“Aku tidak bisa terus berharap pada Mas Adam.”
Itu adalah hal yang Gauri sadari setelah melihat Adam bermain api dengan wanita lain. Perpisahan sudah di depan mata. Apalagi Adam masih saja bungkam sampai tiga hari kemudian.
Tak mau terus berdiam diri, Gauri pergi ke Universitas Pelita Bangsa. Wanita itu bersyukur kakinya yang terkilir cepat sembuh sehingga dia tidak perlu meminta Denny mengantarnya ke sini.
Sopir Keluarga Harraz itu pasti akan melapor pada Adam ke mana dirinya pergi. Sementara Gauri masih ingin merahasiakan hal ini dari Adam.
Jika ingin terus hidup dan tidak mengulang kesalahan orang tuanya yang terlilit utang, Gauri harus mendapatkan pekerjaan yang layak. Dia butuh keahlian untuk mendapatkan hal itu.
Saat Gauri sedang menyerahkan berkas administrasi ke petugas kampus, seorang wanita memanggil dan memintanya untuk ikut ke Kantor Kepala Jurusan.
“Maaf, memanggilmu seperti ini. Saya Ezra, Gauri,” ucap pria yang duduk di balik meja dengan tanda nama Ezra Damon, S.M, M.M. Kepala Jurusan Bisnis dan Manajemen. Dia mengulurkan tangan.
“Pak Ezra yang waktu itu menolong saya di pesta donasi Heal the Hearts Club, kan?” tanya Gauri. Tangannya menyambut uluran tangan dari Ezra.
Mata Gauri membesar seiring dengan senyumnya yang melebar. Dadanya terasa hangat melihat sosok di hadapannya. Dia pikir, pertemuan yang tidak disengaja antara korban dan pahlawannya hanya akan ada di televisi.
“Betul sekali. Saya tidak menyangka kamu akan mendaftar di universitas ini, terlebih jurusan yang ada di bawah tanggung jawab saya,” sahut Ezra dengan mata berbinar.
“Maaf, saya terlambat mengucapkannya. Terima kasih untuk malam itu,” kata Gauri mulai melepas jabatan tangan mereka.
Ezra mempersilakan Gauri duduk di sofa. Kantor yang terletak di lantai satu gedung universitas itu ditata dengan minimalis. Ada jendela besar di sudut kanan yang mengarah ke taman universitas.
“Sudah seharusnya saya menjaga cucu dari Thomas Uno,” ujar Ezra menyugar rambutnya. “Saya sudah lama mencari kamu. Pantas saja kamu sulit ditemukan, ternyata kamu tinggal bersama Keluarga Harraz yang tertutup.”
Gauri mengangkat salah satu alis. “Sepertinya Bapak salah orang. Saya lahir dari keluarga miskin,” sergah Gauri.
Tidak mungkin Gauri tidak mengenal Thomas Uno. Dia merupakan seorang konglomerat nomor satu dalam negeri yang memiliki usaha di sektor aneka industri dan jasa, termasuk universitas ini.
“Benarkah kamu anak Visca Uno, Gauri?” tanya Thomas yang masuk tanpa mengetuk pintu. Pria berambut putih itu berjalan dengan tongkat di tangan kanan dan duduk di sebelah Gauri.
“Visca Bentlee. Saya dari Keluarga Bentlee.” Gauri menaruh tangan di dada sebagai perkenalan diri.
Thomas tertawa sumbang. “Anak itu! Beraninya dia mengubah nama keluarga dengan nama belakang Suaminya yang miskin.”
Dahi Gauri terus mengernyit. “Maaf, saya memang bukan berasal dari keluarga kalangan atas seperti Pak Thomas.”
Ingatan Gauri tentang kehidupan masa kecilnya masih sangat segar. Dia tidak pernah melupakan bagaimana perjuangan kedua orang tuanya untuk menyambung hidup.
Hanya untuk membuka restoran kecil saja, mereka harus berutang. Mereka juga tinggal berpindah-pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya.
Thomas mengangkat kelima jarinya dan berkata, “Tunggu.” Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
Gauri mencoba bernapas dengan teratur. Ada sesuatu yang menghantam dadanya setiap Thomas berbicara. Namun, dia tetap berusaha bersikap sopan.
