Bagaimana jika kamu yang sudah menikah dihadapkan dengan godaan untuk mendua? Memilih untuk menghianati pasangankah? Atau.. Akan memilih untuk setia. *** Almira memang menikah dengan Sandi Himawan karena dijodohkan oleh kedua orang tua mereka. Meski belum bisa saling mencintai, setidaknya Almira merasa Sandi berusaha mempertahankan hubungan ini. Namun, kehadiran mantan kekasih Sandi mengubah segalanya. Pertemuan yang amat sangat tidak terduga antara keduanya membuat Almira merasa Sandi terjebak dalam sebuah dilema. Bahkan, Sandi pernah tak pulang ke rumah. Lantas, bagaimana kisah keduanya? Apakah kedatangan mantan ini akan membuat suaminya tak pulang selamanya pada Almira? Temukan jawabannya di ceritaku ini!
View More"Happy anniversary, Mas ...," ucap Almira seraya memeluk punggung suaminya dari belakang.
Sandi yang tengah memasang dasi lantas mengulum senyum. Kemudian dia membalik badan lalu berucap, "Happy anniversary juga, Al." Mengecup puncak kepala sang istri yang dinikahinya sejak tiga tahun yang lalu.
Almira tersipu diperlakukan demikian mesranya oleh Sandi. Sangat jarang sekali suaminya ini bersikap hangat. "Mas enggak lagi demam 'kan?" tanyanya sembari menempelkan punggung tangan ke kening Sandi yang sekarang ini mengerutkan alisnya.
"Kok, nanyanya malah gitu?" Sandi memindai wajah Almira yang terkekeh.
Almira merasa lucu dengan tingkah Sandi yang menurutnya tidak seperti biasa. "Habisnya Mas kayak bukan Mas Sandi yang aku kenal. Yang datar dan lempeng. Heheeee..." cicitnya disusul dengan gelakan tawa.
Sandi yang merasa disindir sontak tercenung.
Sebenarnya dia hanya sedang berusaha merubah sikap. Selama ini Sandi jarang bersikap romantis kepada Almira. Jangankan bersikap romantis, memerhatikan Almira saja bisa dihitung dengan jari.
Telapak tangan Sandi terjulur ke belakang kepala Almira. Mengelus lembut rambut hitam sebahu itu seraya berkata, "Mas 'kan lagi usaha ini, Al. Kamu emang enggak suka kalau mas berubah, hem?"
Almira yang tingginya tak seberapa lantas berjinjit guna mengecup pipi Sandi. "Aku sih seneng banget kalau Mas akhirnya bisa berubah. Enggak lagi cuek dan datar sama aku. Kalau bisa sih Mas kayak gini setiap hari," pintanya yang tak pernah banyak menuntut.
Bagi Sandi—Almira adalah perempuan baik dan penyabar. Namun entah kenapa dia belum bisa mencintainya. Tak ada sedikit pun getaran di hatinya, padahal mereka sudah sangat lama membina rumah tangga.
Pernikahan yang seharusnya dilandasi dengan cinta dan kasih sayang, justru berbanding terbalik dengan pernikahan Sandi dan Almira yang hanya dilandasi oleh perjodohan dan keterpaksaan.
Mereka memang hidup bersama layaknya sepasang suami dan istri. Tinggal satu atap dan tidur di ranjang yang sama pula. Akan tetapi, hubungan mereka hanya sebatas itu tanpa pernah ada kemajuan. Bukannya Sandi dan Almira tidak ingin berusaha untuk membuat pernikahannya lebih berwarna dan lengkap.
Hanya saja bayangan masa lalu selalu menjadi penghalang bagi Sandi yang ingin berubah. Bayangan wajah seorang wanita cantik yang hingga detik ini masih tertanam di lubuk hatinya yang terdalam.
"Aku berangkat dulu. Udah siang," ucap Sandi seolah mengalihkan pembicaraan. Dia selalu saja bersikap tak acuh jika Almira menyingung hal itu.
Almira yang sudah terbiasa cuma mengangguk lemah. Dia tidak pernah bisa memaksa Sandi karena dia sadar dengan posisinya saat ini.
"Hati-hati Mas. Nanti sore jangan terlambat pulang. Kita 'kan udah ada rencana buat ngadain pesta di hotel. Nanti bakal ada kakak sepupu aku dari Malang yang satu Minggu lalu baru aja nikah. Sekalian mau ngenalin istrinya."
Sandi mengangguk kemudian berucap, "Mas usahain pulang cepet. Semoga enggak ada meeting dadakan kayak kemaren." Berjalan ke arah pintu lalu keluar dari sana dengan tergesa.
