"Bi, kalau boleh tau, hubungan Gaza sama Lashira sudah sejauh apa, Bi?"
"Non Lashira sama tuan Gaza ...."
"Bi Ijah, sarapannya sudah siap?" tanya Gaza yang tiba-tiba datang.
Huh! Mengganggu saja, padahal sebentar lagi semua bakal terkuak.
"Sudah, Tuan. Nasi goreng ebi sesuai request-an Tuan tadi malam."
Gaza mengangguk, lalu duduk di meja makan. Bi Ijah segera menyiapkan sarapan untuk majikannya itu, sedangkan aku kembali lagi ke kamar Gaza setelah dia menyuruh agar aku mandi di kamar mandi yang terletak di kamarnya.
Setelah berada di kamar mandi, aku bingung, karena sehabis mandi nanti mau pakai baju apa. Nggak mungkin dong, piyamanya dipakai lagi, gaun yang tadi malam juga nggak tahu di mana.
Saat sedang mikir sambil mondar-mandir di kamar mandi, tiba-tiba pintunya diketuk.
"Non Alula, ini bibi, mau bawain baju ganti buat Non."
Wah, kebetulan banget, tuh.
"Iy
"La, lo dari mana aja?" tanya Alena begitu aku sampai di depan pintu kost-ku. Ternyata semalam dia pulang ke sini."Harusnya gue yang tanya ke lo, lo ke mana aja, sampai gue bisa di apartemen Gaza," kataku sambil nyelonong masuk ke tempat berteduhku selama aku mencari nafkah di kota ini. Setelahnya, aku langsung merebahkan tubuh di kasur lantai yang sudah mulai lusuh.Alena menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatal itu. Dia duduk sambil mengamatiku."Keknya lo salah paham, La. Gue jelasin, ya." Dia mengambil napas sejenak. "Jadi, semalam gue liat lo pingsan, dan lagi ditolong sama pak Gaza, La. Gue mendekat, dan bilang sama pak Gaza kalau mau bawa pulang lo. Tapi, waktu gue mau pesen taksi online, pak Gaza bilang kalau dia yang mau nganterin lo pulang, dia minta alamat kost ini ke gue, ya, udah gue kasih.""Terus, setelah itu?" tanyaku mulai penasaran. Kini aku ikut duduk menghadap Alena."Setelah gu
"Lashira dan Agung ini kakak beradik," ucap Gaza, tapi tak membuatku percaya. Entah mengapa Gaza seperti menyembunyikan sesuatu."Kalau kakak beradik, kenapa cowok ini tadi panggil Lashira 'sayang' Pak?" tanya Alena. Aku yakin Lashira merasa semakin terpojok."Benar begitu, Agung?" Gaza menatap cowok yang disebutnya Agung itu.Agung menatap Gaza, kemudian beralih menatap Lashira. Seperti ada sesuatu yang Lashira utarakan lewat tatapan mata itu.Setelah bertatapan dengan Lashira, kini giliran Agung menatap ke arahku, dan Alena. "Iya, gue dan Lashira itu kakak adik. Karena Lashira adik gue, makanya gue panggil dia sayang.""Terus, kenapa lo kek bingung tadi, waktu gue bilang Lashira selingkuh?" tanya Alena ketus."Ya, gue bingung dong. Selama ini kan, Lashira emang nggak pernah selingkuh." Jawaban yang menurutku mbulet. Aku curiga si Agung ini bersekongkol sama Lashira. Bisa aja kan, kalau sebenarnya mereka
Tarik napas yang dalam, lalu keluarkan. Baiklah, tuan mantan, aku turuti kemauanmu. Kucium tangan kekar itu, dan aku rasa Gaza menegang akibat perlakuanku. Tiba-tiba .... "Gaza!" Karena kaget mendengar Gaza dipanggil seseorang, aku pun refleks melepaskan tangan Gaza, dan beralih menoleh ke sumber suara. Waduh, ternyata pak Abraham. Beliau kini menatap heran ke arahku, dan Gaza. "Iya, Pa," jawab Gaza datar, eh, lebih tepatnya santai kek nggak ada apa-apa. Berbanding terbalik denganku yang mulai merasa ketakutan. "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanya pak Abraham. "Papa tadi lihatnya bagaimana?" Gaza balik bertanya. Sumpah, ya, kalau aku jadi pak Abraham, sudah kupites tuh Gaza. Ngomong sama papanya sendiri kok nggak sopan. Pak Abraham menghembuskan napas kasar. Kalau kutebak sih, beliau lagi kesal karena jawaban dari anaknya tadi. "Ya, maksudnya kenapa Al
Dengan napas terengah-engah, aku menuju ruangan Gaza. Harus banget minta penjelasan ke dia, kenapa fitnah aku kalau aku hamil sama dia, sampai-sampai aku dibawa bu Indira ke rumah sakit buat cek kehamilan."Gaza! Apa maksud lo pake bilang ke pak Abraham, dan bu Indira, kalau gue hamil anak lo!" tuntutku begitu masuk ke ruangan Gaza, dan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti biasanya.Dia sepertinya terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba, apalagi sambil marah-marah. Mungkin sekarang keadaanku di matanya bak orang gila."Kamu bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk, kan?" Dia malah melempar tanya.Aku memutar bola mata, kesal rasanya. "Kelamaan! Gue ke sini mau minta penjelasan dari Lo.""Bisa bicara lebih sopan? Saya di sini atasan kamu, Alula," ucapnya sok.Menghembuskan napas kasar, kemudian aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa menunggu disuruh duduk, aku lebih dulu mendaratkan pantat di kursi
