Share

Siapa kalian?

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2023-10-01 18:13:11

"Kamu pikir, tanpaku kamu bisa apa?" Usai mendengar permintaan cerai dari Ela, Pram sempat tertegun. Namun, hal itu tak berlangsung lama, sebab setelahnya pria itu justru tertawa lebar tanpa dosa. "Jika bukan karena aku, kamu sudah menjadi bangkai di sungai!"

Bangkai? Perlahan, penggalan-penggalan ingatan masa lalu muncul di benak Ela.

Beberapa tahun lalu, ia ditemukan oleh Pram terdampar di pinggiran sungai yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Benturan pada kepala yang cukup parah menyebabkan semua ingatannya hilang.

Satu hal yang ia ingat hanyalah nama panggilannya saja, Ela, tak ada yang lain. Karena minimnya akses desa ke fasilitas kesehatan, Ela hanya mendapat perawatan seadanya dari Pram.

Perlakuan Pram di mata Ela, juga rasa hutang budi itulah yang akhirnya membuat Ela setuju untuk menikah dengan lelaki tersebut.

'Kalau aku boleh memilih, aku lebih baik mati saat itu dibanding bertemu denganmu di sini!' Ela menahan balasan penuh rasa muak itu di dalam hati.

"Kamu pikir, setelah bercerai aku akan meninggalkan tempat ini? Jangan harap! Ini rumahku, jika ingin bercerai, kamu saja yang pergi!"

Ela tertawa kecil, "Kamu menyebut ini rumah? Bahkan disebut kandang bebek saja ini tidak pantas!"

"Apa maksudmu?!" Kilat amarah mulai muncul dari mata Pram yang memicing.

"Apa masih kurang jelas?" Kemudian, Ela mengeja kalimat untuk memperjelas ucapannya dengan tersenyum lebar, "Bebek saja tidak ingin tinggal di tempat ini."

Setelah mengeluarkan unek-uneknya, rasa puas dirasakan Ela. Emosinya yang tertahan dan membuatnya sesak tadi serasa terangkat dari dada.

Pria bertubuh kurus nan tinggi itu mengepalkan kuat kedua tangannya, menatap Ela dengan penuh amarah. Urat-urat halus bahkan menyembul keluar dari bawah kulit lehernya.

Ela tahu, pria itu tengah marah.

Pram beranjak pergi memasuki dapur dengan langkah kasar. Ela mengerutkan dahi, tetapi detik berikutnya ia mulai bersikap waspada.

Nalurinya menyuruh untuk berlari, sebab Pram bisa saja melukainya ... Atau membunuhnya saat ini.

Akhirnya, menuruti naluri tersebut ... Ela berlari sekuat mungkin. Meski kakinya terus berdenyut, ia tak menghentikan langkah cepatnya. Ketakutan membuat Ela tak lagi berpikir ... Ke mana jalan setapak yang ia pijak ini akan membawanya?

Sesekali, matanya terus menatap ke belakang, berjaga-jaga jika Pram mengejarnya. Kerikil kecil tak henti menusuki kaki yang menapaki jalanan tanpa alas. Tak dipedulikannya darah yang terus mengucur dari kedua telapak kaki.

Namun, karena sebuah batu besar, Ela tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Ia terjatuh dan tersungkur di atas rerumputan kering. "Akh!" pekiknya.

Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang pria paruh baya keluar dari kursi kemudi, menghampirinya dengan wajah panik. "Mari saya bantu, Nona."

Ela menatap uluran tangan dari pria itu dan mengerjapkan matanya saat mengenali siapa pria ini. 'Pria ini lagi?'

Pria itu adalah pria yang bersama si pria bertopeng, yang mendorong kursi roda. Lantas, di manakah pria yang duduk di kursi roda malam itu?

Ela mengedarkan pandangannya menuju kaca jendela mobil yang sedikit terbuka. Dan benar saja, pria itu sedang memperhatikannya dari sana.