Almira menghela napas panjang.
"Hfuuh ..."
**
Sopir segera membukakan pintu mobil, begitu melihat sang majikan muncul dari pintu.
Sandi terlihat sangat gagah dan menawan dengan balutan kemeja dan jas berwarna senada—warna biru laut. Dasi berwarna hitam dengan garis vertikal menjuntai di dadanya yang bidang.
Warna kulit eksotis serupa dengan warna rambut dan manik matanya—yaitu cokelat alami. Sandi Himawan terlahir dengan kesempurnaan bak mahakarya yang tiada duanya. Pesonanya tak terelakkan lagi meski usianya di atas kepala tiga.
"Pagi, Tuan," sapa sang sopir pribadinya yang usianya jauh lebih tua—pak Budi namanya.
Sandi mengulas senyum ramah serta anggukan kepala. "Pagi, Pak Budi." Tubuh tingginya membungkuk lalu masuk ke mobil dan duduk tenang di kursi penumpang.
Pintu mobil lantas ditutup Pak Budi dengan segera. Kemudian sedikit berlari mengitari mobil Alphard hitam keluaran terbaru itu lalu stay di bangku kemudi.
"Bismillah ...," ucapnya sebelum menginjak pedal gas perlahan dan membawa mobil itu keluar dari halaman rumah Sandi.
Sang majikan tersenyum melihat kebiasaan sopirnya ini. Sandi mulai mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dia bermaksud menghubungi seseorang yang dimintai tolong untuk mencarikan hadiah.
**
"Oke. Kirim hadiahnya nanti malam di Hotel Shangrila, jangan sampai terlambat," tukasnya lalu mengakhiri panggilan.
Sandi memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Tangan kokohnya mengendurkan tali dasi yang sedikit mencekik, helaan napas panjang berembus dari hidungnya.
Pandangannya mengarah pada jendela mobil yang sengaja dia buka sedikit bagian atasnya. Semilir angin segar di pagi hari cukup melegakan rongga dadanya yang terasa sesak.
"Kenapa harus di tanggal yang sama? Takdir seolah mengejekku." Mulut Sandi bergumam dengan diiringi tawa sumbang.
Tatapannya begitu nyalang menatap setiap kendaraan yang berseliweran mendahului mobilnya. Hati Sandi berdenyut nyeri mengingat jika hari ini merupakan hari di mana dia dan mantan pujaan hatinya memutuskan untuk mengakhiri jalinan asmara mereka.
Miris.
Satu kata itulah yang pantas menggambarkan perasaan Sandi saat ini. Setiap tahunnya dia seperti Dejavu kala hari ini tiba. Antara harus bahagia atau sedih. Sandi seolah bingung menyikapi.
Almira sempat merengek memintanya supaya mau merayakan hari jadi mereka. Dan dengan berat hati Sandi menyetujui permintaan istrinya itu. Mengadakan pesta di sebuah Hotel paling ternama yang ada di kota Surabaya.
Almira begitu antusias ingin mengundang para kerabat dekat dan teman-temannya seprofesi.
"Aku ingin belajar melupakanmu dan belajar mencintai Almira. Bisakah kamu pergi dari ingatanku? Memberiku kesempatan untuk bahagia dengan istriku."
Sandi merogoh saku celananya dan mengambil sesuatu dari dalam sana.
"Mulai detik ini aku akan melupakan semua kenangan yang berhubungan denganmu. Termasuk cincin ini," ujarnya seraya menatap cincin yang di dalamnya terdapat inisial nama seseorang.
Lalu tiba-tiba saja mobil yang ditumpangi berhenti mendadak hingga membuat Sandi tersentak nyaris tersungkur ke depan. Cincin yang digenggam pun turut terlempar entah ke mana.
"Ma-maaf Tuan. Maaf." Pak Budi segera meminta maaf lantaran hampir mencelakakan majikannya. Pria paruh baya itu tampak memucat.
"Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa ngerem mendadak?" tanya Sandi sambil fokus mencari-cari cincin tersebut di bawah kakinya.
"Tadi ada anak sekolah main nyelonong aja. Saya jadi kaget terus ngerem mendadak," jelas pak Budi dengan terbata-bata. Nampaknya dia benar-benar syok.
"Ya udah. Lain kali lebih hati-hati lagi." Sandi masih fokus mencari cincinnya yang jatuh entah ke mana. "Ke mana lagi cincinnya?" gumamnya.
