"Ini apa-apaan, Mas!"
"Kenapa kau bawa perempuan ini ke rumah kita!" Adelia tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. "Ya, daripada aku bolak-balik ke apartemennya. Lebih bagus kan, jika wanitaku tinggal bersama," kata Adrian tanpa dosa. "Kamu sudah gila, Mas!" "Usir perempuan ini!" "Aku tidak mau tinggal bersama wanita jalang ini!" tolak Adelia. Ia berusaha menutup pintu. Tapi Adrian menahan pintunya. "Kau berani menghalangiku!" Adrian mendorong pintu itu hingga Adelia jatuh tersungkur. "Kau siapkan kamar untuknya," perintah Adrian. Ia berjalan melewati Adelia yang masih duduk di lantai karena jatuh. Sedangkan wanita itu menatapnya penuh cibiran. Adelia tidak bisa membendung tangisnya, ia menangis lagi. Adrian telah bersikap zalim terhadapnya. Suaminya bersikap keterlaluan. Mbok Darsih membantu Adelia berdiri. "Sudah, Non harus kuat melewati semua ini," kata Mbok Darsih. Adelia masih saja menangis, ia berjalan memasuki kamarnya. Lagi-lagi matanya di hadapkan pada sesuatu yang memuakkan. Adrian tengah berpagutan dengan Salsa. Dan posisi mereka sungguh menjijikkan. "Mas, ini kamarku! Berani sekali kalian melakukannya di sini. Ini kamar pernikahan kita, Mas," kata Adelia. "Lalu kenapa, dia juga sebentar lagi jadi istriku," kata Adrian santai melepaskan pagutannya pada bibir Salsa. Sementara Salsa masih saja nangkring di atas paha Adrian tanpa rasa malu sedikitpun. "Mas, kamu benar-benar tidak punya perasaan. Kamu tidak menghargai pernikahan kita." Adelia mencoba mendorong tubuh Adrian, tapi lelaki itu mencekalnya. "Jangan sekali-kali berani menyentuhku. Ingat, aku sudah memberimu waktu. Tapi kau tidak tahu diri, kau tidak bisa memberikanku anak. Jadi, jangan salahkan aku jika menikahi wanita lain!" sentak Adrian. Salsa melingkarkan kedua tangannya di leher Adrian. Ia memamerkan ciuman panasnya pada Adelia. Bahkan mereka beradu lidah seperti tidak ada orang yang melihatnya. "Awwh, sayang. Kau mau kita main yang lebih panas lagi," tawar Salsa. "Boleh, tapi sebaiknya aku usir dulu perempuan ini dari kamar kita," ucap Adrian. "Kamar kita! Ini kamarku mas!" bantah Adelia. Ia langsung menarik rambut Salsa dari belakang. "Awwh, mas tolong!" rintih Salsa. "Rasakan, ini pelajaran karena kamu telah berani merebut suami orang," kata Adelia penuh amarah. "Singkirkan tanganmu Adelia! Atau kita bercerai sekarang biar orang tuamu terkena serangan jantung!" ancam Adrian. Tangan Adelia gemetar, ia benci dengan Salsa. Ingin sekali membunuh wanita itu kalau dia sendiri tidak ingat iman. Selalu saja penyakit jantung ayahnya menjadi alasan Adrian menekannya. Menurut keterangan dokter waktu itu yang memeriksa ayahnya mengatakan jika sampai ada serangan ketiga. Maka kondisi ayahnya tidak akan terselamatkan. "Bagaimana, kau mau ku telepon ayahmu sekarang. Dan kurasa malaikat maut sudah berdiri di sampingnya," kata Adrian terkekeh. Air mata Adelia turun semakin deras, terpaksa ia melepaskan tangannya. "Ingat mas, setiap tindakan ada karmanya. Saat ini kau menyakiti hatiku, Mas. Dan Allah tidak akan tinggal diam melihat hati hambanya di sakiti," ucap Adelia menunjuk pada Adrian di iringi dengan tangis airmata. "Kalau ingin ceramah di masjid saja, sana. Kau pikir aku takut dengan ancamanmu, hah!" ejek Adrian. Dengan