"Sekarang kamu berani memprotes bagaimana saya memperhatikanmu?" Tetapan intimidasi dari Dokter Giandra menyorot Amora."Bukan begitu maksud saya, Dok." Dia menghela nafas."Maksud saya adalah, tentang operasi tentu saja itu sangat jauh berbeda dan tidak bisa disamakan dengan shopping." Entah karena Amora sendiri sedang kehilangan akal karena meladeni perdebatan ini, atau karena dirinya masih terpancing emosi lantaran pertengkarannya dengan sepasang suami istri tadi."Kalau begitu seharusnya kamu tidak membuat pasien menunggu!" Dokter Giandra meninggikan suaranya. "Apa kamu pikir dirimu bisa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada pasien?! Bagaimana dengan keluarga pasien yang sudah susah payah kamu bujuk agar kamu bisa ikut serta dalam operasi ini?! Jangan hanya karena aku pernah membelamu sekali, kamu bisa bersikap seenaknya seperti ini!"Amora hampir kehilangan kata-kata. Dia sadar bahwa operasi ini menyangkut reputasinya apalagi di hadapan keluarga Dwipangga. Namun, meskipun
Keluarga Dwipangga berkumpul di depan ruangan operasi.Sudah berjalan selama 5 jam sejak tim Dokter masuk ke ruangan operasi dan sejak saat itu pula Sofia, Rehan dan Olivia menunggu.Raut wajah cemas tidak luput dari mereka, terlebih Sofia."Kenapa lama sekali? Apa bisa operasi berjalan selama itu?" Dia bergumam dengan gusar."Bu, ini bukan operasi penyakit ringan. Lihat sendiri dokter yang menanganinya saja lebih dari satu." Rehan yang duduk di samping ibunya menjawab.Sofia tidak merespon dan hanya membuang nafasnya panjang. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa wanita paruh baya Itu tampak lelah.Tiba-tiba Olivia yang duduk di samping suaminya berdiri dan berkata, "Bu, Rehan, aku mau izin keluar dulu boleh tidak?"Sofia menggeser pandangannya pada sang menantu. Kening wanita itu berkerut tampak tak suka. "Kamu mau ke mana?"Olivia melempar senyum seraya menjawab, "Mau jemput Oliver, Bu. Dia tidak bisa ditinggal terlalu lama. Maaf karena tidak bisa menunggu sampai operasinya selesai."
Olivia keluar dari kawasan rumah sakit dan dia saat ini sedang menuju ke sebuah cafe.Wanita cantik tersebut mengeluarkan ponsel dari tas, kemudian menghubungi seseorang. Setelah panggilan tersambung dia menyapa dengan senyum ceria, "Aku baru saja keluar. Kamu sudah sampai atau masih di jalan?"Jelas bahwa yang saat ini yang sedang dia hubungi bukanlah Oliver, anaknya, melainkan seseorang yang belakangan ini sudah memenuhi hatinya.Olivia berdiri di sisi jalan sambil menunggu datangnya taksi."Aku sudah sampai sejak 10 menit yang lalu." Seorang lelaki menyahut dengan suara baritonnya."Oh, astaga! Kenapa datang lebih awal? Aku sudah membuatmu menunggu." Nada suara dan ekspresinya tampak dibuat-buat agar terdengar manja. Dia melirik jam tangannya. "Aku pikir aku yang akan terlambat.""Tidak perlu tergesa-gesa. Lagi pula tempatnya, kan tidak jauh, aku hanya ingin datang lebih cepat saja."Olivia menghentikan taksi kemudian menaiki mobil itu. Setelah mengambil tempat duduk dia melanjut
"Bagaimana kalau kita cari tempat yang lain saja?" Dia masih pada topik sebelumnya."Memangnya kenapa kalau di sini?" Randika menyesap kopinya dengan santai, tampak terbiasa dengan sikap manja wanita di depannya ini."Tidak apa-apa, hanya saja aku pikir bisa menemukan tempat yang lebih bagus dari ini." Olivia pura-pura mengedarkan pandangan ke sekitar dan memberi komentar, "Tempat ini sedikit kuno gayanya.""Ah, benarkah? Tapi aku nyaman saja. Ini salah satu tempat favoritku."Olivia berdecak sekali lantaran Randika yang sulit untuk diajak bernegosiasi. "Ya sudahlah kalau itu maumu."Randika tersenyum tipis.Dia memang sengaja memilih tempat yang dekat dengan rumah sakit. Dia ingin memperlihatkan perselingkuhan Olivia secara terang-terangan.Paling tidak, ada yang melihat kebersamaan mereka saat ini dan bisa mengadukannya kepada Rehan."Kamu hanya pesan kopi? Kenapa tidak pesan makanan juga?" Olivia mengambil buku menu dan membukanya.Dia bersikap selayaknya seorang ABG yang baru mem