Dengan tubuh luluh lantak yang hampir mati rasa. Ela memaksa kakinya beranjak. Ia meraih uluran tangan dari pria paruh baya bermata sipit itu dengan tertatih, menahan sakit.

"Nona, Anda terluka. Mari ikut saya, saya akan mengobati luka Anda."

Ela tetap bergeming. Selain merasakan rasa nyeri yang perlahan menjalar ke sekujur tubuhnya, keraguan dalam hati pun kini mulai ia rasakan.

Seolah mengerti ketakutan Ela, pria paruh baya itu kembali berbicara, "Jangan takut, Nona. Kami bukan orang jahat."

Kalimat itu seketika membuat hati Ela tergerak. Ia tertunduk sejenak dengan tersenyum getir. "Terima kasih, Tuan. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda."

Sosok pria asing itu hanya tersenyum tipis sebelum perlahan menuntunnya ke dalam mobil mewah berwarna silver.

Kegelisahan panjang mulai menyelimuti. Terlebih, kala tatapan mata dari pria bertopeng yang duduk di sampingnya tak berpaling sedikit pun dari kakinya.

"Apa itu sakit?"

Kendati berpikir pria bertopeng itu hanya berbasa-basi, Ela menggeleng cepat sembari tersenyum canggung. "Tidak terlalu," ucapnya dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya meremas kuat ujung gamis lusuh yang telah berlumuran lumpur.

Oh, tidak, Ela melupakan sesuatu. Tubuhnya jelas-jelas telah mengotori mobil itu. Rasa tak enak hati kini dirasakan oleh wanita malang itu.

"Tu-tuan, maaf jika tubuh saya mengotori mobil Anda. Saya berjanji akan membersihkannya nanti," ucap Ela dengan sedikit tergagap. Kedua manik matanya menatap ragu pada tubuh atletis pria di sampingnya.

Dengan sekali pandang saja, Ela sudah tahu ... jika pria bertopeng ini adalah majikan dari pria paruh baya yang menolongnya tadi.

Pria itu sedikit menahan tawa, "Tidak perlu repot-repot."

Ela hanya tersenyum tipis, tak mendengar lebih jauh apa yang pria bertopeng itu ucapkan. Andai saja Ela mendengar, mungkin kerutan di dahilah yang muncul di wajahnya saat ini. Telinganya hanya menangkap penggalan kalimat 'Tidak perlu repot-repot', untuk itu ... Ela tersenyum.

Hingga hampir satu jam berlalu, mobil itu kini mulai meninggalkan kesunyian desa dan membelah keramaian kota. Sampai di suatu perumahan mewah, mobil tersebut berbelok dan memasuki halaman luas sebuah rumah yang layak disebut sebagai istana.

Pandangan Ela terkagum-kagum dengan bangunan itu, hingga membuatnya tak sadar jika pintu di sebelahnya telah terbuka lebar.

"Silakan, Nona." Ucapan sang sopir paruh baya menyentak Ela.

"I-iya."

Telapak kakinya yang masih mengeluarkan darah, ia paksa beranjak menapaki carport rumah itu.

Usai membantu sang majikan turun dan kembali menaiki kursi rodanya, pria itu mempersilahkan Ela untuk mengekor di belakang tubuhnya. "Mari ikuti saya, Nona."

Ela kembali beranjak. Kegelisahan kembali menghampiri, saat beberapa pasang mata dari penjaga yang berada di luar rumah itu nampak memperhatikannya dengan saksama.

Ia menunduk, menyembunyikan rasa malu. Sikap rendah dirinya kembali datang.

Sampai di depan lantai marmer bercorak emas, langkahnya terhenti. Ia menatap lama pada lantai tersebut.

Ela berpikir, jika ia menginjaknya, jelas akan mengotori lantai dengan darah yang tak henti mengucur dari telapak kakinya. Dan itu mungkin akan membuat si pemilik marah.