Setelah syok-nya mereda, pak Budi lantas melajukan mobilnya kembali, sedangkan Sandi nampak frustrasi lantaran belum menemukan cincinnya.
**
Sementara itu Almira tengah bersiap menuju butik langganannya. Hari ini dia ada janji mengambil gaun pesta yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Perempuan berparas ayu itu sangat antusias dalam mempersiapkan pesta hari jadi pernikahannya dengan Sandi.
Sampai-sampai Almira memesan baju couple dengan suaminya itu. Paras ayunya kian memancarkan rona bahagia kala kado yang telah dipersiapkan olehnya sudah siap.
"Entar malem Mas Sandi pasti terkejut. Aku yakin dia enggak bakalan nolak," seru Almira yang tak henti menyunggingkan senyuman di bibir ranumnya.
Selepas itu Almira bergegas menuju garasi dengan langkah kaki lebar-lebar hingga menimbulkan suara hentakkan heels di lantai marmer rumahnya yang mewah.
Almira yang berprofesi sebagai model sudah terbiasa memakai sepatu berhak tinggi. Meski badannya tidak terlalu tinggi seperti model-model biasanya. Namun, itu sama sekali tidak mengurangi kadar kecantikan Almira yang khas wanita Jawa pada umumnya.
Almira lahir dan tumbuh di Surabaya. Lulus kuliah dia melanjutkan studinya di dunia modelling selama hampir dua tahun di Paris. Kemudian memulai karir sebagai model sekitar dua tahun.
Tak lama dia pun dijodohkan dengan Sandi yang kebetulan pada saat itu melakukan hubungan kerja sama. Orang tuanya dan orang tua Sandi adalah teman lama. Demi baktinya kepada orang tua yang selalu mendukungnya, Almira menyetujui perjodohan ini.
Namun, di hari pertama dia menikah justru dikejutkan dengan kenyataan pahit. Pernyataan Sandi di malam pengantin mereka menjadi hal yang tidak akan pernah Almira lupakan seumur hidup.
Almira memaklumi perasaan Sandi dan menghargai setiap keputusan lelaki itu. Sebagai istri, Almira tak hanya belajar memahami Sandi. Dia juga berusaha untuk menjadi perempuan satu-satunya di hati Sandi, menggeser posisi wanita yang lebih dulu bersemayam di hati suaminya.
Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ketulusan cinta Almira nampaknya belum terbalaskan hingga sekarang. Sandi—suaminya masih enggan membuka pintu hatinya.
Almira tak pernah mempermasalahkan itu semua. Toh selama ini Sandi masih bersedia berada di sampingnya, walau lelaki itu belum sepenuhnya menjadi miliknya.
****
Almira turun dari mobilnya begitu terparkir tepat di depan butik langganannya.
"Hfuuh ... akhirnya sampai juga." Seringai lebar menghiasi paras ayunya. Almira sudah tidak sabar ingin mencoba gaun pesta buatan sahabatnya.
##
bersambung...
—Tuhan itu Maha Adil. Tuhan itu Maha Penyayang—***Setelah melalui serangkaian panjang acara ijab qobul yang dilanjutkan dengan resepsi, kini waktunya untuk semua orang beristirahat. Pernikahan yang digelar cukup sederhana itu dilangsungkan di rumah orang tua Almira. "Aaqil sama Aleena bobok sama suster dulu, ya, malam ini." Mama Rini berkata pada kedua cucunya. Perempuan paruh baya itu juga menganggap Aleena seperti cucunya sendiri. "Kenapa bobok sama Suster, Eyang?" Aleena berceloteh sambil mengunyah. "Iya, Eyang. Kenapa bobok sama suster? Aaqil sama Aleena mau bobok sama Ibu." Aaqil menimpali, melirik sang ibu yang duduk di seberang sofa. "Gak apa-apa 'kan, Bu?" Bocah laki-laki itu lalu berlari menghampiri Almira dan langsung duduk di pangkuan. Almira tentu kebingungan untuk menjawabnya. "Hmm ... Ibu ..." Maniknya melirik Erland yang kebetulan ada di samping papanya. Erland paham dengan situasi sekarang dan langsung tanggap menimpali. "Aaqil sama Aleena kalau mau bobok sama Ib