berat hati Adelia melangkahkan kakinya keluar. Hatinya makin teriris manakala telinganya yang tak mampu berbohong memperdengarkan desahan-desahan suara kedua pasangan haram itu. Adelia pindah ke kamar bawah, kamar itu biasanya di gunakan untuk tamu. Ukurannya lebih kecil dari kamar yang biasa ia tempati. Hari ini hari terburuknya. Adelia menyaksikan kelakuan bejat suaminya di depan matanya sendiri. "Ya, Allah ampunilah aku karena membenci suamiku sendiri." "Hatiku, begitu sakit ya Allah," ucap Adelia lirih. Ia menyeka air matanya, pandangan matanya tertuju pada ponselnya yang sejak tadi bergetar. Adelia kaget banyak sekali telepon masuk yang tidak di angkatnya. Ia baru ingat jika ia sudah mengubah pengaturannya menjadi senyap tak bersuara. Pantas saja dia tidak tahu ada telepon yang masuk. "Mbak, segera datang ke sini. Kita ada orderan banyak banget menjelang lebaran," pesan dari asistennya di ponsel. Buru-buru Adelia menyeka air matanya. Ada sedikit semangat di hatinya. Usaha yang telah ia rintis pelan-pelan menunjukkan hasil. Setidaknya hal ini bisa mengobati rasa kecewanya pada Adrian. "Kartika, Mbak akan datang sekarang," balas Adelia. Adelia buru-buru keluar dari rumah neraka itu. Ia tidak minta ijin pada Adrian terlebih dahulu. Untuk apa, lelaki itu pasti sedang bercinta dengan sekretaris jalangnya. Untung saja taksi online yang di pesan Adelia sudah datang. Jadi, ia tidak perlu menunggu terlalu lama di depan pagar rumahnya. Sesampainya di gudang, Adelia melihat beberapa karyawannya sedang sibuk packing barang. Seorang wanita muda menghampiri dirinya. Dialah Kartika, asisten sekaligus teman kuliah Adelia yang selama ini membantu usahanya. "Bagaimana? Apakah stok barang kita mencukupi?" tanya Adelia. "Alhamdulillah, masih lebih dari cukup. Kita hanya perlu mengirimkannya sesegera mungkin agar tidak overload pengiriman. Karena sebentar lagi lebaran, pasti mereka ingin segera memakai kosmetiknya untuk mempercantik diri," ucap Kartika. "Kamu benar, kalau begitu tunggu apalagi. Ayo kerja," kata Adelia. Kartika mengangguk pasti, ia lalu bergabung dengan karyawan lainnya. Tentu saja memberi semangat agar pekerjaan mereka cepat selesai. Menjelang lebaran orderan membludak, tentu saja karyawannya akan mendapat THR yang lumayan. Selama ini Adelia tidak pelit pada karyawannya. Ia selalu memberikan bonus jika ada peningkatan pendapatan. Tentu saja hal itu membuat karyawannya betah bekerja dengannya. "Sebenarnya kita perlu tempat yang lebih besar lagi. Karena makin lama pesanan kita makin banyak, membutuhkan ruang yang lebih luas lagi," ujar Kartika. "Aku juga sudah berpikir sampai kesana. Hanya saja tabunganku belum cukup, jadi bersabarlah dulu. Aku tidak mau karena tergesa-gesa kita jadi terlilit hutang," kata Adelia. "Iya, semua memang perlu di perhitungkan dengan cermat. Apalagi perusahaan ini terbilang masih muda," imbuh Kartika. "Terima kasih, kau sudah membantuku cukup banyak. Tanpamu mungkin aku tidak bisa mengatasi semua ini," kata Adelia. "Aku senang melakukannya. Lagipula kau juga cerdas dan berbakat jadi pebisnis. Apa kau akan terus menyembunyikan ini dari suamimu?" tanya Kartika. Membahas tentang Adrian wajah Adelia berubah muram dan sedih. Ia muak mendengar orang lain menanyakannya. Lelaki