"Nona, ada apa?"

Pria paruh baya yang semula berjalan di depannya itu kembali menghampiri Ela yang terdiam.

Ia mendongak, lalu tersenyum getir menatap pria tersebut. "Saya menunggu di sini saja, Tuan."

Kedua pria itu terlihat menaikkan kedua alisnya. Sorot matanya menatap Ela dengan penuh tanda tanya. "Kenapa?"

Ela kembali tertunduk lesu. Kedua tangannya tak henti memilin ujung gamis lusuhnya. "Tubuh saya kotor. Saya takut akan mengotori lantai rumah Anda."

Helaan napas panjang terdengar begitu jelas sebelum terdengar sambaran dari si pria bertopeng. "Masuklah! Ini rumahmu, tidak akan ada yang berani memarahimu."

Tatapan matanya begitu teduh dan menenangkan.

Memakai topeng saja masih memperlihatkan ketampanan yang luar biasa, bagaimana jika topeng itu sampai dilepas? Ela tak sanggup membayangkan itu.

Ela tertegun dengan mata membulat. Mungkinkah pendengarannya bermasalah? Bisa-bisanya dia mendengar 'Rumahku' berubah menjadi 'Rumahmu' saat sampai di telinganya.

Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu lantas mengangguk pelan. Kakinya mulai beranjak seraya berjinjit, berusaha meminimalisir kotoran yang akan menempel pada lantai itu.

Langkahnya berusaha mengimbangi kedua pria yang melangkah cepat menuju sebuah ruangan. Hingga di depan sebuah sofa berwarna lembut, pria itu menghentikan langkahnya. "Tunggulah sebentar di sini, Nona. Saya akan memanggil pemilik rumah," ucap sopan pria paruh baya sebelum meninggalkan Ela sendirian di sana.

Pandangan mata wanita itu mulai mengedar, mengagumi setiap inci dari ruangan mewah itu. Matanya terpejam untuk sesaat, menghirup dinginnya udara yang berasal dari AC yang menyala. Segar sekali.

Dalam sekejap, pandangan itu tertuju pada sofa panjang berwarna coklat muda. "Bagus sekali ... kapan aku bisa memiliki sofa seperti ini di ruang tamuku?" gumamnya lirih dengan terkagum-kagum. Tangannya tak mampu ia tahan untuk tidak menyentuhnya, hingga goresan noda tak sengaja ia torehkan di sana.

'Astaga! Aku tidak sengaja mengotorinya. Bagaimana ini?!'

Kebingungan hebat kian ia rasakan dalam hati. Kedua tangannya bersusah payah menghapus noda tersebut dengan gamis lusuhnya.

"Nona! Apa yang sedang Anda lakukan?"

Kalimat lantang yang terdengar seketika membuat tubuh Ela tersentak. Ketakutan hebat mulai kembali ia rasakan.

Seorang wanita paruh baya nampak berjalan cepat, membuat Ela seketika mundur beberapa langkah.

"Ma-maafkan saya, Nyonya. Saya akan membersihkannya nanti."

Ela menunjuk bekas noda yang tak kunjung berhasil ia hilangkan dengan gamis lusuhnya. Tubuhnya sedikit ia bungkukkan untuk menunjukkan rasa bersalahnya.

"No-nona Ela?!" Kedua tangan wanita paruh baya itu membungkam mulut, seolah tak percaya dengan apa yang terlihat di depan matanya. "Benarkah ini Anda?"

'Wanita ini ... mengenalku?'

Ela? Itu memang namanya. Namun, siapakah wanita ini? Apakah ada hubungannya dengan ingatan Ela di masa lalu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Kelahiran putra pewaris

    "Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Laura keguguran

    "Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Jatuh dari tangga

    ****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Ela hamil

    "Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Kesehatan Ela terganggu

    Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan

  • Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya   Malam pertama

    Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status