baik hati. Sifatnya sangat mengagumkan dan selalu mengundang decak kagum bagi siapa saja yang mengenalnya.

Semua para staf dan karyawan mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada Sandi yang telah mengizinkan mereka untuk datang ke pesta. Kemudian mereka semua berpamitan undur diri dari ruangan Sandi.

"Tolong bereskan ini semua. Tata buket bunga-bunga ini dengan rapi di sudut sana." Sandi memerintah asisten pribadinya yang bernama Azka.

Azka mengangguk cepat tanpa membantah.

"Baik, Pak." Pemuda itu dengan cekatan menata satu persatu buket bunga. Menaruhnya di tempat yang diminta atasannya.

**

Sandi keluar dari gedung tinggi miliknya tepat pukul lima sore lantaran Almira sejak tadi menghubunginya tanpa henti. Istrinya itu jelas sekali sudah tidak sabar ingin segera pergi ke Hotel tempatnya mengadakan pesta.

Sekitar empat puluh lima menit Sandi menempuh perjalanan pulang ke rumah. Bila di sore seperti ini jalanan lumayan lengang. Pak Budi selalu melewati jalan pintas yang lumayan dekat.

"Assalamualaikum ...." sapa Sandi sebelum masuk ke rumah mewahnya yang hanya dihuni olehnya bersama Almira.

Almira terlihat tengah menapaki tangga dengan senyum merekah.

"Wa'alaikumsalam ...." Dia lantas menghampiri Sandi kemudian mencium punggung tangan suaminya. "Sore, Mas."

"Sore, Al," sahut Sandi mengulas senyum. "Kamu belum siap-siap?"

"Bentar lagi, Mas. Kamu mandi dulu. Udah aku siapin semua keperluan kamu di kamar. Ayo." Almira mengamit tangan Sandi dengan posesif. Perempuan itu sedikit lebih agresif dari biasanya.

"Ayo." Sandi menerima perlakuan Almira tanpa menolaknya sama sekali.

Dengan begitu dia bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya terhadap Almira.

Sesampainya di kamar, Sandi segera masuk ke kamar mandi sedangkan Almira sibuk mempersiapkan berbagai macam keperluan yang akan dibawanya. Malam ini dia berniat menginap di Hotel untuk menghabiskan waktu bersama Sandi.

Tak berselang lama Sandi keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit sebatas pinggangnya. Badannya yang tegap dan gagah terekspos bebas begitu saja hingga membuat Almira yang berdiri di depannya menelan ludah.

"M-mas udah selesai?" tanyanya yang terdengar gugup. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

Walau hampir setiap hari Almira melihat pemandangan indah itu, namun tetap saja sebagai wanita dewasa dan normal, dia selalu berdesir tatkala dada bidang Sandi terpampang menggoda.

"Mana bajunya?" Sandi melewati Almira yang masih memaku di tempatnya. Dia melangkah ke ruang ganti yang berada di kamarnya.

Buru-buru Almira mengenyahkan pikiran-pikiran kotor di otaknya. "Kemeja kamu udah aku gantung di sana, Mas. Sekalian sama celana dan jasnya," ucapnya sedikit berteriak. Almira tidak berniat untuk menyusul masuk.

Lantas, dia pun memutuskan untuk mandi dan segera bersiap karena waktu hampir menunjukkan pukul tujuh malam.

###

bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status