"Tidak apa-apa, itu hal yang cukup wajar untuk pasangan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu," ucap Matthew dengan mengusap air mata haru yang mulai menitik dari kantung mata hitamnya.
Dengan wajah tertunduk, Ela memberanikan diri melirik sekilas ke arah Deo yang ternyata tengah menatapnya dengan penuh arti.Namun saat tatapan keduanya tak sengaja saling bertemu, Ela secepatnya memalingkan wajah menahan malu.Wajah datar dengan tatapan dingin dari Deo itu tak bisa Ela artikan. Bibirnya berucap seolah tengah menahan rindu yang mendalam, tapi tatapan matanya tidak mengartikan perasaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?"Baiklah, Om Matthew. Sekarang Ela sudah baik-baik saja. Saya mohon izin pamit pulang dulu, jika besok ada waktu luang, saya akan kembali untuk menjenguk Ela," pamit Deo dengan tersenyum sopan.Wajah tampan dari balik topeng itu seketika berubah ekspresi dalam sekejap mata, setelah tatapan dinginnya. Ela menyadari hal itu, namun tak ingin terlalu mengurusi urusan orang lain yang tak begitu dikenalnya. Mungkin sebenarnya dirinya dan Deo memiliki dendam di masa lalu, jika nama 'Gabriela Larasati' itu benar-benar miliknya. Entah kenapa, tapi Ela masih merasa ragu."Baik, Deo. Om titip salam pada Pamanmu, Arsenio," ucap Matthew kemudian. Menepuk pelan pundak sang calon menantu yang akan bersanding dengan putri semata wayangnya suatu hari nanti.Meski pun kecelakaan yang terjadi empat tahun lalu bersama sang putri hingga hampir merenggut nyawanya. Namun nasib baik masih menghampiri Deo. Terbukti dengan dirinya yang selamat setelah kecelakaan beruntun yang membuat mobilnya masuk ke dalam jurang. Meski harus merelakan kedua kakinya yang tak lagi bisa berjalan, dan sebagian wajahnya yang mengalami luka bakar akibat mobil yang meledak saat itu.Kelumpuhan dan ketidak sempurnaan pada paras Deo, tidak membuat hati Matthew sedikit pun merasa ragu untuk menjodohkan sang putri tercinta dengan pria itu.Meski sang adik yang bernama Darren itu terus bersikukuh untuk mengantikan sang kakak menikahi Ela. Namun tak membuat Matthew sedikit pun terpengaruh.Selain baik dan sopan, Deo sejatinya adalah seorang pria yang pintar dan begitu perhatian terhadap mendiang ibunya. Hal itu membuat Matthew tak lagi merasa ragu untuk melepaskan putri tercinta ke pelukan pria itu."Tentu, Om. Saya akan sampaikan salam, Om Matthew, pada Om Arsenio setelah sampai di rumah nanti," ucap Deo tersenyum sopan pada calon papa mertuanya.Detik berikutnya, sosok pria paruh baya dengan setelan jas hitam nampak berjalan perlahan memasuki ruangan. Tersenyum ramah dengan sedikit kerutan halus yang terlihat jelas di kedua sisi matanya."Permisi, Tuan. Kita bisa pergi sekarang?" tanya pria paruh baya memastikan, yang merupakan pengawal sekaligus asisten untuk Deo yang saat ini tak bisa berjalan sendiri dengan kedua kakinya."Kita pergi sekarang, Paman Louise," ucap Deo kemudian.Paman Louise pun sontak beranjak. Mendorong perlahan gagang kursi roda yang tengah diduduki oleh majikannya.Tanpa sedikit pun berpamitan pada Ela. Kedua pria itu pergi berlalu begitu saja. Tanpa Ela tahu apa sebabnya.Tanpa sadar, kini kedua tangan Ela meremas kuat ujung selimut yang menutupi sebagian kakinya. Kekecewaan yang begitu mendalam perlahan ia rasakan.Begitu nyeri. Hatinya seperti tertusuk ribuan jarum yang masuk ke dalam hati tanpa sedikit pun permisi.Tanpa sebab yang jelas. Rasa nyeri dengan kekecewaan yang mendalam itu membuat matanya mulai berembun."Ela." Panggilan itu kembali membuat Ela tertunduk cepat. Menyembunyikan mata sembabnya dari sang ayah yang mulai menatapnya sendu."Papa akan pergi sebentar untuk meminta Bibi Gwen membeli vitamin yang dituliskan Darren untukmu. Istirahatlah dulu," imbuh Matthew seraya berjalan mendekat. Mengusap lembut puncak kepala sang putri yang begitu ia rindukan sejak lama.Pria bertubuh tambun itu lantas beranjak. Namun langkahnya kembali terhenti saat tiba di ambang pintu. "Apa kamu lapar, Ela? Jika lapar, Papa akan membawakanmu makanan dulu," ucap Matthew menawarkan.Sebab kebahagiaan yang kini kembali menyertainya. Matthew hampir melupakan pesan Darren padanya satu jam yang lalu. Bahwa tubuh kurus Ela yang kekurangan gizi harus secepatnya dipulihkan jika ingin mendapatkan kembali ingatannya."Tidak, saya tidak lapar, Tuan," jawab Ela singkat penuh keraguan.Raut wajah Matthew seketika berubah kecewa dalam sekejap. Hingga saat ini pun Ela masih tak sudi memanggilnya 'ayah'Dengan helaan nafas berat, Matthew mencoba kembali mengerti. Mungkin perlu sedikit waktu untuk Ela menerima kenyataan."Baiklah, Nak. Papa pergi dulu, beristirahatlah!" pamit Matthew sebelum benar-benar pergi dari tempat itu.Kini pintu ruangan kembali tertutup. Namun Ela masih merasa tak nyaman dengan kehidupannya sekarang ini. Bayangan-bayangan kehidupan masa lalunya bersama putri kecil yang telah berpulang ke rumah Tuhan, kini mulai berputar dalam ingatannya."Meli, meski baru satu hari. Tapi Mama sudah sangat merindukanmu, Nak," lirih Ela dengan tangis yang kembali pecah.Kepedihan yang begitu mendalam mulai kembali ia rasakan. Rasa sesak kembali memenuhi dada, membuatnya kesulitan untuk bernafas.Saking larutnya dalam kesedihan yang mendalam, membuat Ela tanpa sadar menangkap suara gaib di antara dengungan telinganya. "Mama ...."Ela tertegun dengan mata terbelalak sempurna. Suara itu begitu mirip dengan mendiang si kecil yang telah berpulang ke rumah Tuhan.Kini pandangan mata yang mulai kabur itu mengedar. Mencari sumber suara yang tak kunjung ditemukan."Meli ....""Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d