itu sudah sangat menyakitinya. "Tidak perlu, dia tidak perlu tahu usahaku. Lagi pula untuk apa, aku pasti akan di marahinya. Aku juga tidak mau dia mengekangku ini itu, ujar Adelia. "Baiklah, itu hakmu tidak mengatakannya. Tapi, ada yang ingin aku tahu darimu," ucap Kartika. Wanita itu mengamati wajah Adelia yang tidak seperti biasanya. "Kau yakin tidak ada yang ingin kau bicarakan denganku mengenai Adrian?" tanya Kartika. Adelia menggeleng. Ia sudah sangat sesak jika mendengar sesuatu tentang pria itu. "Kalau begitu, ikut denganku," ajak Kartika menarik tangan Adelia masuk ke dalam ruangannya. "Ada apa kau menarikku kesini?" tanya Adelia. Kartika menutup pintu ruangannya rapat, membuat Adelia makin curiga. Ia menatap Kartika dengan penuh tanda tanya, merasa tak nyaman dengan situasi tiba-tiba ini. "Kau tidak ingin tahu seperti apa suamimu di luar sana?" tanya Kartika dengan nada datar tapi tajam, seolah menyimpan bara di balik tiap katanya. Jantung Adelia mencelos. Kalimat itu menghantam keras ke relung hatinya, membuat tubuhnya seketika membeku. Matanya menatap Kartika tanpa berkedip, mencoba membaca maksud di balik ucapan itu. "Tidak, aku tidak ingin tahu," jawab Adelia datar memendam lukanya. ---Bersambung---Ariska merasa Bian memang sengaja memilih tempat yang jauh dari perkotaan agar dirinya tidak kemana-mana."Sialan, ia mengurungku di sini. Mana aku tidak tahu jalan keluarnya," gumam Ariska.Ariska baru sadar, sekarang saja babak pertama dia sudah kalah dari Bian. Pria itu diam-diam mengambil langkah yang tak dapat di prediksinya. Bian tidak dapat di remehkan. Pria itu bisa melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang di inginkannya.'Kamu pikir bisa menembus benteng pertahananku, jangan harap,' batin Ariska."Aku harap kau betah tinggal di sini selama sembilan bulan ke depan," kata Bian yang sudah muncul di ambang pintu."Kerasan atau tidak, bukan urusanmu. Yang penting kau tidak menjebakku di sini," sindir Arista."Menjebak? Yang benar saja. Mana mungkin, aku bisa menjebak Nina Ariska yang cerdas ini," kata Bian."Aah, tidak usah basa-basi. Pergilah, aku mau istirahat," usir Ariska."Aku tidak akan pergi sebelum kamu makan dulu, aku tidak ingin bayiku kurus nantinya," kata Bian.Baru
"Apa! Tidak, ini tidak mungkin!" pekik Arista melempar uji tes kehamilannya ke lantai. Ia tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Memang akhir-akhir ini ia sering merasa kepalanya pusing, juga tidak enak badan. Kecurigaannya muncul karena ia sering muntah-muntah."Aku tidak mau hamil anak, Bian," tangis Arista. Ia benci pada suaminya itu. Tujuannya berhasil menggagalkan perceraian mereka. Kalau Arista hamil, pengadilan tidak akan mengijinkan adanya perceraian.Arista terduduk lesu, ia memukuli perutnya seolah janin yang di kandungnya itu anak haram. Padahal statusnya dengan Bian masih suami istri."Kau benar-benar brengsek Bian!""Arrgh!" Arista mengobrak-abrik kosmetiknya hingga tercecer di lantai. Ia tidak terima kalau dirinya sekarang hamil anak Bian."Kamu pikir aku akan tinggal diam, akan kugugurkan anak ini. Aku tidak mau hamil dari orang yang tidak pernah aku cintai," gerutunya.Arista sudah gila, ia tidak tahu kalau menggugurkan kandungan juga membahayakan nyawanya sendiri.