"Menikah?" Mama Rini nyaris melotot setelah mendengar penuturan Erland barusan. Dia tidak menyangka jika pemuda yang dia kenal sebagai sahabat putrinya itu, ternyata memiliki niat yang sangat baik. Berbeda dengan Mama Rini yang sedikit terkejut, Pak Kusuma justru terlihat tenang dan tak banyak berkomentar. Beliau hanya menghela napas sambil menelisik sepasang manik Erland yang memancarkan ketulusan. Selama ini Pak Kusuma juga diam-diam sudah mengamati sikap dan perilaku sahabat anaknya itu. Kedekatan antara Erland dan Almira memang terlihat sangat tulus. Apalagi, Aaqil yang sepertinya sudah sangat merasa nyaman dengan pemuda sederhana itu. Pak Kusuma cukup salut dengan gaya hidup Erland yang tak pernah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Erland tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, Tante. Saya harap Tante mau mendukung niat saya ini." "Apa Mira udah tau?" tanya Mama Rini.Erland menggeleng. "Saya belum bicara sama Almira, Tante. Saya memutuskan untuk meminta persetujuan Tante lebih dul
"Ibu ...."Seorang bocah laki-laki yang sangat tampan berlarian ketika baru saja masuk ke dalam rumahnya. Bocah laki-laki berusia empat tahun itu langsung mencari keberadaan sang ibu. Merasa terpanggil, perempuan berpakaian syar'i yang berada di kamarnya itu pun bergegas menemui sang anak. Perempuan yang sejak empat tahun lalu memutuskan untuk berhijrah dan meninggalkan karier cemerlangnya. "Assalamualaikum ...." ucap Almira saat berpapasan dengan putranya. "Wa'alaikumsalam ...." Sang anak menjawab sambil memasang raut tak berdosa serta senyum yang menggemaskan. "Maaf Ibu, Aaqil lupa ucap salam," cicitnya sambil menarik kedua telinganya sendiri. Melihat tingkah lucu anaknya, Almira tentu urung marah. "Kenapa Aaqil lupa terus, ya? Padahal ibu udah sering loh ingetin Aaqil." Tangan Almira meraih tangan kecil putra satu-satunya yang dia beri nama Aaqil Umais, lalu mengajaknya ke dapur. "Aaqil juga gak tau, ibu. Kenapa Aaqil sering lupa. Lain kali, Aaqil gak bakalan lupa, kok .... Se
Dua bulan berlalu semenjak kejadian mempermalukan Sandi dan Sandra, hidup Almira menjadi lebih tenang. Pasalnya, dia tak lagi harus berpura-pura menjadi istri yang bahagia di hadapan kedua orang tuanya dan mertuanya. Semenjak itu pula, Almira mencoba lebih tegar lagi demi calon buah hati yang sebentar lagi lahir ke dunia. Diperkirakan, Almira akan melahirkan Minggu depan. Segala persiapan pun telah dia lakukan. Namun, ada satu hal yang harus Almira selesaikan terlebih dahulu sebelum dia benar-benar bebas dari pernikahan toxic yang selama bertahun-tahun dia jalani bersama Sandi. Dengan bantuan pengacara, perceraian Almira akhirnya diproses secara kilat. Meskipun dia tengah berbadan dua, Almira tetap meneruskan niatnya tersebut. Dan pada hari ini adalah hari di mana Almira akan melepas statusnya sebagai istri dari Sandi Himawan. Sidang perceraiannya akan dilaksanakan di pengadilan negeri dan akan dihadiri oleh kedua belah pihak. Semuanya akan benar-benar berakhir...tok! tok!"Al, kam
Almira membeku di tempatnya, tepat saat sang ibu mertua beranjak dari duduknya untuk menghampiri Sandi dan Sandra yang baru saja hendak memilih tempat duduk. Perempuan itu masih tak percaya jika Mama Laila akan memergoki secara langsung kelakuan anak laki-lakinya. "Sandi!" Mama Laila menyebut nama sang anak dengan nada cukup tinggi. Seketika dia menjadi pusat perhatian para pengunjung di sana. Semua mata tertuju pada ibu mertua Almira itu. "Mama?" Sandi urung menarik kursi, sebab keterkejutannya yang melihat sang ibu sedang berdiri di hadapan. Apalagi cara menatap Mama Laila yang nampak marah. Kenapa tiba-tiba dia bisa bertemu sang ibu di tempat ini? pikir Sandi. Pun sama halnya dengan Sandra, yang terpaku di tempatnya dengan raut pucat pasi. Perut buncitnya dia usap sekilas seraya melirik Sandi yang tak bergeming di sampingnya. Mama Laila maju selangkah, mendekati Sandi. Keberadaan Sandra di sampingnya membuat perempuan paruh baya itu memasang raut sinis. "Apa-apaan ini, Sandi?
"Mira!" Langkah Almira sontak berhenti, saat seseorang memanggil dan menyentuh pundaknya. Dia menoleh ke belakang. "Mama?" Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum kepada menantunya. "Tuh, kan ... Mama gak salah orang. Ternyata beneran kamu, Mira." Almira memeluk Mama mertuanya yang terkenal baik dan sayang padanya. "Ya Allah, Ma. Kok, bisa ketemu di sini, sih ...." Mama Laila membalas dengan hangat pelukan Almira. "Namanya juga udah diatur sama yang di atas, ucapnya sambil mengurai pelukan, dan mengusap perut buncit istri anaknya itu. "kamu ke sini sama siapa, Mir? Sama Sandi, ya?" Pertanyaan mama Laila membuat Almira berpikir keras. Apa tidak masalah—jika dia mengatakan bahwa dirinya pergi ke tempat ini bersama Erland? "Hmm ... Mira ke sini sama—" Tiba-tiba ponsel Almira berdering, kemudian dia buru-buru mengambilnya dari tas selempang bawaannya. "bentar, Ma." Mama Laila mengangguk, menunggu Almira menjawab panggilan telepon tersebut. Nama yang tertera di
Duduk berdampingan di dalam satu mobil untuk kali pertama setelah berbulan-bulan baru kembali bertemu. Ditambah dengan pernyataan yang lebih mirip sebuah permintaan, membuat seorang perempuan yang tengah berbadan dua itu menjadi sangat canggung. Almira tak pernah menyangka, bila sang sahabat yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun itu memintanya untuk bercerai dari suaminya. Erland—entah lelaki itu sadar atau terkena sawan dari mana tiba-tiba mengungkapkan niatnya. Apa Erland habis terjatuh, lalu kepalanya terbentur batu? Atau ... apa Erland salah minum obat? Ah, ya ampun ... Kepala Almira rasanya mau pecah memikirkan perkataan Erland waktu di kafe tadi. 'Apa gara-gara kelamaan jomblo, dia jadi kayak gitu? Yang bener aja.' Almira membatin geli. Lalu, diam-diam sudut manik Almira mencuri-curi pandang pada lelaki berjambang tipis serta berkulit sawo matang di sampingnya. Erland sedang fokus menyetir mobil yang dibelinya dari hasil kerja kerasnya selama menjadi arsitek.
"Wah, kupikir gak dateng, Al." Senyum Erland mengembang saat melihat sosok cantik berperut buncit itu tiba di hadapan. Semalam dia meminta Almira untuk bertemu di sebuah kafe, karena ingin mengajaknya mengobrol. Erland pun sigap berdiri dan menarik kursi untuk sang sahabat. "Silakan ...." "Makasih." Almira menduduki kursi, kemudian membuka masker yang sedari tadi menutupi sebagian wajah. "Hah, sesek!" Hidungnya terasa lega seketika. Erland kembali duduk, lalu terkekeh mendengar keluhan Almira. "Lagian, pakek masker segala. Kemayu!" Tak terima dibilang 'kemayu—ganjen' Almira meluruskan, "Eh, bumil itu sensitif, tau! Gak boleh sembarangan!" "Hmm, ya ... ya .... Kamu ke sini naik apa?" Erland memaklumi saja. Lantas dia membuka buku menu yang tersedia di meja—membaca urutan nama-nama makanan serta minuman yang tertera mulai dari yang murah sampai mahal. "Aku naik taksi," ucap Almira, lalu mencepol ke atas rambutnya yang semakin memanjang. Semenjak hamil perempuan itu kerapkali merasa
Sandi selesai mengepak beberapa pakaian serta kebutuhan lainnya ke dalam koper berukuran cukup besar. Mulai malam ini dia tidak serumah lagi dengan Almira. Keputusannya tersebut dia lakukan tentu demi menjaga mental sang istri yang sedang hamil besar. Emosi Almira yang labil dan masalah yang Sandi timbulkan makin memperuncing hubungan mereka. Sandi sadar jika rumah tangganya bersama dengan Almira tidak akan pernah mungkin bisa kembali utuh. Dia pun harus merelakan salah satu dari dua wanita yang sama-sama tengah berbadan dua itu. Paling tidak, itu adalah jalan satu-satunya agar masalah tersebut terselesaikan. "Mungkin, aku memang egois. Aku sangat bodoh selama ini. Ada baiknya, aku melepas Almira. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya." Setelah semua beres, dan Sandi pun sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Lantas, dia pun keluar kamar dengan membawa serta koper. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Sambil melangkah, Sandi mengambil ponselnya dari saku celana. Nama pemanggil y
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments