"Kenapa pesanku nggak dibalas? Dia sibuk atau sengaja mengabaikanku?”
Evora menatap ponselnya dengan kesal. Ia gelisah menunggu kabar dari Vernon, kekasihnya. Sepulang lembur dan mampir sebentar ke minimarket, ia duduk di bangku depan, menyesap soda dingin yang sudah tak berasa. “Besok ulang tahunku... apa dia sengaja bikin kejutan? Atau malah lupa?” gumamnya. Namun, ia masih berpikir positif. “Tapi, tidak biasanya dia sibuk sekali sampai tidak mengingatku.” Ia menghela napas lalu beralih menatap jalan raya di depannya. Di antara lampu-lampu di pinggir jalan tampak seorang pria dan wanita sedang berjalan bergandengan dengan mesra. Awalnya Evora tak menghiraukannya, sampai ia mengenali kemeja yang dikenakan pria itu. “Vernon…?” Evora lantas terpaku saat menyadari siapa wanita yang sedang dirangkul pria itu di pinggang. Itu adalah Kakak Evora. "Kenapa Vernon bersama … Kak Lizi?” Apakah ini sebuah kebetulan? Evora pun bangkit dan melangkah pelan ke arah mereka. Tanpa ia sangka, Vernon mengusap rambut Lizi. Wanita itu berbisik, membuatnya tersenyum sebelum mengecup keningnya. Dada Evora mencengkeram sakit, tangannya mengepal erat ponselnya. Lalu, tanpa ragu, Vernon menunduk dan mencium bibir Lizi. Dunia Evora runtuh. Kaleng soda yang terlepas dari tangannya berguling di trotoar, tumpah seperti isi hatinya yang tak bersisa. Kukunya menancap di telapak tangan, tapi nyerinya tak sebanding dengan perih di dadanya. Cukup! Evora tak tahan lagi. Dengan langkah berat, ia mendekati Vernon dan Lizi, lalu berhenti tepat di belakang mereka. “Vernon….” Suara lirih itu membuat keduanya menoleh. Wajah Vernon langsung berubah kaku. Lizi tampak kaget, tapi itu tidak bertahan lama. Tubuh Evora gemetar. Air mata sudah mengalir tanpa ia sadari. “Apa yang kalian lakukan?” tanyanya pelan. Vernon tak langsung menjawab. Ia memasukkan tangan ke saku celana. "Ngapain kamu di sini?” Evora menatapnya tajam. "Seharusnya aku yang bertanya. Kenapa kamu berduaan dengan Kak Lizi? Kau mengabaikanku seharian hanya untuk ini?" "Aku sibuk," Vernon menjawab tanpa ekspresi. "Lalu kebetulan bertemu dengannya." Evora tertawa pendek. "Kebetulan? Aku melihat kalian berciuman, Vernon." Ekspresi Vernon menegang, tetapi ia segera menatap Evora dengan dingin. "Jangan berlebihan. Pulanglah, ini sudah malam." Lizi melipat tangan di dada. "Evora, kamu tidak perlu bersikap dramatis." "Dramatis?" Evora mengepalkan tangannya. "Apa aku harus diam melihat pacarku berselingkuh dengan kakakku sendiri?” Vernon mendesah, lalu menatap Evora dengan sorot dingin. "Sudah cukup, Evora. Kamu mempermalukan dirimu sendiri." "Malu?" Evora tertawa miris. "Kamu yang ketahuan berselingkuh, aku yang harus malu?" "Vernon… kenapa kamu tega menyembunyikan semua ini? Mana semua janji manis yang dulu kamu ucapkan?" Suara Evora terdengar pilu. "Kalian tak tahu betapa hancurnya aku melihat ini?” Lizi pun segera menyahut, “Evora, dengarkan aku! Kami tidak pernah bermaksud menyembunyikan hal ini. Kami sudah cukup lama saling menyayangi. Maaf kalau kenyataannya terlalu pahit untukmu.” Evora terdiam. Matanya bergantian menatap Vernon dan Lizi yang bahkan tidak terlihat menyesal sedikitpun. “Jika seandainya sekarang aku tidak memergoki kalian, apakah kalian akan tetap menyembunyikannya?” Evora berujar dengan tangan terkepal. “Kebetulan, kami memang sudah bosan menyembunyikan ini semua,” sahut Lizi. Sedangkan Vernon justru membuang muka, seolah tidak ingin melihat wajah Evora. “Kalian benar-benar pantas bersama,” kata Evora dingin. Vernon kini menatap Evora, seolah terkejut. “Kalian benar-benar ingin bersama, kan? Aku akan mundur dan aku tidak akan memaksa. Selamat atas hubungan kalian yang baru.” Evora segera berbalik badan dan melangkah pergi. Namun Vernon hanya menatap kepergiannya tanpa berniat menyusul Evora. Ia terus melangkah di trotoar yang dingin. Tapi rasa di hatinya jauh lebih beku dari udara malam itu. Wajah Vernon dan Lizi silih berganti menghantui pikirannya. Senyum mereka, sentuhan mereka, semua terasa seperti belati yang menari-nari di dalam dadanya. “Apa aku nggak cukup baik buat dia…?” gumamnya lirih. Langkahnya mulai limbung. Ia tidak sadar telah berjalan ke tengah jalan. TIIIN!! Cahaya terang dari arah kanan menyilaukan matanya. Suara klakson menggelegar. Brak! Mobil berhenti mendadak, bannya menggesek aspal. Evora terjatuh ke pinggir trotoar, lututnya luka. Pintu mobil itu lalu terbuka. Seorang pria keluar dengan berjalan sempoyongan. Darah menetes dari pelipisnya. "Ma-maaf..." Evora tergagap. Pria itu tidak menjawab. Tatapannya dingin. Napasnya berat. “Aku tidak sengaja, ternyata aku berjalan di tengah jalan raya,” ujar Evora gemetar. Pria itu tidak menjawab melainkan mencoba menghubungi seseorang melalui ponselnya. Evora bangkit dan mendekat. “Aku bantu cari obat, ya?” Ia masuk ke dalam mobil lewat pintu pengemudi yang masih terbuka lalu mencari kotak P3K. Ketika ia menemukannya dan hendak keluar, pria itu justru duduk kembali di kursi kemudi. Tatapannya kosong, seperti orang yang kehilangan arah. Evora terpaku. Kini hanya mereka berdua di dalam mobil. “Bi-biar aku obati,” ujar Evora dengan gugup. “Tidak perlu!” desis pria itu. “Tapi kau terluka.” Ucapan Evora membuat pria itu menoleh. Terlihat rahangnya yang mengeras dan mata yang memerah. ‘Apa pria ini mabuk?’ Tanpa berkata apa-apa, pria itu menghidupkan mesin dan mulai mengemudi cepat. "Tunggu! Kamu mau bawa aku ke mana?!" suara Evora naik satu oktaf. “Jangan banyak tanya, atau aku lempar kamu keluar!” ucap pria itu penuh intimidasi. Evora tidak mengenal pria itu, maka ia berusaha untuk berhati-hati.Pantai Arverra.Kaki Evora menapak di pasir pantai. Sinar matahari sedikit menyilaukan matanya. Helaian rambutnya bergoyang terkena hembusan angin.Di genggaman tangannya ada notebook yang selalu ia gunakan untuk mencatat.“Ayo, Evora!” seru Andreas seraya menepuk pundak Evora. Di belakangnya, seluruh tim perusahaan dan klien dari Roys Corporation mengikuti.Evora pun berjalan di sisi Andreas. Mereka melangkah memasuki area pantai. Semakin mereka masuk, udara semakin terasa sejuk.Baru beberapa meter berjalan, Evora sudah melihat berbagai alat berat seperti crane dan dump truck. Semakin dekat, terdapat bangunan seperti kafe dan restoran yang hampir selesai. Beberapa pelabuhan juga sudah dibuka untuk jalur laut.“Berdasarkan kontrak kerja sama Avo Wisata Group dengan Roys Corporation, kita akan membangun pelabuhan sendiri dengan kapal wisata untuk para pengunjung yang ingin merasakan berlibur di pantai ini dan menikmati angin lautnya yang sejuk. Untuk pelabuhan kita sendiri baru jadi s
Hari sudah hampir gelap ketika Evora pulang ke rumahnya. Dengan wajah kusut dan mata sembab, Evora masuk ke dalam rumah dan sempat memberi seulas senyum pada Lala.“Mau saya buatkan teh hijau, Nona?” tawar Lala yang hanya diangguki Evora.Lala bertanya-tanya dalam hati melihat respon Evora yang agak berbeda.Evora lalu menaiki tangga menuju kamarnya. Tiba-tiba ia mendengar suara tawa Lizi, “Vernon, berhenti! Itu geli.”Semakin tinggi tangga yang dilangkahi Evora, semakin jelas suara tawa itu terdengar. Langkahnya lalu berhenti di anak tangga teratas.Tepat di atas tangga, Lizi berdiri berhadapan dengan Vernon tanpa jarak. Lizi mengalungkan tangannya ke leher Vernon sementara pria itu memegang bagian belakang leher Lizi. Tawa dan candaan menyelimuti mereka.Hidung mereka menempel satu sama lain dan tertawa tanpa beban. Evora mematung sejenak, matanya tak berkedip menatap mereka berdua. Perhatian mereka pun teralih ke arah Evora. Lizi sontak menutup mulut. “Ups … maaf, Evora. Kamu mau
