Share

Part 3

Penulis: Aufa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-05 08:54:33

.

Aku mengedipkan mata, mencoba memastikan, benarkah mobil yang berhenti di sebelahku ini adalah mobil yang kemarin. 

Eh, tapi yang punya mobil mewah seperti itu kan bukan cuma orang yang kemarin saja, tentu ada banyak orang yang bisa memiliki mobil seperti itu kan? Lagi pula, aku tidak hafal plat nomornya. 

Bodo amatlah itu mobil orang yang kemarin atau bukan, yang pasti, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik aku segera memalingkan wajah ke sisi kiri. 

Beruntung, tak lama kemudian traffic light berubah jadi warna hijau, dan Alena pun segera menjalankan motornya kembali. 

Beruntungnya lagi, kulihat mobil itu berjalan mendahului motor yang sedang membawaku ini. 

Huuh ... selamat, selamat. Aku mengelus dada, lega. Keadaan kembali berpihak padaku. 

"La, lo kenapa, kok dari tadi diem mulu, nggak biasanya?" tanya Alena dengan suara kerasnya. Maklum, masih di jalan raya. 

"Nggak papa, cuma lagi latihan jadi pendiem aja,"  jawabku asal. Nggak mungkin dong, mau memberitahu ke Alena tentang apa yang aku resahkan dari tadi, nanti dia bisa menertawaiku. 

"Caela, seorang Alula pengin jadi pendiem? Sampai kiamat gue nggak bakalan percaya!" cibir Alena. 

===========Aufa=========

"Alulaa! Bangun wo!" Teriakan Alena yang kebetulan terdengar tepat di samping telingaku, sontak membuatku kaget. Aku yang tadinya masih terbuai mimpi, refleks jadi terduduk meski mata masih enggan terbuka. 

"Apaan sih, lo, Len, gangguin orang tidur aja!" kataku kesal. Bagaimana tidak kesal coba, orang sedang enak-enaknya tidur eh, malah dikagetin. Untung aku tidak punya penyakit jantung. 

"Ck! Lo tuh kebiasaan ya, ini tuh udah jam enam pagi, sejam lagi kita berangkat kerja. Bisa telat kalau jam segini lo belum bangun, mana ini hari pertama lo masuk kerja, kalau sampai telat, bisa-bisa lo dicancel jadi karyawan di kantor gue." Omongan Alena yang sedang ngomel-ngomel itu persis seperti ibuku kalau sedang merepet. Duh, jadi kangen ibu di kampung. 

"Untung aja gue ajak lo buat nginep di sini, jadi lo ada yang bangunin. Coba kalau lo kekeuh  di kost-an lo, beneran hari ini lo bisa telat," tambah Alena. 

"Iya, iya, bawel! Nih, gue mau mandi." Dengan enggan, aku bangkit dari kasur. Berjalan dengan masih sedikit menutup mata menuju kamar mandi. 

=========Aufa=======

"Len, ini gue kerja di bagian apa ya?" tanyaku pada Alena, ketika kami sampai di lobi kantor. 

"Lho, kok malah lo tanya ke gue sih? Ya mana gue tau lah. Emangnya lo kemarin nggak tanya sama pak Angga?" 

"Pak Angga siapa, Len?" 

Alena memutar bola matanya. "Pak Angga itu ketua HRD di kantor ini, yang kemarin interview lo." 

"Ooh ... yang itu ...." Aku mengangguk paham. "Gue nggak dikasih tahu kerja di bagian apa." 

"Ck! Terus lo nggak tanya gitu?" 

"Enggak. Soalnya gue kemarin lupa buat tanya. Saking senengnya gue bisa diterima kerja tanpa interview macem-macem," jawabku. 

Sahabatku itu menghembuskan napas kasar. "Dasar pe'a! Harusnya lo tanya dodol!" Alena menjitak kepalaku. 

"Ya, namanya juga lupa," ujarku membela diri. 

"Gue mau masuk ke ruangan divisi gue. Lo di sini aja dulu, nanti lo tanya sama mbak Nela, lo ditempatin di bagian apa." 

"Kata lo waktu itu di sini lagi butuh karyawan yang sama di divisi lo. Jadi, mungkin kerja gue bareng sama lo." 

"Belum tentu, soalnya di sini juga lagi butuh sekretaris buat CEO. Jadi, mungkin aja lo diterima jadi sekretaris CEO, mengingat pengalaman kerja lo di perusahaan Wijaya Company," tutur Alena. 

"Iya juga sih. Tapi, gue nggak yakin bakal jadi sekretaris CEO, tepatnya nggak minat sih," kataku. 

"Ya udah deh, mending lo di sini dulu. Nanti kalau mbak Nela udah ada, lo tanya aja ke dia," saran Alena yang kemudian melangkah pergi meninggalkanku. 

=========Aufa========

Tak lama setelah kepergian Alena, mbak Nela pun datang. Dia langsung menempati meja resepsionis tempatnya bertugas. Sepertinya dia tidak melihat keberadaanku yang sedang duduk manis di sofa lobi ini.

Aku bangun dari duduk, lalu menghampiri meja resepsionis. Tentu tujuanku bertanya pada mbak Nela, seperti arahan dari Alena tadi. 

"Selamat pagi, Mbak Nela," sapaku dengan nada seramah mungkin, disertai senyuman. 

"Ooh, selamat pagi, Alula," balasnya ramah.  Kemarin kami memang sempat berkenalan seusai aku diinterview di ruang ketua HRD, maka dari itu mbak Nela tahu siapa namaku. "Hari ini kamu sudah mulai bekerja ya?" 

"Iya, Mbak. Tapi kemarin nggak dikasih tahu di bagian apa, soalnya aku asal aja bikin surat lamaran kerja tanpa mencantumkan posisi yang mau aku lamar. Terus, kemarin aku juga lupa nanyain sama pak Angga," terangku. 

"Ooh, gitu ...." Mbak Nela mengangguk. "Ya udah, ayo aku anterin kamu ke ruangannya pak Angga." 

=========Aufa========

Setelah menanyakan pada pak Angga perihal bagian apa aku akan ditempatkan di kantor ini, akhirnya aku mendapat jawabannya. 

Aku ditempatkan di bagian yang sama dengan Alena, divisi marketing. Hal ini jelas membuatku senang, karena itu berarti aku bisa lebih cepat beradaptasi dengan orang di divisi  ini, sebab salah satunya adalah sahabat karibku. 

"Selamat pagi semua," ucap pak Angga begitu masuk di ruang divisi marketing. Aku kini berada di belakangnya. 

"Pagi, Pak ...," jawab para karyawan di divisi ini dengan serentak. Kulihat mereka sedang memperhatikanku dari kubikel masing-masing. Eh, tepatnya memperhatikan pak Angga juga. 

"Hari ini saya mau memperkenalkan karyawan baru di perusahaan ini, yang akan bekerja sama dengan kalian di divisi ini," terang pak Angga yang membuat orang-orang di ruangan ini semakin memperhatikanku. "Alula, ayo sini." Pak Angga memberi kode agar aku berdiri di sampingnya. Aku pun menurut. 

"Ayo, silakan perkenalkan diri," perintah pak Angga padaku. 

"Hai teman-teman semua, perkenalkan saya Alula," ucapku dengan nada seceria mungkin. 

Semoga saja orang-orang di sini pada baik semua, seperti teman-teman kerjaku di kantor lama.  

========Aufa========

Sebagai karyawan baru di perusahaan ini, tak membuatku kesulitan untuk berteman dengan orang-orang di sini. Bukan saja karena Alena yang sudah lama kukenal, tetapi karena kebanyakan dari mereka itu ramah-ramah, dan humble, terutama yang satu ruangan denganku. 

Baru beberapa jam saja berkenalan, aku sudah merasa nyaman dengan mereka. Obrolan ngalor ngidul tentu saja terjadi di antara kami. Seperti halnya saat ini aku yang sedang berada di kantin kantor, bersama Alena, dan dua teman baruku--Tere, dan Gio. 

Jam makan siang ini kami memilih untuk makan di kantin kantor. Katanya sih, tiga temanku ini biasanya makan siang di restoran yang letaknya berada di seberang kantor, tapi berhubung di luar sedang hujan lebat, jadi terpaksa makan di sini. 

"La, lo tuh beneran kocak ya," kata Gio setelah tadi kami ketawa-ketawa membicarakan hal yang tidak jelas. "Jangan-jangan karena lo ketularan si Alena, lagi, kan katanya kalian temenan udah lama." 

"Enak aja! Yang ada gue yang ketularan Alula," protes Alena. "Gue tuh aslinya pendiem tau!" 

Ucapan Alena tadi sontak membuat kami tertawa. Siapa yang akan percaya dengan pernyataannya barusan? 

"Iyain aja deh, takut lo gantung diri," kata Gio di sela tawanya. Tentu itu membuat Alena semakin kesal. 

"Udah, udah, kalian berdua tuh kalau lagi bareng nggak pernah akur mulu," ucap Tere menengahi, sedang aku masih sedikit tertawa sambil melihat ekspresi Alena, dan Gio bergantian. 

Mereka berdua itu lucu, dan sepertinya ada sesuatu. Kayaknya aku harus menanyakan ini pada Alena. 

=========Aufa=========

"Len, lo ada hubungan apa sama Gio?" tanyaku yang spontan membuat Alena menghentikan kegiatannya yang sedang memoles bedak pada wajahnya. 

Saat ini aku dan Alena sedang berada di toilet, dan hanya kami berdua saja yang ada di sini, jadi aku bebas bertanya macam-macam sama Alena. 

"Kita temenan, La," jawabnya singkat, namun aku menangkap ada yang aneh dari nada Alena ngomong. 

"Serius?" Kutatap mata Alena lekat, mencari kebenaran darinya. 

Alena menghembuskan napasnya berat, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. 

Bukannya aku mau ikut campur sih, tapi sebagai sahabat, aku wajib tahu dong tentang keduanya, biar ke depannya aku lebih enak dalam bersikap. 

"Sebenarnya gue udah lama suka sama Gio, La, sejak pertama gue kerja di sini," ungkap Alena yang seketika membuatku membelalakkan kedua mataku. "Sayangnya, dia suka sama orang lain." 

Aku mengelus bahu Alena,memberi kekuatan. "Sabar ... kalau jodoh pasti nggak akan ke mana kok." Alena hanya mengangguk. 

======Aufa======

Nasib jadi anak baru ya gini, dikit-dikit disuruh, mau membantah nggak mungkin karena yang nyuruh si ketua divisi--bu Indira, yang konon katanya masih jomblo di umurnya yang sudah menginjak kepala tiga. Kebanyakan marahin karyawan sih, jadinya banyak kan yang mendoakan biar jomblo terus, eh! 

Seperti saat ini, aku disuruh untuk memfotokopi beberapa berkas yang lumayan tebal, dan cukup berat dibawa olehku yang kebetulan bertubuh mungil nan imut, lagi cantik ini. 

Sebenarnya sih, di ruang divisi ada mesin fotokopi, tapi berhubung lagi rusak, dan belum diperbaiki, akhirnya dengan sangat terpaksa aku harus membawa berkas-berkas ini ke lapak fotokopi yang ada di sebelah kantor. Mau meminjam mesin fotokopi di ruang divisi lain jelas tidak mungkinlah, malu! 

"Duh, berat amat sih," keluhku begitu turun dari lift. Saat ini aku berada di lobi kantor, niatnya sih, ingin meminta bantuan sama mbak Nela, untuk bantu membawakan berkas, eh, malah orangnya tidak ada di tempat. Terpaksa harus bawa sendiri sampai ke tempat kang fotokopi. 

Berjalan dengan pelan, sesekali lihat ke depan, sesekali lihat berkas yang sedang  aku bawa dengan susah payah ini, takutnya ada yang terbang terbawa angin. Bisa gawat kalau sampaibe gitu, bisa-bisa pulang-pulang nanti dimarahi sama mak lampir alias bu Indira. 

"Tumbenan banget nih lobi sepi, nggak ada satu orang pun. Mbak Nela nggak ada, pak satpam juga entah di mana rimbanya. Padahal kan pengin minta bantuan," kataku bermonolog sambil celingukan ke kanan, dan ke kiri. 

Tiba-tiba .... 

Bruk .... 

Berkas-berkas yang kubawa jatuh semua gara-gara tidak sengaja menabrak orang. 

"Kamu jalannya pake mata nggak sih?!" 

To be continued

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Jadi Bos   Note

    Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa

  • Mantan Jadi Bos   Part 85

    Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena

  • Mantan Jadi Bos   Part 84

    Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan

  • Mantan Jadi Bos   Part 83

    Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."

  • Mantan Jadi Bos   Part 82

    "Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene

  • Mantan Jadi Bos   Part 81

    "Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj

  • Mantan Jadi Bos   Part 80

    Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...

  • Mantan Jadi Bos   Part 79

    "Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"

  • Mantan Jadi Bos   Part 78

    "Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status