"Baiklah. Saya mau mengantar ini," ucap Gaza seraya menyodorkan sebuah paper bag.Apa ya, isinya?"Apa, tuh?" tanyaku sambil menatap paper bag itu, namun belum kuterima."Kamu bisa membukanya nanti di dalam."Oke, aku terima aja, barangkali isinya emas atau berlian. Eh, nggak mungkinlah mantan ngasih gituan!"Thanks," ucapku, "ya, udah, lo nggak ada urusan lagi, kan? Pergi sana, gue mau masuk."Bukannya pergi seperti kataku, Gaza justru hanya sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. "Silakan masuk. Saya harap kamu tidak terkejut setelah melihat isinya."Aku mengerutkan dahi, kurang paham dengan maksudnya. Jangan-jangan, di dalam paper bag ini ada barang terlarang atau ...."Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Tenang saja, isinya bukan narkoba atau pun sejenisnya." Gaza tersenyum miring.Udahlah, buang pikiran buruk jauh-jauh. Nggak baik juga buat kesehatan kalau mikir yan
"Apa?! Jadi semalam pak Gaza nginep di kost lo?!" tanya Alena dengan ekspresi terkejutnya. Sebenarnya aku sudah menduga, sih, dan setelah ini dia pasti heboh.Aku cuma mengangguk aja, menanggapi pertanyaan Alena. Untung sekarang lagi di kost Alena, jadi nggak mungkin ada yang mencuri dengar, meskipun Alena tadi ngomongnya kek mercon. Coba aja kalau lagi di kantor, udah habis aku."Terus, terus, lo sama pak Gaza ngapain aja, La? Jangan bilang kalian ...."Tuk.Aku memukul kepala Alena dengan pensil, menghentikan ucapannya yang mungkin saja menjurus ke yang tidak-tidak."Jangan mikir aneh-aneh! Gue sama dia nggak ngapa-ngapain," kataku.Alena menelisik wajahku. Biasanya kalau dia kek gini, itu artinya dia lagi mencari-cari adakah kebohongan padaku."Lo nggak bohong, kan, La?" tanya Alena dengan nada yang menurutku mengerikan, apalagi jari telunjuknya menunjuk ke wajahku."Ya, nggakl
"Alula," panggil bu Indira, yang ternyata sudah berdiri di dekat meja kerjaku. Terlalu fokus mantengin PC, sampai-sampai nggak sadar tuh atasan udah ada di dekatku."Ya, Bu?" sahutku."Saya disuruh pak Abraham memanggil kamu untuk segera ke ruangannya," ucap bu Indira.Aku mengernyit heran. Ngapain ya, pemilik perusahaan manggil aku? Mau kasih bonus lagi, seperti waktu itu? Boleh juga sih."Mmm ... disuruh ngapain, ya, Bu, saya ke sana?" tanyaku."Kamu ini, kalau disuruh ke sana, ya, ke sana, saja. Ngapain pake tanya-tanya segala!" Si mak lampir marah. Padahal udah beberapa hari ini dia tobat marah-marah, eh sekarang khilaf lagi."Baik, Bu," jawabku seraya bangkit dari duduk, lalu mengambil alat tulis, siapa tahu ini diperlukan.Tanpa berlama-lama lagi, aku pun segera meninggalkan ruang divisi ini, menuju ruangan pemilik perusahaan yang berada di lantai paling atas di kantor ini.
"Ya, udah, La, lo yang sabar aja." Alena mengusap pundakku, setelah aku ceritakan tentang perintah dari pak Abraham. "Oh, ya, selama lo di-skors, mendingan lo tinggal di tempat gue aja, ya," ajak Alena."Thanks, Len, tapi gue nggak mau ngerepotin lo," kataku.Selama ini, Alena udah baik banget sama aku. Selain sebagai sahabat, aku juga udah menganggapnya sebagai saudara. Setiap ada masalah, pasti aku cerita ke Alena, begitu juga dengannya. Dan kali ini, aku nggak mau repotin dia lagi."Siapa yang repot, sih, La? Justru gue seneng kalau lo tinggal bareng gue. Lagian lo betah amat tinggal sendirian di kost, mana jauh lagi dari kantor," gerutu Alena. "Mending bareng gue, setidaknya buat sebulan ini lah, jadi lo nggak perlu ngeluarin duit buat bayar kost lo.""Ya, gue yang nggak enak, lah, Len. Masa gue numpang di tempat lo, mana gue lagi di-skors.""Lo tuh kek sama siapa aja, deh, La. Heran gue. Dari dulu kita juga selalu