"Sayang, mama kan sudah pulang jadi aku dapet jatah dong," goda Arga."Dapetlah, jatahnya mijitin kakiku. Perutku makin besar, jadi aku gampang kecapekan, sayang," jawab Adelia mengalihkan."Bukan itu maksudku, jatah yang bikin suara huhah," canda Arga."Ooh, mau makan rujak?" kata Adelia mengalihkan perhatian Arga."Duh, gimana lagi mau menjelaskan pada istriku yang sangat cerdas ini. Punya perusahaan kosmetik terkenal, tapi kenapa istilah begitu saja gagal paham," kata Arga geleng-geleng kepala."Maksudmu kamu mau bilang kalau aku ini bodoh?" ucap Adelia pura-pura cemberut."Bukan begitu sayang, sudah... lupakan saja. Aku mau mandi dulu," kata Arga.Adelia ingin sekali tertawa melihat suaminya sudah menyerah kalah karena beradu argumen dengannya. Ia tahu Arga tidak mungkin bertengkar dengannya, lelaki itu memilih untuk mengalah.Usai Arga mandi, ia mencium bau harum parfum baru Adelia. Harumnya seperti vanila, di tambah lagi ia kaget dengan penampilan istrinya yang aduhai."Sayang,
Adrian pulang dengan rasa letih yang mendera tubuhnya. Pekerjaannya sebagai cleaning servis membuatnya kelelahan. Badan terasa pegal-pegal semua. Ruangan yang begitu luas ia bersihkan bersama teman-teman cleaning servisnya. Untung saja, dia tidak membersihkan bagian kaca gedung. Hal itu lebih sulit lagi.Rasa letihnya hilang manakala bertemu dengan putri kecilnya yang sudah genap tujuh bulan. Alangkah terkejutnya ia mendapati putrinya sudah bisa duduk dan tersenyum padanya."Eh, anak papa sudah bisa duduk," sambut Adrian."Pak Adrian sudah pulang? Alhamdulillah, putrinya tidak banyak menangis. Makannya juga banyak," kata yang nengasuh Alisa."Oh, bagus dong Alisa. Kamu memang anak papa yang hebat." Adrian mengendong Alisa."Terima kasih, Bu sudah menjaga Alisa hari ini. Ini bayaran hariannya," kata Adrian menyerahkan selembar uang."Saya juga terima kasih, dengan momong Alisa saya juga dapat pekerjaan," kata Bu Jum.Adrian membawa Alisa pulang ke rumah kontrakannya. Mereka tinggal ber
Hari ini adalah hari pertama Adrian bekerja sebagai cleaning servis. Ijasah S2-nya seolah tiada guna. Untuk saat ini ia hanya bisa pasrah menerima pekerjaan barunya. Daripada tidak memiliki uang sama sekali.Perusahaan yang dulu pernah membesarkan namanya, dan juga sebagai tempat perselingkuhannya dengan Salsa. Sampai dia di depak keluar dari perusahaan karena tidak mau menerima hukumannya sebagai cleaning servis.Sekarang ia tidak bisa menolak pekerjaan itu, karena tidak ada pilihan lain baginya, cari pekerjaan sangat sulit. Apalagi namanya yang sudah terlanjur tercoreng karena masa lalunya, membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan yang bagus.Adrian menatap gedung pencakar langit di depannya. Ia memang harus tiba lebih awal ketimbang yang lainnya. Karena, pekerjaannya membersihkan seluruh ruangan di gedung bersama cleaning servis lainnya."Kamu karyawan baru?" tanya salah seorang cleaning servis."Iya, perkenalkan namaku Adrian."Adrian mengulurkan tangannya, namun pria di depannya it
Arga baru saja pulang dari kantor, ia pulang agak terlambat tidak seperti biasanya. Karena pekerjaan di kantor yang menumpuk serta pertemuan dengan para klien. Ada rasa bersalah memenuhi batin Arga karena tidak datang tepat pada waktunya.Suasana rumah tampak sepi karena memang sudah malam, para pelayan beristirahat di kamarnya masing-masing. Hanya satpam penjaga yang masih berjaga di pos penjagaan.Perlahan Arga membuka pintu kamarnya, tapi kenapa lampu kamar di matikan sehingga tidak terang benderang seperti biasanya. Arga sedikit tidak enak pada Adelia karena keterlambatannya. Ia takut Adelia berpikir macam-macam sehingga mempengaruhi kondisi janinnya.Arga menyalakan lampu kamarnya, kaget tidak ada siapapun di ranjangnya. Padahal Arga sudah membayangkan Adelia bergumul srlimut dan tertidur lelap di sana.Lalu dimana Adelia? Mengapa kamar tampak sepi. Padahal sudah larut malam.Rasa gelisah menghantui Arga, ia khawatir terjadi apa-apa pada Adelia. Segera ia keluar dari kamarnya dan