LOGINkomen yuk, mengsedih sekali melihat views buku ini jeblok parah huhuuu... semoga saja masih ada yg baca 🫶🏻🤧
Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup.Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar den
Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d
Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast
Marvella mulai sadar ada yang berubah sejak pagi itu. Bukan perubahan besar yang langsung terasa mencolok, melainkan hal-hal kecil yang terlalu konsisten untuk diabaikan. Cara Dastan duduk sedikit lebih jauh di sofa. Cara ia tidak lagi sembarangan merangkul pinggang Marvella saat lewat di dapur. Cara ia selalu berhenti setengah detik seolah bertanya tanpa suara, sebelum menyentuh apa pun yang berkaitan dengannya. Dan anehnya, justru itu yang membuat Marvella semakin gelisah. Biasanya, Dastan adalah tipe pria yang… hadir secara fisik. Terlalu hadir, malah. Bahu lebar yang sering jadi sandaran tanpa izin, tangan besar yang entah bagaimana selalu menemukan jalannya ke punggung, lengan, pinggang Marvella, dan tatapan manik gelapnya yang terlalu jujur soal apa pun yang ia inginkan. Sekarang? Pria itu malah seperti sedang menarik rem. Dan sejujurnya, Marvella tidak tahu harus merasa lega atau tersinggung. Pagi itu setelah Kenzo berangkat sekolah, Dastan mengatakan bahwa
Pagi harinya, Marvella terbangun lebih dulu. Kesadarannya pun mulai muncul dengan perlahan, diiringi olehcahaya pagi yang menyusup dari sela sela gorden. Selama beberapa detik ia hanya diam, menatap langit-langit kamar sambil mencoba mengingat… di mana ia berada, dan kenapa ranjang terasa lebih sempit dari biasanya. Lalu ia menoleh, baru teringat jika Dastan tidur di sampingnya. Rambut gelap dan tebal pria itu sedikit berantakan, satu tangan memeluk pinggang Marvella, dan hal yang paling mencolok adalah plester besar yang menempel di pelipisnya. Wajahnya terlihat damai, sangat kontras dengan kejadian dramatis dini hari tadi. Marvella menelan ludah. Perasaan bersalah kembali menyusup. Ia yang memukul, terus panik, dan pada akhirnya menyerah. Namun di balik rasa bersalah itu, ada secercah kehangatan yang tak akan bisa ia sangkal. Hangat karena untuk beberapa hari belakangan ini, ia tidak terbangun dalam kesendirian lagi. Tapi… ada juga rasa takut, karena batas yang se
Dastan akhirnya kembali ke rumahnya sendiri. Rumah yang dulu selalu ia banggakan sebagai simbol kemandirian dan kekayaan itu kini terasa… aneh. Terlalu luas. Terlalu sunyi. Terlalu rapi dan dingin. Oreo langsung berlari masuk, lalu berhenti di tengah ruang tamu, memutar badan, dan duduk. Anjing itu menatap sekeliling seolah bertanya, "Kok sepi? Mana rumah rame tadi?" “Ya, Bro,” guman Dastan sambil melepas sepatu. “Ini rumah kita.” Dulu, keheningan seperti ini adalah kemewahan baginya. Tidak ada suara. Tidak ada tuntutan. Tidak ada drama. Hanya ia dan Oreo, dua makhluk yang sama-sama malas bersosialisasi. Tapi malam ini, keheningan ini terasa salah. Dastan akhirnya baru menyadari betapa rumahnya tampak tidak terurus. Debu mulai menempel di meja marmer mahal yang biasanya ia lap sendiri setiap dua hari sekali. Tanaman hias di sudut ruangan tampak layu. Dari jendela kaca besar, ia bisa melihat rumput halaman yang sudah tumbuh lebih tinggi dari seharusnya. Lalu i