Tidak ada lagi perbincangan antara ibu dan anak itu. Sofia tidak henti-hentinya memandangi pintu ruanga operasi dengan rasa cemas, sampai akhirnya pintu itu terbuka.Terlihat beberapa dokter mendorong brangkar pasien di mana Elangga tertidur di bawah obat bius.“Ya Tuhan!” Sofia berseru haru dan segera beranjak dari duduk. Disusul oleh putranya, dia menghampiri mereka.Amora yang juga ikut membantu dokter lainnya untuk mendorong bankar, seketika terkesiap saat Sofia mendadak menabrak pundaknya hingga dia terpental. Entah disengaja atau tidak, tetapi itu cukup keras hingga dia hampir jatuh.Semua orang, termasuk Giandra memerhatikan insiden itu. Giandra mengerutkan kening menahan di tubuh Amora agar tidak terjatuh.Sofia melirik sinis sesaat pada Amora, kemudian berlagak seakan tidak peduli. Hal yang sama juga dilakukan oleh Rehan.“Dokter, bagaimana dengan operasi suami saya?” tanya wanita tua itu dengan raut wajah khawatir kepada Dokter William.“Oh, iya, Nyonya.” Dokter menjawabnya,
Dokter Giandra membawa Amora yang tampak sepi dekat dengan toilet dan jarang dilewati oleh tenaga medis."Ada apa?" tanya Amora setelah lelaki itu melepaskan tangannya.Sebelum menjawab, dokter Giandra memperhatikan ekspresi Amora. Dia tahu bahwa wanita itu tampak sedang menahan amarah terutama saat baru masuk ke ruang operasi. "Kamu baik-baik saja?""Memangnya aku terlihat bagaimana sampai kamu bertanya begitu?" Nada bicaranya terdengar acuh tak acuh. Moodnya cukup jelek karena Rehan dan Sofia."Tidak mungkin aku bertanya begitu jika kamu terlihat baik-baik saja."Amora menghela nafas."Memangnya ada faktor lain yang bisa membuatku tidak baik-baik saja selain keluarga Dwipangga?" Pertanyaan retoris itu menjurus dengan tajam.Dokter Giandra menganggukkan kepalanya, paham dengan apa yang dimaksud oleh wanita itu. Dia tampak berpikir sejenak sampai akhirnya tiba-tiba bertanya, "Apa kamu sudah memikirkannya?""A-apa maksudmu?""Tentang pernikahan kita,” ujar Giandra denhan ekspresi seriu
Pengakuan Tak TerdugaSebelum Suster itu benar-benar keluar, Sofia merutuk dengan suara yang agak keras, "Suster sialan dan Dokter yang tidak bertanggung jawab memang sangat cocok!"Suster Lina tentu saja masih bisa mendengarnya. Namun, dia berusaha untuk menahan diri agar tidak memperpanjang pertengkaran mereka. Dia hanya akan dirugikan. Percuma untuk memperingati wanita itu, pada dasarnya memang sangat sulit untuk ditangani.Baru saja suster Lina keluar dari ruangan itu Amora masuk ditemani dengan dokter Giandra.Suster tersebut mengangguk sopan kepada keduanya, yang dibalas dengan ramah. Awalnya dia ingin menyampaikan kekhawatiran karena perdebatannya dengan Sofia tadi. Amora Mungkin saja akan mendapatkan amukan dari wanita paruh baya itu jika bertemu sekarang.Namun, dia sadar bahwa saat ini ada dokter Giandra yang menemani wanita itu. Mungkin tidak akan masalah, setidaknya Amora tidak sendirian.Sofia merasa heran dengan kedatangan Amora dan putra sulungnya. "Dasar! Baru sekaran
Di sisi lain, Rehan yang baru saja masuk ke ruang rawat ayahnya mendengar kalimat yang dilontarkan oleh kakaknya, Giandra. Dari kejauhan saja dia sudah mendengar teriakan ibunya dan ketika masuk dia dikejutkan dengan keberadaan Amora dan Giandra. Tubuh lelaki itu membeku, pandangannya mendadak berubah menjadi kosong.Suasana di ruang rawat Erlangga mendadak menjadi sunyi. Setelah pernyataan yang disampaikan oleh Giandra itu, atmosfer di sana serasa mencekam.Sofia yang masih terguncang akan fakta yang disampaikan oleh putranya sendiri mulai menunjukkan reaksi. Awalnya Amora dan Giandra heran lantaran Sofia mendadak tertawa."Kalian asti mengada-ngada. Hahaha! Apa kalian pikir aku mudah ditipu dengan omong kosong itu?!"Amora yakin terkejutnya wanita tua itu sudah cukup mengguncang batinnya.Mau bagaimanapun, siapa yang akan menyangka kalau putra sulung yang dibangga-banggakan oleh keluarga Dwipangga akan menikahi mantan istri saudara sendiri."Terserah Ibu mau percaya atau tidak, yan