“Maaf ... aku hanya ingin meletakkan ini sebentar.” Evora berucap tanpa melihat wajah Vernon dan Lizi. Setelah menaruh nampan di atas nakas, Evora hendak pergi. Namun, suara Lizi menghentikannya. “Evora, bisa ambilkan minyak lavender? Badanku pegal-pegal, dan aku meminta Vernon untuk memijatku sebentar.” Sebuah nyeri yang tak asing kembali menghantam dada Evora. Pemandangan Vernon dan Lizi di kamar ini mengingatkannya pada masa lalu yang pahit. Wajah Evora berubah kaku, tapi ia berusaha tersenyum. “Boleh … sebentar, aku ambilkan.” Ia lalu keluar dari kamar Lizi. Setelah kepergiannya, sempat terdengar suara tawa dan candaan. Ia berusaha mengabaikannya. Setelah mengambil minyak lavender di laci ruang keluarga, ia kembali ke kamar Lizi. “Ini minyaknya, Kak.” “Terima kasih, Evora,” ucap Lizi dengan senyum manis. Namun, Evora merasa tatapan Lizi berbeda dengan senyumannya. Ia seolah sengaja dan ingin menunjukkannya pada Evora. Gadis itu belum beranjak pergi. Ia ragu sejenak sebe
“Kebutuhan pribadi sudah, makanan ringan juga sudah … sepertinya aku butuh membeli make up setelah ini,” ujar Evora seraya memperhatikan catatan belanjanya. Ia lalu menatap Fasco. “Dari tadi kamu hanya mengikuti aku, memangnya kamu nggak jadi beli titipan Grace?”Fasco memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu membuang muka. “Aku cuma takut kamu bikin ulah lagi. Jadi lebih baik aku tunggu sampai kamu selesai belanja.”Evora menatap Fasco dengan malas. “Apa kamu keberatan belanja bersamaku? Kamu takut aku diculik lagi dan merepotkan kamu?”Raut wajah Fasco tampak bersalah. “Jangan banyak bicara. Ayo ke kasir dan gantian aku yang belanja!” Pria itu lalu berjalan mendahului Evora.“Terkadang dia sangat menyebalkan meski aku berhutang budi padanya,” monolog Evora.Sepuluh menit kemudian…“Tunggu aku, Fasco!” Evora mengejar Fasco dari belakang dengan tangan penuh kantong belanjaan.“Kenapa aku yang harus nunggu? Kamu saja jalannya lambat,” sahut Fasco dengan santai.Evora menarik napa
“Grace, apa hari ini kamu sibuk?” Evora bertanya lewat telepon.“Iya, maafkan aku …, hari ini, aku ada jadwal meeting.”“Yah ….” Evora tampak kecewa. “Aku merasa sedikit bosan di rumah. Sebenarnya aku ingin ajak kamu berbelanja.”“Kalau aku nggak ada meeting hari ini, pasti udah langsung nemenin kamu.” Terjadi jeda sejenak sebelum Grace melanjutkan, “Tadi Fasco bilang dia mau keluar. Mungkin kamu mau ikut dengannya?"Evora terdiam sejenak, menimbang-nimbang. “Hmmm…”“Begini, Fasco ingin membeli jam tangan di mall, dan aku sekalian menitip untuk beli bahan makanan.”Evora menghela napas. Sepertinya hanya ini jalan terakhirnya. “Baiklah... mungkin keluar sebentar tidak buruk. Kabari saja kalau Fasco ingin menjemputku.”“Baik.” Grace kemudian menjauhkan telepon dan berteriak, “Fasco, jemput Evora sekarang!”“Dia sudah keluar dari apartemen, lima belas menit lagi mungkin akan sampai di rumahmu,” ujar Grace. “Cepat siap-siap!”“Oke, Grace.”Evora sudah siap dengan memakai celana jeans panj
Mobil Fortuner berwarna merah itu berhenti di depan kediaman Keluarga Mordie.“Setelah ini istirahatlah. Jika ada apa-apa bisa hubungi aku,” ucap Grace.“Iya, terima kasih banyak, Grace. Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu,” sahut Evora.“Kita ini sahabat! Jadi jika kamu kenapa-kenapa, aku akan maju paling depan.” Grace tersenyum tulus seraya menepuk pundak Evora.Mereka berpelukan lalu Evora turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya saat mobil Grace meninggalkan Kediaman Keluarga Mordie. Gadis itu lalu masuk setelah satpam membukakan pagar.“Nona Evora sudah pulang? Anda mau dibuatkan minuman apa?” Lala yang sedang menyiram tanaman di teras menyambut kepulangan Evora.“Buatkan teh hijau saja. Nanti antar ke kamarku.” jawab Evora, ia lalu memasuki ruang tamu.Lala menyadari raut wajah Evora yang berbeda. Nona Evora kenapa, ya? Ia bertanya-tanya dalam hati.Lizi yang sedang minum sambil bersantai di sofa tampak terkejut melihat Evora pulang. Bahkan ia menyemburkan air yang baru saja