“Lihat, siapa yang ada di foto ini?” tanya Thomas memberikan selembar foto pada Gauri.
Foto berbentuk persegi panjang seukuran tangan orang dewasa itu Gauri terima. Ada wajah muda Visca, mendiang ibunya, memakai gaun yang terlihat mahal dan berdiri di depan rumah yang sangat mewah.
Sebelum melihat foto tersebut, Gauri pikir rumah Adam sudah yang paling mewah. Namun, ternyata dia salah.
“Saya memutus hubungan dengannya ketika dia memilih hidup susah dengan Leon Bentlee. Wajar jika kamu tidak mengenali saya sebagai kakekmu,” ucap Thomas melihat Gauri bergeming.
“Bagaimana bisa Pak Thomas tahu nama ayah saya?” Kedua alis Gauri terangkat.
Thomas tertawa cukup keras sebelum menjawab pertanyaan Gauri.
“Saya Thomas Uno. Ketika saya menyebut satu nama, hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk mendapatkan setumpuk riwayat hidup orang itu,” jawabnya bangga.
“Lalu, kenapa Anda mencari saya? Apa Anda tahu apa yang sudah saya alami selama ini?” Mata Gauri berkaca-kaca. Deru napasnya kian memburu.
“Maaf atas kesulitanmu selama ini, Gauri. Pulanglah ke rumah, saya sudah cukup tua untuk memusuhi keluarga sendiri. Saya akan mewarisi perusahaan keluarga kita padamu.”
Gauri membeku. Dia melirik Ezra, meminta pertolongan.
“Kamu tahu? Penyesalan selalu datang terakhir dan itulah yang saya rasakan sekarang. Kenapa saya tidak terus memantau Visca dari jauh? Bahkan, saya baru tahu Visca sudah meninggal belasan tahun lalu,” tambah Thomas, suaranya bergetar.
“Kamu harus menerima kebaikan hati Pak Thomas, Gauri,” desak Ezra.
“Saya… saya perlu waktu untuk memikirkan ini semua,” sahut Gauri berdiri perlahan, bersiap untuk meninggalkan ruangan panas ini.
“Gauri, setidaknya terimalah sesuatu dari saya sebelum kau pergi. Kamu adalah satu-satunya keluarga saya yang masih hidup. Saya harus memastikan kamu baik-baik saja.” Thomas menatap Gauri penuh harap.
“Sudah selesai?” tanya Adam, berdiri di tepi kebun mawar yang membentang indah di belakang kediaman Thomas. Matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang memukau.Gauri melangkah mendekat, gaun berwarna krem lembut yang memeluk tubuhnya berkibar tertiup angin sore. Di tangannya ada buket bunga mawar putih kecil yang baru saja wanita itu atur bersama Amelia.“Sudah,” jawab Gauri tersenyum tipis. “Kebun ini terlalu cantik jika tidak dipakai sebagai latar pesta kita.”Adam memandangnya dengan intens, mata gelap pria itu mengamati setiap detail wajah Gauri yang diterangi cahaya lampu sekitar. “Kamu lebih cantik.”“Mas Adam, jangan mulai lagi atau kamu ingin melihat pipiku semerah tomat.” Gauri mendesah kecil sambil menggeleng. “Orang-orang sudah berdatangan, kita harus segera bergabung.”Adam mengulurkan tangan, menarik Gauri mendekat hingga wanita itu berdiri hanya beberapa sentimeter darinya.“Kalau aku bilang kamu cantik, kamu terima saja,” tukas Adam.Gauri tertawa kecil,
“Mama ingin sesuatu dari laci itu?” tanya Gauri lagi, memastikan bahwa dia tidak salah mengerti.Arum mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari laci kecil di samping ranjang. Gauri mengerutkan kening sejenak, merasa sedikit ragu, tetapi akhirnya dia mendekat ke laci itu.Gauri membuka laci kecil tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun dengan ukiran emas di bagian atasnya. Gauri mengangkat kotak itu, lalu menoleh ke arah Arum.“Ini, Ma?” tanya Gauri sambil mengangkat kotak itu.Arum mengangguk lagi, kali ini lebih mantap. Gauri membawa kotak itu ke hadapan Arum, tetapi wanita paruh baya itu membuat gerakan tangan seolah meminta Gauri membuka kotak tersebut.Dengan hati-hati, Gauri membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, terdapat sebuah cincin mewah dengan desain yang klasik dan elegan. Kilauan berlian di tengah cincin itu tampak memikat di bawah cahaya lampu kamar.Gauri memandang cincin itu dengan kagum.“Cincinnya sangat indah,
“Jadi, Nona benar-benar akan meninggalkan griya tawang?” tanya Amelia, matanya menatap koper kecil yang ada di sisi Gauri.Gauri mendongak dan memandang griya tawangnya sekali lagi dari tempat parkir JCrown Tower, tempat tinggal yang penuh kenangan, baik manis maupun pahit.“Ya,” jawab Gauri dengan mantap. “Tempat ini terlalu penuh dengan bayangan masa lalu. Kakek benar, saya butuh tempat tinggal baru yang lebih baik.”Amelia tersenyum kecil. “Rona Village memang lebih cocok untuk Nona sekarang. Walaupun kita sudah dewasa, terkadang kembali ke rumah orang tua akan terasa menenangkan.”Gauri hanya tersenyum. Wanita itu mengangguk pelan, mengiakan pendapat Amelia.Beberapa saat kemudian, Gauri melangkah menjauh dari JCrown Tower sambil membawa barang-barang penting dan meninggalkan semua yang tidak lagi ingin wanita itu ingat di griya tawang.Hari-hari berlalu, dan selama Adam berada di Australia, Gauri mengisi waktunya dengan bekerja dan merawat Arum. Setiap malam, setelah menyelesaika
[Bagaimana bisa kamu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Mama daripada aku, Gauri?]Gauri membaca pesan itu dengan senyum tipis. Matanya memancarkan kehangatan yang bercampur geli. Adam selalu memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan rasa cemburunya.Tanpa berpikir panjang, Gauri mengetik balasan. “Kamu sudah sampai di Australia?”Gauri menekan tombol kirim dan kembali menyandarkan tubuh di jok mobil. Amelia yang duduk di sampingnya sibuk dengan laptop, sementara sopir yang memegang kemudi sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.“Pesan dari Tuan Adam?” tanya Amelia dengan senyum menggoda tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.“Hmm,” gumam Gauri singkat sambil menyimpan ponsel ke dalam tas. “Mas Adam hanya ingin memastikan saya tidak lupa bahwa dia ingin menjadi prioritas saya.”Amelia terkekeh pelan, menggelengkan kepala. “Saya senang melihat hubungan Nona dan Tuan sudah membaik.”Mobil perlahan memasuki gerbang besar dengan lampu-lampu taman yang menyor
“Jadi, apa semuanya sudah selesai?” tanya Gauri sambil merapikan pakaiannya ke dalam koper kecil. Tangannya sibuk melipat gaun sederhana yang Amelia serahkan padanya.Amelia, yang berdiri di dekat lemari, mengangguk sambil membawa beberapa dokumen yang baru saja dia serahkan.“Ya, evaluasi mingguan Uno Rekayasa Industri berjalan dengan baik. Proyek-proyek besar berjalan lancar, meski ada beberapa kendala teknis kecil yang bisa diatasi dalam waktu dekat.” Amelia menjawab.“Bagus,” sahut Gauri, tersenyum tipis. “Amelia, kamu benar-benar sudah banyak membantu selama saya di sini. Terima kasih.”“Tapi, Nona Gauri … kalau saya lebih berhati-hati saat menyetir, kecelakaan itu tidak akan terjadi. Saya benar-benar minta maaf.” Amelia mendesah pelan, menatap Gauri dengan sorot mata penuh rasa bersalah.Gauri mengangkat wajah, menatap Amelia tajam, tetapi penuh kehangatan.“Saya sudah bilang berkali-kali, Amelia, saya tidak ingin mendengar permintaan maaf itu lagi,” desah Gauri sebal.“Baik, No
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai